Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD7
Ruangan Tim 1 kini begitu sunyi, semua yang ada di ruangan itu juga ikut merasakan duka dengan kepergian Rani yang begitu mengenaskan. Kini, tak ada lagi tawa riang sang perawan cantik yang menjajakan kue sang nenek, di kantor mereka.
DRAP!
DRAP!
DRAP!
Di tengah kesunyian yang menyelimuti Tim 1, langkah kaki yang berlari-lari dan meninggalkan suara gaduh, membuat seisi ruangan menoleh.
Seorang pria dengan berbalut jas putih kedokteran, muncul di ambang pintu dengan napas terengah-engah.
Pria itu mendekati Abirama yang sedang menatap tajam padanya dengan kedua tangan terkepal erat.
"Apa ... apa benar Maharani meninggal?!" tanya si pria dengan napas sengal.
"Bukankah anda lebih tau, Dokter Tommy?!" sinis Abirama.
"Apa maksudm--"
BUGH!
Satu pukulan dari Abirama, membuat Tommy terpental dan menabrak meja kerja Rinol.
"HAYAH-HAYAH-HAYAH!" Rinol menjerit kala jari-jarinya terjepit di antara meja dan bokong Tommy.
"M-maaf!" Ucap Tommy saat melihat Rinol kesakitan sembari mengibas-ngibas jemarinya.
Abirama maju selangkah, ia kembali ingin menghajar pria yang berdiri di hadapannya kini.
"Taufik, tahan dia, masukkan ke sel ...!" perintah Bella murka.
Taufik mengangguk lalu mendekati Abirama dan mencekal tangannya. Dengan jari yang masih cenat-cenut, Rinol pun ikut berdiri dan membantu Taufik membawa Abirama ke dalam sel tahanan sementara.
"Lepas!" Bentak Abirama sambil memberontak. Namun, ia kalah tenaga.
Bella menatap ketiga pundak anggotanya yang mulai menjauh, kemudian mengalihkan pandangannya ke Tommy. Satu-satunya dokter di sebuah RS yang memiliki tatto.
"Duduk lah," pinta Bella dingin.
Tommy mendekat dan lekas menarik kursi di balik meja kerja Bella. Matanya berkaca-kaca. "Apa benar berita yang ku dengar? Maharani meninggal?"
"Benar ...."
Sepatah kata yang Bella ucapkan, membuat air mata pria itu seketika luruh.
"Kenapa? -- Maksudku, apa penyebab nya?" Tommy menelisik, seolah ingin tau apa yang tengah mereka selidiki.
"Hanya itu informasi yang dapat saya berikan. Maaf." Jelas Bella sembari meneliti tatto-tatto yang meghias pergelangan Tommy.
Tommy menyadari hal itu dan berusaha menutupi tatto-tattonya yang tersingkap. Tommy bersandar sembari menghela napas. Ia merasa tak puas dengan informasi yang ia dapat. Tanpa Bella sadari, pria itu menatapnya tajam dan berakhir dengan pamit undur diri dari Tommy.
Sepeninggalan Tommy, Bella lekas menuju sel tahanan.
BUGH! BUGH! BUGH!
Begitu pintu sel terbuka, Bella melayangkan tiga tinjunya ke hidung, pipi dan perut Abirama. Pria itu ambruk dengan posisi berlutut.
"APA KAU INGIN MENGGAGALKAN PENYELIDIKAN KITA, ABIRAMA? JIKA YA, MAKA HARI INI, AKU AKAN MENGELUARKAN MU DARI KASUS INI!" Bella menumpahkan kemurkaan nya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sudah dua hari sejak jasad Rani ditemukan dan menjalani pemeriksaan, akhirnya Rani dikebumikan sore ini.
Sang nenek yang penuh harap cucunya akan kembali dengan selamat, hanya menangis pilu di sisi gundukan tanah.
"Malangnya nasib mu, Rani ...!" Jeritan sang Nenek yang penuh duka lara, begitu membahana.
Kini, tak ada lagi yang akan memijiti kakinya yang terasa pegal dan nyeri setiap malam. Kini, tak ada lagi yang akan mencuri lauk-pauk yang baru siap dimasak dan melemparkan senyuman jahil padanya. Kini, tak ada lagi yang akan berkeliling menjajakan kue, agar dirinya lekas pulang dan beristirahat di rumah. Kini, ia harus bagaimana?
Hari-hari pun berlalu, Bella akhirnya berhasil mendapatkan izin untuk menjalankan autopsi langsung dari MA.
"Taufik, infokan pada Dokter Forensik untuk melanjutkan tugas mereka," titah Bella.
"Siap, Kapt!"
"Rama, pergilah berkunjung ke rumah nenek Rani. Semalaman aku sibuk mengurusi ini dan itu, sampai-sampai tak sempat berkunjung. Bawalah ini." Bella menyodorkan kantong kresek hitam berisikan nasi uduk dan lauk pauk.
Sejak Rani meninggal, kapten muda itu memang selalu mengunjungi wanita sepuh yang baru saja kehilangan cucunya itu. Bella selalu membawakan makanan, minuman dan juga obat-obatan. Tujuan sebenarnya, ia hanya ingin memastikan wanita tua itu dalam kondisi baik-baik saja.
"Siap, Kapt!"
Setelah Taufik dan Abirama pergi, Rinol keluar dari kantor ketua dan segera mendekati Bella.
"Kapt, Ketua memanggil anda ...," beritahu Rinol.
Bella menghela napas panjang lalu mengangguk. Wanita cantik dengan rambut sebahu itu lekas menuju kantor sang ketua.
BRUGH!
Begitu tiba, wajah Bella langsung dihantam dengan satu pack tissue. Wanita itu meringis dengan sorot mata dingin.
"Ada apa dengan mata mu? Apa kau mengancam ku dengan mata jelek mu?!" hardik sang Ketua.
"Hentikan kasus mayat tak di kenal itu!" Perintah sang Ketua membuat Bella terkekeh.
"Kau sekarang tertawa? Kau mentertawakan aku?" Ketua berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang.
"Saya tidak bisa melakukan itu," Bella masih terkekeh.
"Hentikan tawa jelek mu itu! Tidak bisa? Kau kira, kau Kepala Kepolisian di sini?! Lakukan seperti apa yang aku perintahkan!" Telunjuk sang Ketua mengacung ganas ke arah Bella.
"Bahkan, jika Kepala Kepolisian memerintahkan nya ... saya tetap tidak akan melakukan itu!" Bella meninggikan suaranya.
"Ohoooy! Berani sekali kau meninggikan suara mu pada ku! -- Bella, kau kira aku memerintahkan semua ini karena keinginan ku? Bekerja lah seperti biasa, jangan membuat keributan!"
"Justru saya sedang bekerja seperti biasanya. Tapi, sepertinya anda berusaha menghambat. -- Anda suka atau tidak, saya akan menyelidiki kasus ini dan akan segera menemukan pelakunya!"
"Kau?!" Telunjuk sang Ketua kembali mengacung, kali ini dengan sebuah getaran.
"Kasus ini, akan diselidiki secara menyeluruh dan dikirim ke penuntutan. Jika anda keberatan, silahkan anda berurusan langsung dengan Mahkamah Agung!"
Setelah berkata demikian, Bella keluar dari ruangan sang ketua dan menulikan indera pendengaran nya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Puluhan kali Abirama mengetuk-ngetuk pintu rumah mendiang Rani. Namun, tak ada satupun sahutan dari dalam. Ia sudah menunggu nyaris setengah jam.
"Dari semalam, orangnya gak keluar-keluar! Mati mungkin!" ucap sang wanita berperawakan tegas dengan wajah acuh tak acuh, kemudian berlalu begitu saja.
Abirama menggeleng kepala. "Astaga ...."
Pria dengan sepotong plaster di hidungnya, kembali mengetuk pintu. Abirama melirik arloji di pergelangan tangannya. Ia menghela napas panjang.
"Aku harus lekas kembali, bagaimana ini? Apa aku gantungkan saja makanan ini di gagang pintu?" pria itu bermonolog sendirian.
Abirama menepuk keras kepalanya dan membuang jauh-jauh pikiran itu. Pria itu berusaha mencoba mengintip. Namun, tak ada celah sedikitpun.
Tak kehabisan akal, pria itu meneliti dengan cermat. Ia menatap satu lubang yang ditutupi dengan sejenis kantong kresek dari dalam. Abirama mencari benda-benda yang bisa menusuk lubang pintu tersebut.
Berhasil, Abirama akhirnya berhasil. Ia lekas mengintip keadaan di dalam rumah dari sebuah lubang kecil.
Abirama tiba-tiba mematung, suaranya serasa tercekat di tenggorokan dengan apa yang dilihatnya saat ini.
Setelah menetralisir rasa kagetnya, ia lekas mengeluarkan ponsel dan menghubungi Bella.
"Kapt ...."
*
*
*
🤭😁🙈