Dalam Secangkir Kopi
“Sastra sudah pulang dari Skotlandia,” ucap Eliana ceria. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi wanita muda itu, selain pertemuan dengan sang kekasih.
“Oh, ya? Aku senang mendengarnya. Berarti, kalian akan segera bertunangan?” Ratri yang tengah sibuk membuat rancangan, menghentikan sejenak pekerjaannya. Dia menoleh pada Eliana.
“Of course. Kami sudah terlalu lama menjalani hubungan jarak jauh. Inilah saatnya mengakhiri penantian panjang.” Wajah Eliana berbinar indah, membayangkan pertemuan dengan sang pujaan hati. “Aku dan Sastra jarang sekali bertemu. Kamu tahu itu,” ujar Eliana lagi.
“Aku tidak tahu. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan calon tunanganmu,” balas Ratri tak acuh.
Eliana menggumam pelan. “Entah aku yang lupa mengenalkan kalian, atau karena belum ada kesempatan,” ujarnya. “Dia mengajakku menghadiri acara peresmian cafetaria ‘Secangkir Kopi’. Kamu harus ikut."
Ratri kembali menghentikan pekerjaannya, kemudian menatap Eliana. “Jangan lupa, kitalah arsiteknya,” ucap wanita cantik itu bangga.
Eliana tertawa renyah, seraya berpindah ke dekat meja kerja Ratri. “Tentu saja. Kita adalah tim paling solid. I love you so much. Kamu lebih dari sekadar sahabat. Kamu sudah seperti saudara perempuan yang tidak pernah kumiliki,” ujarnya, sebelum berlalu keluar ruangan.
“Ya, jika kamu sedang bahagia. Jika sedang kesal, kamu pasti mengatakan aku menyebalkan seperti tantemu,” balas Ratri cukup nyaring, berhubung Eliana sudah sedikit menjauh.
Eliana menoleh, kemudian menjulurkan lidah. Dia tertawa cukup lebar, lalu bersenandung riang.
Sementara itu, Ratri hanya tersenyum simpul melihat sikap Eliana. Dia turut bahagia. Sayangnya, hingga saat ini Ratri belum menemukan tambatan hati yang sesuai.
Ah, tidak. Itu merupakan narasi kurang tepat. Pernyataan yang benar adalah karena Ratri bukan tipikal wanita yang senang dengan ikatan serius. Dia tidak mau dikekang oleh aturan-aturan dalam menjalin hubungan.
Meskipun begitu, Ratri bukanlah pemuja kehidupan bebas tanpa batas. Dia masih memegang teguh beberapa prinsip yang dianggapnya benar. Itulah kenapa, wanita yang selalu tampil cantik dengan rambut pendek sebahu tersebut, betah menyendiri.
Ratri kembali pada sisa pekerjaan yang tertunda. Namun, belum sempat menyelesaikannya, Eliana tiba-tiba masuk ke ruangan dengan ekspresi teramat berlebihan.
“Ada apa?” tanya Ratri keheranan.
“Sastra … dia ….” Eliana melihat ke pintu keluar, yang sengaja dibiarkan terbuka.
Di ambang pintu, sudah berdiri seorang pria berperawakan tinggi tegap, dengan penampilan eksentrik. Jaket kulit hitam, celana jeans belel, serta gaya rambut man bun.
“Permisi. Boleh masuk?”
Eliana tersenyum manis. “Pelanggan pertama kami,” candanya, seraya menghampiri ke dekat pintu. Tanpa sungkan, dia mencium mesra pria yang tak lain adalah Sastra.
Ratri segera mengalihkan perhatian ke hal lain. Walaupun melihat itu dari ruang kerja yang terhalang roller blinds, tetapi dia tahu betul apa yang tengah Eliana dan Sastra lakukan.
“Ayo,” ajak Eliana, seraya menuntun Sastra masuk ke ruang kerjanya bersama Ratri. “Aku ingin memperkenalkanmu secara langsung, pada sahabat sekaligus rekan kerjaku.”
Eliana memberi isyarat agar Ratri mendekat. Bahasa tubuh sederhana, yang langsung dipahami wanita berambut pendek tersebut.
“Honey, inilah Ratri Swasti Windrawan. Dia yang memiliki ide cemerlang, dalam mendesain ‘Secangkir Kopi’. Aku yang mematangkan. Kami bekerja sama dengan sangat baik. Begitu, kan?”
Eliana melingkarkan tangan di lengan Sastra, sambil sesekali menyandarkan kepala di pundak pria itu. Sikap Eliana bagai anak kecil, yang tengah bermanja-manja kepada orang tuanya.
“Hai,” sapa Sastra kalem. “Terima kasih. Desain yang sangat luar biasa,” sanjungnya.
“Terima kasih kembali. Aku … maksudku kami ...." Ratri tersenyum kikuk. “Kami senang karena kamu menyukainya. Salam kenal.” Ratri mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
“Salam kenal juga. Namaku Sastra Arshaka.”
“Aku tahu. Elia menyebutkan namamu ratusan kali dalam sehari.” Ekor mata Ratri mengarah kepada Eliana, yang langsung menatap protes.
“Dia terlalu berlebihan,” bisik Eliana pada Sastra.
Sastra tersenyum kalem. Namun, dia tak mengatakan apa pun.
“Duduklah. Biar kubuatkan minuman,” ucap Ratri.
“Tidak usah. Aku hanya mampir,” tolak Sastra segera, sebelum mengarahkan perhatian sepenuhnya pada Eliana. “Jangan lupa besok malam."
Eliana mengangguk. “Tenang saja. Aku sudah mengajak Ratri, meskipun tidak yakin dia akan menjawab ‘iya.’ Ratri tidak menyukai keramaian.”
“Aku akan datang, selama itu bukan acara formal.”
“Kenapa? Tidak suka acara formal?” Sastra menautkan alis.
“Tidak. Bukan begitu,” bantah Ratri. “Aku hanya menghindari kebosanan,” ujarnya.
“Oh, baiklah.” Sastra tersenyum kalem. “Akan kubuat acara pembukaan nanti semenarik mungkin, agar kalian tidak merasa bosan.”
“Thank you, Honey. Kamu sangat pengertian," ucap Eliana manja.
“Sudahlah. Kita masih punya urusan lain.”
“Ah, iya. Aku akan pulang lebih awal. Kamu tidak apa-apa jika kutinggal sendiri?” tanya Eliana.
Ratri menggeleng, diiringi senyuman. “Pergi saja. Aku harus membereskan pekerjaan yang tertunda.”
“Oh, Ratri. Aku sayang kamu.” Eliana memeluk sahabatnya, sebelum kembali ke dekat Sastra.
“Jangan berlebihan,” ujar Ratri tak acuh, seraya mengantar sejoli itu menuju pintu keluar.
Sepeninggal Eliana dan Sastra, Ratri kembali ke ruang kerja untuk melanjutkan pekerjaan. Dia baru berhenti, ketika jarum jam sudah menunjuk angka sembilan.
Tanpa membereskan meja, Ratri bersiap pulang. Dia mematikan lampu, kecuali yang berada di ruang depan. Tepat saat dirinya akan membuka pintu, terdengar ketukan pelan dari luar.
Ratri terpaku. Dia tidak pernah menerima tamu di malam hari. Entah siapa yang datang pada jam seperti itu.
Walaupun takut, Ratri tetap memberanikan diri. Dia membungkuk, mengintip dari lubang kunci. Samar, dirinya melihat jaket kulit yang sama persis seperti yang Sastra kenakan.
“Permisi.”
Ratri akhirnya bernapas lega. Meskipun baru bertemu satu kali secara langsung, tetapi dia sudah tak asing lagi dengan suara Sastra. Tanpa ragu, dirinya langsung membuka pintu.
“Syukurlah, kamu belum pulang,” ucap Sastra, saat wajah Ratri muncul dari balik pintu.
“Ada apa? Ada yang bisa kubantu?” tanya Ratri.
“Ya.” Sastra mengangguk samar. “Elia kehilangan gelang kesayangannya. Dia pikir, benda itu terjatuh di sini.”
“Astaga. Dia bisa mencarinya besok.”
“Kamu pasti tahu seperti apa karakternya.”
Ratri mengembuskan napas pelan bernada keluhan. “Dasar manja.” Dia membuka pintu, membiarkan Sastra masuk. Ratri juga kembali menyalakan lampu ruang kerja.
“Silakan cari di sekitar meja kerjanya. Aku akan mencari di tempat lain,” ucap Ratri, seraya meletakkan tas di meja. Dia menyisir beberapa ruangan, termasuk toilet.
Benar saja. Gelang yang dicari ada di sana. Ratri segera memungut, lalu membasuhnya hingga dirasa bersih. Setelah itu, dia kembali ke ruang kerja.
Namun, Ratri tertegun melihat apa yang Sastra lakukan. Pria itu tengah asyik mengamati hasil rancangannya.
Menyadari kehadiran Ratri, Sastra menoleh. Dia menatap penuh arti. "Maaf," ucapnya pelan dan dalam, seraya berjalan mendekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Dwisya12Aurizra
Kayaknya bakal ada yg pindah kelainan hati 🤭
2024-12-13
0
Titik pujiningdyah
Awass jatuh cinta
2024-11-27
1
Titik pujiningdyah
negara favorit keknya
2024-11-27
1