Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PROLOG
"Lo kemana aja, Dionata! Istri lo sekarang di rumah sakit, bodoh!"
Boleh jadi karena suara melengking Disha dari seberang telepon atau justru karena berita yang disampaikannya, Dio terkejut hingga sedikit terhuyung. Dadanya berdebar-debar, seketika tubuhnya lemas. Terbayang bagaimana ia dengan jahat meninggalkan Kiana tadi dan bergegas kemari tanpa menoleh lagi.
"Pak, boleh saya minta tolong? Tolong pastikan perempuan ini dirawat dengan di rumah sakit. Saya harus pergi karena istri saya sekarang sedang di rumah sakit."
"baik Pak Dio."
"No, Dio. Jangan pergi. Jangan pergi ke Kiana. Dionata, please."
Namun Dio sudah kehilangan iba itu. Suara Rosa yang memelas tak lagi mengganggu hatinya. Baginya, ia jelas telah dikhianati oleh perempuan itu. Kini yang lebih mengganggu pikirannya hanyalah keadaan Kiana.
Juga bayi mereka.
^^^^
Kata pepatah, penyesalan selalu berada di belakang, menjadi bayang-bayang mengerikan mengikuti keputusan salah yang diambil. Membuat diri ingin memutar balik waktu jika bisa.
Begitu pula dengan yang Dio rasakan kini. Tiga jam yang lalu, ia dengan jahatnya meninggalkan Kiana dan berlari pada Rosa tanpa memedulikan sama sekali permohonan perempuan itu. Padahal kondisi kiana pun sedang tak baik-baik saja karena morning sickness yang belakangan semakin parah.
Berengsek!
Dio terus merutuki dirinya sendiri.
Di ruangan berwarna putih bertuliskan VIP di bagian pintu berwarna biru langit itu, Dio terpaku sesaat. Langkahnya macet, menatap nanar ke dalam sana. Di mana perempuan yang ia sia-siakan berbaring di tempat tidur, digenggam jemarinya oleh Mama. Terlihat jelas bahwa Kiana sengaja menutup wajahnya dengan sebelah telapak tangan lainnya.
Ia bergetar, menangis tertahan.
Sesuatu yang jelas menyiratkan hal buruk sedang terjadi.
"Kia," ucap Dio seraya melangkah cepat mendekat ke sana. Ia bersiap mendekat pada Kiana sebelum akhirnya sebuah tamparan lebih dahulu menyapa Dio.
Ia terkejut.
Kiana yang sedang menangis pun terkejut.
Dio tak perlu ditanya, jelas terkejut.
Tamparan ayahnya terasa pas sekali di pipinya. Panas, kuat dan menyakitkan. Dio bahkan sampai berpaling karena tekanan yang diberikan ditamparan tersebut.
"Ayah," ujar Dio terbata-bata.
"Manusia jahat itu kamu," jawab ayahnya seraya berlalu. Ia tidak menjelaskan alasan ia menampar wajah anak bungsunya. Namun melihat reaksi keluarganya yang lain, yang tak melerai, jelas ia adalah pihak yang salah.
Dio memilih mengabaikan efek tamparan itu. Ia justru mendekat kearah Kiana.
"Kia ...."
Dalam detik yang terasa melambat, juga eksistensi manusia lainnya yang tiba-tiba menjadi kasat mata, baik Dio maupun Kiana kini saling bertemu pandang. Dio bisa melihat dengan jelas di raut wajah ayu istrinya, tersimpan sebuah luka dan rasa sedih yang banyak. Mata yang sembap, pipinya yang basah serta hidung yang memerah karena kebanyakan menangis.
"Kia ada apa ini?"
Perempuan itu bergeming. Air mata yang meleleh tak membuat mulutnya berujar barang sepatah katapun. Ia bisu. Menghukum Dionata dengan diamnya.
"Kia, maafin aku."
Dio tahu bahwa hal buruk itu telah terjadi sehingga reaksi Kiana bisa semarah itu pada dirinya. Sehingga meskipun tak ada yang menjelaskan semuanya pada Dio, laki-laki itu akhirnya tergugu seraya meluruh di lantai, di sisi ranjang Kiana.
Menangis ia.
Menyesali semua yang ia lakukan pagi ini, hari kemarin, atau seluruh isi satu tahun lebih ke belakang. Seluruh isi hari pernikahan mereka yang disia-siakan. Hingga akhirnya Tuhan menghukumnya dengan sebuah kehilangan.
"Squishy sudah nggak ada, Dionata."
Kiana akhirnya buka suara. Anehnya, di telinga Dio, suara Kiana terasa sangat dingin. Terlebih ketika Kiana melanjutkan ucapannya yang menohok.
"Sekarang kamu bisa bebas menemui Rosa."
Dio menggeleng.
Ia menggeleng berkali-kali.
"Nggak Kia, maafin aku."
Dio berusaha menggenggam tangan Kiana namun perempuan itu mengempaskannya. Tatapan matanya jelas menyirat benci yang tak terhitung pada Dio. Sebuah perubahan drastis dari pandangan matanya yang biasanya dipenuhi cinta.
"Kia maafin aku. Please, aku benar-benar minta maaf."
Dio terlihat sangat tulus di mata Kiana. Mata laki-laki itu yang selalu terasa indah di pandangan Kiana jelas menangis dengan kesungguhan. Juga dari ucapannya yang tersendat-sendat seperti sesak.
Kiana tahu Dio menyesal.
Tapi bagi Kiana, kehilangan bisa melunturkan segalanya. Rasa cinta butanya pada Dio, misalnya.
Ia ingat dengan jelas bagaimana ia memohon pada Dio agar laki-laki itu tidak menemui Rosa. Alih-alih didengarkan, Dio mengabaikannya dan pergi ke Rosa, lagi. Bahkan menuduh Kiana yang egois segala.
Duh!
Kiana bukan berniat menghalangi Dio menemui Rosa. Selama lebih dari satu tahun, ia dengan jelas tidak akan pernah bisa menghalangi Dio yang selalu menuju Rosa. Tidak juga hari ini.
Tapi sejak pagi, Kiana merasa bahwa dirinya benar-benar merasa kepayahan. Ia ingin Dio di sisinya, menguatkan. Meyakinkannya bahwa segala hal yang tidak mudah ini akan segera berlalu dan Kiana harus kuat. Mengusap perutnya yang terasa kram hingga Kiana bisa terlelap. Kiana anehnya benar-benar membutuhkan Dio pagi ini.
Nyatanya itu adalah sebuah firasat buruk.
Ketika ia mulai merasakan sakit yang luar biasa kala bergelung dalam selimut. Memilih bangkit menuju kamar mandi, Kiana terkejut setengah mati mendapati banyak darah di pakaian dalamnya.
Menjerit Kiana.
Ia memanggil-manggil Mbok Dar dengan panik. Berseru untuk segera menelepon Dio yang berakhir tak diangkatnya padahal sudah berkali-kali Mbok Dar meneleponnya. Beralih pada nomor ponsel Mama dan di sinilah Kiana akhirnya.
Ruangan berwarna putih dengan aroma penuh kesedihan. Setelah melewati proses USG ditemani Mama tadi, Kiana harus menelan kenyataan pahit sekali lagi.
Ia kehilangan.
Kehilangan anak mereka.
Janin yang masih kecil itu sudah tak lagi terdengar detak jantungnya kala dokter meletakkan alat USG itu di perut Kiana. Berkali-kali dicari, dibesarkan volumenya, digeser kesetiap sisi, nyatanya senyap saja. Tak ada bunyi detak jantung yang menandakan kehidupan si kecil telah diambil Sang Punya.
Kiana memejamkan matanya. Menyeruak rasa sakit, rasa bersalah, rasa sedih, rasa terluka, pokoknya segalanya campur aduk. Menyeret air matanya yang keluar berbondong-bondong tak bisa dibendung lagi. Bahkan untuk bertanya alasan si janin itu pergi meninggalkannya saja pada dokter, Kiana tak sanggup.
Ia kehilangan.
Kehilangan anak mereka.
Dan disaat demikian, suaminya justru sedang berlari pada perempuan lain dengan dalih rasa tanggung jawab sialannya. Maka sangat beralasan rasa marahnya kini, rasa kecewanya kini.
"Aku benar-benar minta maaf Kia."
"Aku akan tindakan malam nanti untuk kuretase. Setelah aku sadar nanti, mari kita akhiri takdir buruk ini, Dio."
Dio membulatkan mata seraya terus menggeleng. Ia menangkupkan tangannya memohon pada Kiana. "Kiana, please, aku nggak bisa."
"Ayo kita berpisah saja, Dio."
^^^^
TO BE CONTINUED
Jangan lupa like dan komen yaaa