Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maghrib Bukan Subuh
Abdi mengikuti arah pandangan Kusuma, dan senyumnya perlahan mengembang. Di depan mereka, terlihat tenda hijau milik TNI, tempat mereka bermalam selama misi bantuan bencana.
"Akhirnya," ujar Abdi lega.
"Tapi aneh," gumam Kusuma, alisnya berkerut. "Kenapa mereka nggak mencari kita sejak tadi malam?"
Agvia tampak asyik bercanda dengan yang lain, tanpa sedikit pun menunjukkan kekhawatiran tentang keberadaan Kusuma dan Abdi.
"Kok kamu cemberut gitu ngelihatnya?" tanya Abdi sambil berhenti sejenak, mencoba mengatur napas.
"Heran aja. Kenapa mereka semua santai banget? Seharusnya mereka sadar, dong, kalau kita semalaman nggak pulang. Apalagi Agvia, dia tahu aku nggak balik, tapi kok nggak cari aku?" keluh Kusuma.
Abdi menatap Kusuma dengan senyum menggoda. "Kamu suka sama Agvia, ya?"
"Ya iyalah, suka. Dia kan sahabatku."
"Hmm... makanya cemburu lihat dia asyik sama yang lain."
"Siapa yang cemburu? Dia sahabat, bukan pacar. Ngapain aku cemburu? Aku cuma kesal, kenapa dia nggak nyari aku," Kusuma menjawab dengan nada setengah kesal.
"Sudah, ayo kita jalan," ajak Abdi sambil mulai melangkah mendekati kelompok mereka.
"Kusuma, Mas Abdi! Kok wajah kalian kusut begitu? Dan rambutmu, Kusuma, kenapa berantakan banget?" tanya Agvia, memperhatikan pakaian kotor, wajah penuh keringat, dan rambut Kusuma yang penuh tanah.
Kusuma memilih diam tanpa menjawab, langsung masuk ke tenda untuk mengambil pakaian bersih.
Sementara itu, Abdi hanya menepuk bahu Agvia dengan ringan.
"Mas, ada apa dengan Kusuma? Jangan-jangan Mas Abdi ngapa-ngapain dia, ya?" celetuk Agvia, mencoba menebak situasi.
Melihat Kusuma keluar tenda sambil membawa handuk, Agvia memanggilnya. Tapi Kusuma tetap diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Tuh kan, ngambek," gumam Agvia.
Abdi menghela napas, duduk, lalu meneguk teh dari gelas yang ada di hadapan Agvia. "Semalaman kita nggak pulang, kenapa kalian nggak cari kita?" tanyanya, suaranya serius.
"Semalaman? Bukannya Mas Abdi baru aja pergi beberapa menit yang lalu buat nyusul Kusuma?" jawab Agvia, bingung.
Kening Abdi berkerut. Ia segera meminta ponsel dan jam tangan milik Agvia. Melihat waktu yang terpampang, Abdi tertegun. Mata membelalak, dan bulu kuduknya berdiri. Sesuatu yang tak masuk akal baru saja ia sadari.
Tanpa banyak bicara, ia bangkit dan berlari ke arah Kusuma yang hendak mandi.
"Mas, kenapa lari?" tanya Agvia, tak mengerti. Ia pun buru-buru menyusul Abdi, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kusuma, tunggu!” seru Abdi sambil berlari menyusul.
“Mas, kenapa sih lari-lari? Sudah kubilang istirahat dulu. Kalau sakit lagi, gimana?” Kusuma menegur dengan nada kesal, khawatir melihat kondisi Abdi.
Abdi mengulurkan jam tangan dan ponsel milik Agvia ke arah Kusuma. Gadis itu memandang benda-benda itu dengan mata terbelalak, sulit mempercayai apa yang terjadi. Selama ini mereka mengira semalaman tersesat di hutan, tetapi waktu yang berlalu ternyata hanya beberapa menit saja.
“Jadi ini masih maghrib, bukan subuh?” tanya Kusuma, kebingungan.
“Iya, Kusuma. Tapi... apa sebenarnya yang terjadi?” Abdi menggeleng, mencoba memahami situasi.
“Sudah, mandi saja dulu. Keburu malam,” ucap Abdi, mencoba menenangkan Kusuma meski pikirannya sendiri penuh tanda tanya.
Agvia, yang dari tadi mengamati, ikut penasaran. Setelah Abdi menceritakan apa yang mereka alami, Agvia hanya bisa mengangguk pelan sambil berkomentar, “Pantas dia marah.”
***
Setelah tiga hari menangani korban tanah longsor di desa terpencil, tim paramedis akhirnya kembali ke rumah sakit yang sebelumnya menjadi posko mereka. Dari sana, mereka akan pulang ke kota masing-masing.
Setibanya di rumah sakit, Abdi yang tampak lelah mendapat kunjungan tak terduga dari Jesy, kekasihnya.
“Kenapa kamu ke sini?” tanya Abdi, heran.
“Aku cuma kangen, Di!” jawab Jesy sambil memeluk Abdi erat.
Melihat momen itu, Kusuma dan Agvia memilih pergi ke belakang, memberi mereka ruang. Namun, langkah Kusuma terhenti sejenak. Ia menoleh ke arah Abdi dan Jesy yang masih berpelukan. Pemandangan itu membuat dadanya terasa sesak.
Dalam hati, Kusuma bertanya-tanya, "Apa ini yang disebut cemburu?" Bayangan saat ia harus menghangatkan tubuh Abdi kembali menghantuinya.
“Kusuma, ngapain bengong? Ayo ambil barang kita, terus pulang!” seru Agvia, menyadarkan Kusuma.
***
“Abdi, pulang bareng aku saja. Aku bawa mobil. Daripada kamu harus repot naik bus,” kata Jesy, menawarkan dengan nada lembut.
“Jesy, kita sudah tidak ada hubungan lagi. Tolong, jangan kejar aku lagi,” bisik Abdi lirih di telinga Jesy, mencoba menahan emosi.
“Mas Abdi, cepat naik!” teriak Agvia dari dalam mobil.
Tanpa menoleh lagi, Abdi segera masuk ke mobil, meninggalkan Jesy yang menangis terisak di tempatnya.
“Vi, pindah ke belakang,” ujar Abdi tegas, mengisyaratkan adiknya untuk mengganti posisi duduk.
Agvia mengernyitkan dahi, menatap Abdi dengan rasa heran, tetapi akhirnya menurut. Sebagai adik, ia memilih tidak membantah.
“Ada apa, sih, kalian ini?” gumam Agvia sambil berpindah ke kursi belakang.
Kusuma, yang duduk di samping Abdi, menoleh penuh rasa ingin tahu. “Kenapa, Mas? Kok adikmu disuruh pindah?” tanyanya.
Abdi tersenyum tipis. “Aku masih belum pulih dan butuh dokterku. Kamu kan dokternya, Kusuma,” katanya sambil mencoba mencairkan suasana.
Setelah berbicara sebentar, Abdi memilih untuk tidur di perjalanan. Tidak lama kemudian, Kusuma yang juga lelah ikut tertidur. Tanpa sadar, kepalanya bersandar di bahu Abdi.
Perpisahan akhirnya tiba. Abdi kembali ke Surabaya, Kusuma ke Jombang, dan Agvia menuju Malang.
“Agvia, tunggu sebentar!” panggil Kusuma sambil menghampiri.
“Ada apa, Kusuma?” tanya Agvia, sedikit bingung.
“Aku punya dua nomor ponsel. Tapi satu nomor ini jangan pernah kamu sebarkan, bahkan kalau Dokter Abdi sekalipun yang minta,” Kusuma memperingatkan dengan nada serius.
“Kenapa? Memangnya ada apa? Mana nomornya?” tanya Agvia penasaran.
“Kamu nggak perlu tahu alasannya. Nanti aku kirim lewat pesan,” jawab Kusuma sambil memeluk Agvia erat untuk berpamitan.