Satu demi satu kematian terjadi di sekolah.
Jika di waktu biasa, orang tua mereka akan langsung menuntut balas. Tapi bahkan sebelum mereka cukup berduka, perusahaan mereka telah hancur. Seluruh keluarga dipenjara.
Mantan anak yang di bully mengatakan, "Jelas ini adalah karma yang Tuhan berikan, atas perbuatan jahat yang mereka lakukan."
Siswa lainnya yang juga pelaku pembully ketakutan, khawatir mereka menjadi yang selanjutnya. Untuk pertama kalinya selama seratus tahun, sekolah elit Nusantara, terjadi keributan.
Ketua Dewan Kedisiplinan sekaligus putra pemilik yayasan, Evan Theon Rodiargo, diam-diam menyelidiki masalah ini.
Semua kebetulan mengarahkan pada siswi baru di sekolah mereka. Tapi, sebelum Evan menemukan bukti. Seseorang lebih dulu mengambil tindakan.
PERINGATAN MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cerryblosoom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 JAHAT ATAU BAIK
"Ya, kita hanya perlu mengoleskannya di bagian luar."
Meera mengangguk paham, meskipun dia tidak pernah melihat metode ini, tapi dia mencoba untuk percaya, mengingat gadis di depannya adalah murid dari sekolah tuannya, apapun yang terjadi tak mungkin seorang murid berani melukai istri kepala sekolahnya kan. Apalagi dengan banyaknya saksi di sini.
Aria tak lagi bicara, dan mulai fokus menumbuk. Meski pekerjaan ini terlihat mudah, sebetulnya butuh ketelitian yang tepat. Kapan bahan lain akan ditambahkan, seberapa halus dan kasar menumbuk nya, jika ingin membuat obat yang bagus, semua itu wajib diperhatikan, untuk memaksimalkan efek obatnya.
Dia telah sering melakukan pekerjaan ini. Jadi tak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.
"Aku akan menyerahkan pada kakak untuk dioleskan," kata Aria menyerahkan hasil tumbukannya.
"Eh, kamu tidak akan mengoleskannya," kata Meera terkejud.
"Maaf, kak, tapi aku harus segera kembali ke sekolah. Hari ini adalah ujian terakhir."
"Oh ya, aku melupakan itu. Kamu masih seorang siswa."
"Kakak, hanya perlu mengolesnya pada bagian yang sakit. Aku pergi dulu, maaf kak, bibi, aku buru-buru," setelah mengatakan itu Aria langsung bergegas pergi keluar. Tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Meera hampir ingin mencegahnya, tapi gerakan Aria terlalu cepat. Dia lupa untuk menanyakan nama gadis itu.
"Meera," panggil Helena.
"Ya, nyonya apa ada yang sakit?" tanya Meera langsung mendekat ke arah nyonyanya.
"Sudah, sudah mendingan, hanya sedikit sakit saat digerakkan, tapi tidak separah tadi."
"Syukurlah. Kalau begitu tindakan anak itu sudah benar."
Helena mengernyitkan dahi, menahan sakit sekaligus merasa bingung, "Anak, siapa yang kamu maksud?"
"Itu tadi ada, emm, seorang siswi di sekolahnya tuan yang datang membantu. Mungkin dia tahu identitas nyonya, jadi dia ikut menolong."
"Benarkah, lalu dimana anak itu."
"Dia sudah pergi, katanya hari ini ada ujian. Ohh, nyonya, dia juga meninggalkan obat oles disini. Apa nyonya akan memakainya, aku tidak yakin, karena dia hanya menumbuk beberapa rumput tadi."
Meera memperlihatkan apa yang ditinggalkan Aria.
Helena menjadi semakin tertarik, "Coba saja, kalaupun tidak berguna, kita sudah menghargai usaha anak itu."
"Ya baiklah, aku akan mulai mengoleskannya."
Saat dioleskan pertama kali, Helena merasa dingin, tapi kemudian dia merasa panas di area yang dioleskan, bukan panas yang buruk, dia merasa sangat enak dan nyaman.
"Nyonya sudah selesai," kata Meera.
Mendengar itu, Helena tidak langsung bereaksi, karena tubuhnya merasakan sesuatu.
"Ini, obat apa ini sebenarnya, kenapa aku merasa begini. Bahkan balsem yang kubeli di luar negeri, tidak menghasilkan efek seperti ini," batin Helena.
Balsem biasa akan menimbulkan rasa panas yang tidak tertahankan. Walaupun rasa sakitnya akan reda kemudian. Tetap saja selama merasakan efek panas itu, seseorang nyonya rumah yang halus, jarang ada yang bisa menahan.
"Nyonya bagaimana rasanya?" tanya Meera penasaran. Tangannya bekas mengoleskan tidak merasakan apapun. Jadi dia merasa semakin penasaran apa efeknya jika di oleskan di tempat yang luka.
"Dingin, lalu panas, tapi panas yang nyaman. Apa tanganmu yang mengoles tidak merasakannya."
"Tidak, aku hanya merasa tanganku basah dan sedikit lengket saja. Bagaimana pinggang nyonya, apa lebih baik?"
Helena tersadar, dia hampir melupakannya, itulah hal terpenting, bagaimana bisa dia sudah menganggap ini obat yang baik, hanya dari perasaan nyaman saja.
Dia mengulurkan tangan pada asistennya, "Bantu aku duduk."
"Eh, nyonya yakin. Kita baru saja mengoleskannya."
"Bantu saja aku," desak Helena memaksa.
"Baik," balas Meera patuh.
Dengan bantuan asistennya Meera, Helena duduk perlahan-lahan. Benar, saja rasa sakitnya berkurang banyak, bahkan hampir tidak terasa lagi. Dia bisa duduk dengan tegap. Tapi mungkin jika untuk berjalan, masih akan sakit.
"Nyonya apa sakit?" tanya Meera khawatir. Dia melihat raut wajah majikannya. Meski terlihat tidak ada ekspresi menahan sakit. Tetap saja hati seseorang sangat sulit untuk dibaca.
"Tidak. Ini luar biasa, aku sama sekali tidak merasa sakit," Helena tersenyum cerah, "Meera kamu harus mencari anak itu dan membawanya ke hadapanku. Kamu harus menemukannya. Kita akan memberinya hadiah terima kasih yang benar."
"Eh, tapi murid tuan sangat banyak, Nyonya. Aku lupa untuk menanyakan nama dan kelasnya. Karena dia buru-buru pergi tadi."
"Dia dari sekolah suamiku, maka itu akan lebih mudah," Helena menghelas nafas, "Coba kamu ingat lagi apa yang dikatakan anak itu, yang mungkin bisa jadi petunjuk."
Meera memasang pose berpikir, "Ahhh, dia mengatakan dari klub Kesehatan, dan dari corak dan warna seragamnya sepertinya dia murid baru."
"Klub Kesehatan," gumam Helena merasa aneh. Dia merasa dia telah melupakan sesuatu. Tapi karena yang terpenting adalah menemukan anak yang menolongnya. Dia mengabaikan pikiran itu. "Kalau begitu kamu cari disana," perintahnya.
...----------------...
Tak jauh di pasar itu, ada gang kecil yang tidak mencolok, Aria berjalan masuk ke sana.
"Kakak perempuan datang," sambut seorang anak.
Anak-anak itu langsung mengelilingi Aria dengan semangat.
Aria membuka maskernya dan jongkok, dia tersenyum tulus, "Terima kasih anak-anak."
"Sama-sama, kami senang bisa membantu kakak peri," jawab salah seorang anak.
"Baiklah, seperti yang kakak perempuan janjikan, ini adalah uang jajan untuk kalian semua."
"Yeyy, dapet uang jajan, dapat uang jajan," seru semua orang kegirangan.
Aria mengeluarkan dompetnya, membagikan amplop yang sudah dia persiapkan, "Berhati-hati saat menggunakannya, ya," katanya tidak lupa menasehati.
"Siapp, bosss," jawab semuanya serentak.
Semuanya langsung bersemangat membuka amplop di tangan mereka. Satu sama lain saling pamer.
"Lihatlah, aku sekarang kaya."
"Wahh, kau kaya."
"Hehehe."
Padahal uang satu sama lainnya sama saja, memang kepolosan anak-anak sangat lucu, Aria tersenyum semakin dalam. Dia menoleh melihat seorang anak yang tidak bergabung dengan kegembiraan orang lain, malah terus menatapnya.
"Ada apa?" tanyanya lembut.
Aria sebenarnya tidak begitu menyukai anak-anak. Tapi dibandingkan manusia dewasa. Dia lebih suka hati murni mereka.
"Kakak perempuan, apa kami baru saja melakukan perbuatan buruk. Bibi itu jatuh, lalu orang dewasa terlihat marah. Mama bilang jika kita berbuat jahat, maka kita akan masuk neraka. Disana kita akan dibakar dan disiksa. Aku tidak mau," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Semua anak yang mendengarkan itu seketika menjadi panik. Mereka menatap Aria meminta pertolongan. Karena Aria satu-satunya orang dewasa di antara mereka. Wajar jika anak-anak langsung bergantung padanya.
Aria masih tersenyum, "Itu tidak akan terjadi. Apa mama kalian tidak mengatakan. Yang masuk neraka itu hanya penjahat. Sedangkan kalian adalah pahlawan yang menghukum orang jahat."
"Apa kami pahlawan," seru anak-anak.
Aria mengangguk, "Ya, kalian pahlawan."
"Seperti, superman, batman, kapten Amerika."
"Ya, seperti mereka."
"Woahhh, kita pahlawan."
Semuanya kembali bersorak dengan heboh. Mereka berlarian, memperlihatkan gerakan-gerakan yang ditiru dari serial tv superhero.
Aria menggelengkan kepala tak berdaya. Anak-anak adalah yang paling mudah ditipu.
Namun, hatinya sempat tersentak, saat seorang anak berkata "Mama bilang, jika kita berbuat jahat, maka kita akan masuk neraka. Disana kita akan dibakar dan disiksa."
Aria menatap anak yang mengatakan itu. Anak itu terlihat ceria saat ini, mengetahui dirinya adalah pahlawan.
Melihat itu dia terkekeh kecil, seorang ibu pasti ingin anaknya menjadi anak yang baik. Bukannya menjadi orang yang jahat.
Termasuk orang tuanya. Saat kecil mereka selalu marah dan menghukumnya saat tahu dia berbuat kenakalan. Hal itu agar dia menjadi orang yang baik di masa depan.
Mungkin mereka akan sangat kecewa melihatnya seperti sekarang. Meskipun dia tahu hal itu.
Aria tidak akan pernah berhenti. Sampai dia membalaskan dendam keluarganya. Bahkan jika bayarannya dia akan masuk ke dalam neraka.
Dalam hati dia bertekad, "Bahkan jika pada akhirnya aku harus masuk neraka. Aku akan menyeret serta orang-orang itu. Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa."