Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Jalan Terakhir
Keringat dingin mengalir di dahi Ariella saat timnya berlari menyusuri lorong bawah tanah yang gelap. Setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya. Mereka baru saja berhasil mengalahkan The Silent Ones, tetapi mereka tahu, ini bukan kemenangan. Ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, lebih mengerikan. Mereka tidak hanya harus menghadapi The Obsidian Circle, tetapi sekarang mereka harus menghadapi bayangan yang lebih gelap, yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Saat mereka akhirnya keluar dari lorong bawah tanah dan kembali ke permukaan, suasana di luar terasa mencekam. Angin malam yang dingin menyapu wajah mereka, membawa aroma tanah basah yang tajam. Tetapi di balik kesunyian itu, Ariella bisa merasakan keberadaan musuh yang mengintai. Mereka tahu, setiap langkah mereka sekarang akan dipenuhi dengan bahaya.
Ariella menoleh ke timnya, melihat wajah-wajah yang lelah namun penuh tekad. Rael dan Alex tampak lebih tenang, meski masih terlihat kelelahan, sementara Liana terlihat lebih pucat dari biasanya, tubuhnya terluka meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
"Jangan berhenti," kata Ariella, suaranya rendah namun penuh tekad. "Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Mereka akan melacak kita."
Mereka berjalan cepat, bergerak menuju tempat aman yang telah mereka siapkan sebelumnya—sebuah gudang tersembunyi di pinggiran kota, jauh dari jangkauan The Obsidian Circle. Tetapi meskipun mereka tahu bahwa tempat itu sementara akan aman, Ariella tahu bahwa mereka tidak bisa berlama-lama.
---
Sesampainya di gudang, tim Ariella segera mengamankan area dan menutup pintu dengan hati-hati. Liana segera mengurus luka-lukanya, sementara Rael memeriksa alat komunikasi mereka, mencoba menghubungi intelijen mereka yang tersisa.
"Tidak ada kabar terbaru dari dalam organisasi," kata Rael, matanya tajam menatap layar. "Tapi kita harus bergerak lebih cepat. Mereka pasti akan mengirim pasukan lebih banyak setelah ini."
Ariella mengangguk, merasa semakin tertekan. Setiap gerakan mereka akan terus dipantau, setiap langkah mereka akan dihadang dengan kekuatan yang lebih besar. Namun, dia tahu satu hal: mereka tidak akan mundur. Tidak sekarang.
"Rael," kata Ariella, memandangnya dengan serius. "Kita harus menghancurkan The Obsidian Circle sekarang juga. Jika kita membiarkan mereka bertahan lebih lama, mereka akan mengumpulkan lebih banyak kekuatan. Kita harus masuk ke markas mereka dan mengambil nyawa The Shadow King."
Rael menghela napas, lalu menjawab dengan penuh pertimbangan. "Aku tahu, tapi kita harus berhati-hati. Mereka sudah mengetahui cara melacak kita. Kita akan membutuhkan lebih banyak bantuan."
Ariella mengalihkan pandangannya ke luar, melihat langit malam yang gelap. Di balik bayang-bayang yang mengelilingi mereka, dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih mengerikan yang mengintai. Mereka harus bertindak cepat.
---
Tiba-tiba, suara tembakan menggema di luar gudang. Beberapa ledakan terdengar keras, mengguncang dinding dan membuat semua orang terjaga dalam sekejap. Pintu gudang yang sebelumnya tertutup rapat mulai bergetar hebat, dan kemudian, dengan ledakan keras, pintu itu pecah, menembus ruang yang semula tenang.
"Sial!" teriak Alex, berlari ke samping dan mengambil posisi bertahan. "Mereka sudah menemukan kita!"
Ariella cepat menarik pedangnya dan memberi isyarat kepada tim untuk bersiap. "Tidak ada yang bisa lari sekarang. Pertahankan posisi kalian. Kita harus keluar dari sini dengan hidup-hidup."
Rael segera memeriksa alat-alat tempur mereka, mempersiapkan granat dan peluru yang bisa digunakan untuk menghadapi serangan mendatang. Namun, meskipun mereka telah siap, Ariella tahu bahwa mereka menghadapi lebih dari sekadar kelompok kecil pembunuh. Ini adalah pasukan penuh yang dikirim untuk membunuh mereka semua.
Kelompok musuh yang masuk ke gudang ternyata lebih banyak dari yang diperkirakan—pembunuh elite dari The Obsidian Circle, yang dilatih untuk menghancurkan musuh tanpa ampun. Mereka mengenakan pelindung tubuh yang lebih kuat, senjata yang lebih canggih, dan memiliki taktik tempur yang lebih rapi.
"Jangan biarkan mereka mendekat!" teriak Ariella, memimpin serangan dengan keberanian yang tidak bisa dipadamkan. Pedangnya berkilauan saat menebas seorang musuh yang mencoba menyerangnya. Darah memancar ke udara, tetapi Ariella tidak memberi kesempatan pada tubuh lawan untuk jatuh. Dia terus maju, menghancurkan setiap musuh yang berani menghadangnya.
Alex dan Liana bekerja sama, menyusun serangan saling mendukung. Rael, dengan ketenangannya yang khas, melontarkan granat ke kerumunan musuh, meledakkan beberapa dari mereka sekaligus.
Namun, meskipun mereka melawan dengan segenap kekuatan, jumlah musuh yang datang terus meningkat. Musuh datang dari segala arah, dan mereka tahu bahwa tidak ada jalan keluar yang mudah. Suara tembakan, ledakan, dan benturan pedang memenuhi udara, menciptakan kekacauan yang hampir tak terbendung.
---
Saat pertempuran semakin memanas, Ariella merasakan tubuhnya semakin lelah. Waktu semakin mendesak, dan meskipun timnya berhasil membunuh beberapa pembunuh, mereka juga mulai kehabisan tenaga. Mereka membutuhkan jalan keluar—sebuah rencana yang lebih brilian untuk melawan pasukan besar ini.
"Rael, granat!" teriak Ariella, melihat musuh yang semakin banyak datang dari satu sisi. Rael dengan cepat melemparkan granat ke arah kerumunan musuh yang bergerak maju. Ledakan itu cukup besar untuk menciptakan ruang sementara bagi mereka untuk bergerak lebih bebas.
Namun, meskipun mereka berhasil memukul mundur pasukan itu untuk sementara, Ariella merasakan ancaman yang lebih besar mendekat. Dari belakang, di ujung gudang, sebuah bayangan besar muncul—sebuah sosok yang mengenakan pakaian hitam, dengan pelindung tubuh yang lebih tebal dan senjata yang lebih mematikan. Itu adalah Kaito, yang meskipun terluka parah, kini kembali untuk menghadapi mereka.
Ariella menatap Kaito dengan tatapan tajam. "Kau tidak bisa berhenti, kan?" katanya dengan suara penuh kebencian.
Kaito tertawa rendah, meskipun darah mengalir dari tubuhnya. "Aku tidak akan berhenti sampai kamu mati, Ariella. Kau akan membayar untuk semuanya."
Dengan sebuah teriakan keras, Kaito meluncurkan dirinya ke arah Ariella, pedangnya bersinar di bawah cahaya yang redup. Ariella siap menghadapi serangannya, meskipun tubuhnya hampir tak mampu lagi bertahan.
Pertempuran ini, yang kini memasuki tahap paling brutal, akan menjadi penentu siapa yang bertahan dan siapa yang akan jatuh. Dengan darah yang mengalir, peluru yang terus melayang, dan musuh yang tidak pernah berhenti datang, satu-satunya pilihan yang tersisa bagi Ariella dan timnya adalah bertarung sampai akhir—hingga tidak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan.