Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. SUV Hitam
“Apa? Bagaimana bisa?” Ratri terbelalak tak percaya, mendengar ucapan Sastra.
"Aku tidak peduli,” balas Sastra enteng.
“Tidak bisa begitu!” sergah Ratri. “Bagaimana dengan persahabatan kami? Elia adalah rekan kerjaku juga. Kami membangun firma itu bersama.” Ratri beranjak dari duduk, lalu berjalan mondar-mandir. Dia terlihat begitu resah.
Sementara itu, Sastra hanya duduk tenang sambil memperhatikan. Sesekali, dia menggaruk pelipis, membiarkan Ratri hingga lelah sendiri.
Setelah Ratri berhenti mondar-mandir, Sastra menghampiri wanita itu, kemudian merangkul mesra dari belakang. “Aku bertengkar dengan Elia,” ucapnya, setengah berbisik.
Ratri langsung menoleh ke samping, di mana wajah Sastra berada. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Ratri memasang raut tak enak.
“Elia sangat marah,” ucap Sastra lagi.
“Dia pantas begitu,” balas Ratri pelan.
“Bagaimana denganku? Apa aku tidak berhak melakukan hal yang sama?” Sastra mengecup lembut pundak Ratri. “Sekuat apa pun seorang pria, sakit hati dan kecewa tetap ada. Aku mengorbankan banyak hal.”
“Elia memang berselingkuh. Aku tahu itu,” ucap Ratri, seraya menyentuh punggung tangan Sastra yang melingkar di perut. “Dia menyimpan nomor selingkuhannya dengan nama ‘Mi Amor’. Aku yakin itu bukan nomormu. Kecuali, jika kamu memberikan nomor berbeda padaku.”
“Aku hanya memakai dua nomor. Satu untuk urusan pribadi dan satu lagi untuk pekerjaan. Yang kuberikan padamu adalah nomor pertama. Sama seperti yang Elia simpan,” terang Sastra, kembali mengecup lembut pundak Ratri.
“Berarti memang benar,” gumam Ratri. “Aku seperti pernah melihat foto profilnya. Namun ….”
“Itu nomor Prama.”
“Apa?” Ratri langsung berbalik karena terkejut. Dia menatap tak percaya. “Prama?”
Sastra mengangguk. “Aku sudah mengetahuinya sejak lama. Namun, aku hanya ingin membuktikan secara langsung. Kamu lihat sendiri seberapa akrab mereka jika sedang bersama. Itulah kenapa, aku lebih sering memilih diam saat berkumpul. Sebenarnya, aku ingin sekali menghajar bajingan itu.”
“Ya, Tuhan.” Ratri terlihat gelisah. Dia sedikit menjauh dari Sastra. “Artinya, aku dan Elia sama saja.”
“Sama, tetapi tetap berbeda.” Sastra mendekat. “Itulah kenapa, aku tidak perlu merasa bersalah. Begitu juga denganmu. Aku berterima kasih karena ditemani dalam situasi seperti sekarang,” ujar pria itu tenang.
“Bagaimana kamu bisa setenang ini? Apa yang akan terjadi besok, saat kami bertemu di kantor? Ya, ampun. Aku tidak bisa membayangkannya.”
“Hindari saja. Tidak perlu ada perbincangan apa-apa,” ujar Sastra lagi, masih dengan sikap serta nada bicara teramat tenang.
“Tidak mungkin. Kami ….’ Ratri menatap dengan sorot tak dapat diartikan.
“Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkanmu berada dalam masalah besar seorang diri.”
Ratri mengangguk, kemudian memeluk erat Sastra. Dia berusaha menghilangkan keresahan berbalut rasa bersalah. Mencari ketenangan dalam dekap hangat Sastra, yang sebenarnya merasakan hal serupa.
“Bagaimana jika kita melihat apartemen yang kusiapkan untukmu?” Sastra mengurai pelukan, meski tangannya masih berada di pinggang Ratri.
“Haruskah?”
Sastra mengangguk yakin. “Aku belum mengetahui siapa yang memata-matai kita. Namun, bila orang itu mengirimkan foto-foto tadi ke tempat kost, bisa saja dia mengetahui lebih banyak tentang dirimu. Aku hanya khawatir,” jelas Sastra lembut, berusaha memberikan pengertian pada Ratri.
“Aku hanya merasa itu terlalu berlebihan. Aku bukan siapa-siapa bagimu. Kita hanya ….” Ratri tidak melanjutkan kalimatnya karena Sastra lebih dulu mengecup bibirnya, meski hanya sekilas. Wanita muda berambut pendek itu terpaku sejenak.
“Ayo,” ajak Sastra, seraya meraih tangan Ratri. Membawanya turun, lalu menuju halaman parkir. Dia langsung membukakan pintu mobil untuk wanita itu.
“Kamu yakin tidak ada yang mengawasi kita sekarang?” tanya Ratri waswas. Dia jadi merasa tak leluasa dalam bergerak.
“Kita akan mengetahuinya nanti,” jawab Sastra tenang, kemudian melajukan kendaraan dalam kecepatan sedang.
Sastra fokus mengemudi. Sesekali, dia melihat spion dalam, sekadar memastikan apakah ada sesuatu yang aneh atau tidak. Dalam beberapa menit pertama, pria itu tidak melihat ada yang mencurigakan.
Sastra memicingkan mata. Pada menit berikutnya, pria tampan berdarah campuran tersebut mulai menangkap sesuatu, yaitu sebuah SUV hitam yang mulai mengikuti dari jarak beberapa meter. Berhubung lalu lintas di jalur itu tidak terlalu ramai, Sastra menduga SUV tersebut merupakan milik penguntit.
“Kurasa, ada yang mengikuti kita,” ucap Sastra, seraya menoleh sekilas kepada Ratri. “SUV hitam di belakang,” imbuhnya.
Penasaran, Ratri menoleh. Dia melihat mobil yang Sastra sebutkan tadi. “Kamu tahu itu mobil siapa?” tanyanya. Terdengar bodoh dan tak seharusnya ditanyakan. “Tidak perlu dijawab."
“Aku tidak yakin. Aku baru kembali ke Indonesia dan belum sempat mencari musuh,” celetuk Sastra enteng.
Sesaat kemudian, Sastra membelokkan setir ke sebuah pusat perbelanjaan. Kebetulan, di loket parkir ada beberapa kendaraan yang sedang mengantre. Sastra langsung masuk ke jalur antrean.
Dari arah lain, ada minibus yang muncul dan berhenti di belakang mobil milik Sastra. Minibus itu jadi penghalang antara mobil yang Sastra kendarai, dengan SUV hitam yang ternyata ikut berbelok ke pusat perbelanjaan tadi. Tak berselang lama, muncul minibus lain yang berhenti di belakang SUV hitam itu.
Setelah mengambil tiket parkir. Sastra segera melajukan kendaraan. Namun, dia tidak berhenti, melainkan langsung menuju ke loket parkir keluar. Ada jeda waktu yang cukup untuk melarikan diri, berhubung SUV tadi terjebak di antara dua minibus.
Setelah membayar uang parkir, Sastra memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Dia tak peduli, meskipun membuat Ratri tegang karena gaya mengemudinya.
“Hati-hati. Aku belum menikah,” tegur Ratri.
“Aku juga belum, Non,” balas Sastra. Dia tak juga memelankan laju kendaraan, selagi merasa belum aman.
“Aku rasa, kita sudah tidak diikuti,” ucap Ratri, memastikan dengan menoleh ke belakang mobil.
Sastra ikut memastikan dengan melihat spion. Hingga beberapa saat, dia mengawasi sambil terus mengemudi.
Setelah merasa yakin, barulah Sastra menurunkan kecepatan. Dia mengarahkan kendaraan ke alamat yang dituju, yaitu apartemen yang sudah disiapkan untuk Ratri.
“Kamu tidak sedang bercanda, kan?” Ratri menatap tak percaya, ketika Sastra membawanya ke unit apartemen yang berada di lantai 40.
“Bagaimana? Kamu suka?”
Ratri mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan dan segala hal yang ada di sana, seribu kali lebih bagus dan lengkap dibandingkan kamar kost-nya. Bagaimana mungkin, dia mengatakan tidak menyukai tempat itu.
“Aku menyukainya. Namun, aku tidak bisa menerima ini,” tolak Ratri.
“Aku tidak menerima penolakan. Tinggalah di sini selama kamu masih bersamaku. Jika suatu saat nanti kamu menemukan seseorang yang benar-benar mencintaimu, maka pergilah. Aku tidak akan memaksamu tetap di sini."
Ratri menatap lekat Sastra. “Aku tahu, kamu tidak akan pernah meninggalkan Elia,” ucapnya pelan.
“Akan kulakukan, jika kamu meminta," balas Sastra.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...