"sudah aku katakan sedari dulu, saat aku dewasa nanti, aku akan menjadikan kakak sebagai pacar, lupa?" gadis cantik itu bersedekap dada, bibirnya tak hentinya bercerocos, dia dengan berani masuk ke ruang pribadi pria di depannya.
tidak menjawab, Vallerio membiarkannya bicara seorang diri sementara dia sibuk periksa tugas para muridnya.
"kakak.."
"aku gurumu Au, bisa nggak panggil sesuai profesi gitu?"
"iya tahu, tapi kalau berdua begini nggak perlu!"
"sekarang kamu keluar!" ujar Vallerio masih dengan suara lembutnya.
tidak mengindahkan perintah pria tampan itu, Aurora malah mengikis jarak, dengan gerakan cepat dia mengecup bibir pria itu, baru berlari keluar.
Vallerio-Aurora, here!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wiliam murka
Cukup lama Aurora pingsan, dan saat terbangun dia berharap ini semua hanya mimpi buruk. Tidak salah lagi, sebelum membuka matanya Aurora sempat berdoa semoga dia terbangun di dalam kelas sama seperti sebelumnya.
Perlahan dia membuka mata, kembali memperhatikan ruangan dimana itu adalah ruangannya yang sebelumnya dia di rawat.
“sudah bangun?” suara itu, itu adalah suara yang Aurora hindari. Tapi kenapa malah suara kakaknya yang dingin itu yang terdengar pertama kali.
Aurora memperhatikan sekitar, masih ada mommy Alisia dan Alena, tatapan mommy Alisia kali ini terasa berbeda, ada rasa kecewa yang tergambar dari raut wajahnya.
Bahkan Aurora yang sudah sadar pun wanita paruh baya itu enggan menghampiri, hanya saja dia tidak menangis seperti kebanyakan ibu lainnya yang jika mendapat kabar tak terduga pasti langsung menangis untuk melampiaskan emosi di dalam jiwa.
Bisa Aurora pahami diamnya mommy Alisia karena benar benar kecewa, maka Aurora lebih memilih mereka memarahi atau mencacinya dari pada hanya diam seperti ini.
Kembali air matanya keluar, dia sendiri, tidak ada Vallerio disana padahal tadi Aurora melihatnya datang ke rumah sakit.
“Tidak perlu menangis, kami tidak butuh air mata itu! Sekarang jelaskan secara detail!” tegas Wiliam yang memang tidak ada rasa kasian sejak awal.
Mommy Alisia dan Alena diam, mereka tidak berani mencela kalimat pria itu, atau mereka nanti yang kena imbasnya.
Aurora gemetaran, dia meremas ranjang, seperti di sidang, Aurora merasakan hawa horor di dalam kamar itu.
Hanya terdengar isak tangisnya, mommy Alisia dan Alena seolah menahan nafas.
“kakak maaf...” kalimat itu berhasil dia keluarkan dengan susah payah, dia kembali menatap wajah Wiliam.
“itu juga tidak perlu, kami butuh penjelasan sekarang AURORA!” Wiliam sampai menekan kalimat terakhirnya.
“hiks, maaf maafkan Aurora kak, Rora salah, Rora tidak bisa menjaga diri hiks..” Dia meraung di dalam kamar itu.
“Katakan kalau itu perbuatan Vallerio, apa dia memaksamu atau bagaimana?” Wiliam mengepal tangannya kuat, sudah cukup lama dia menahan rasa marah itu di dalam dirinya, hendak melampiaskan pada Aurora tidak mungkin, Wiliam tidak akan pernah sanggup untuk melukai adiknya. Dan lagi, dia menyalahkan dirinya sendiri karena selama ini terlalu membebaskan Aurora, Wiliam menyesal menyetujui permintaan gadis itu untuk tidak mengekangnya.
Awalnya Wiliam sangat percaya pada adiknya itu bahwa dia bisa menjaga dirinya, tapi hari ini rasa percaya Wiliam runtuh begitu saja.
Aurora menggeleng kepalanya, “tidak, ini semua salahku kak, tolong jangan menyalahkannya..” sekalipun dalam masalah besar, Aurora masih sempat membela Vallerrio.
“Sudah sejak lama dia ingin bicara tapi aku melarangnya, hiks..” jelas Aurora di sertai tangisan yang memang tidak akan berhenti.
Tidak lagi menghiraukannya, Wiliam keluar dari ruangan itu dengan langkah cepat, menulikan telinganya dari teriakan Aurora.
...----------------...
Keluar dari dalam ruangan, Wiliam langsung menyeret Vallerio yang masih duduk tak tenang di kursi tunggu.
“Sini kamu, bajingan!” sampai di lorong paling ujung, dia menghempaskan tangan Vallerio dan__
Bughhh
Bughhh
Bughh
Bughhh
Seperti orang kesetanan, Wiliam tanpa babibu menyerang Vallerio dengan tenaga penuh hingga pria itu terpelanting jauh dan berakhir di tembok.
“Sudah aku peringatkan sebelumnya, tapi kamu melanggar, aku tidak percaya bahwa kau benar benar punya nyali untuk menentang!!” kalimat dingin di sertai tatapan mematikan kini dia layangkan pada Vallerio, perlahan dirinya mendekat, menarik kerah baju Vallerio dan lagi, melayangkan pukulan tepat di perutnya.
Vallerio tidak melakukan aksi perlawanan sama sekali, dia sadar diri bahwa dia salah, dan hal tersebut memang layak dia terima sebagai konsekuensi dari perbuatannya.
“Kakak tolong berhenti!!!” Aurora berlari, menghambur ke dalam pelukan Vallerio sebagai upaya untuk melindung pria tersebut dari amukan kakaknya, tapi karena amarah Wiliam kali ini berada di puncaknya, dia menarik Aurora sangat kasar, membawanya ke belakang tubuh tegapnya, lalu kembali melayangkan pukulan membabi buta hingga Vallerio terkapar tak berdaya di lantai lorong.
“apa tidak cukup untukmu menunggunya selesai SMA hmm? Aku sudah katakan sebelumnya, kalau kamu nekat maka jangan salahkan aku jika umurmu tidak akan panjang di dunia ini!”
“Hari ini juga kau harus mati di tanganku bedebah sialan!!”
Bughhh
Bughhh
Sepatu mahal yang dia pakai kini berada tepat di depan dada Vallerio, menekannya begitu kuat hingga Vallerio muntah darah.
“KAKAK BERHENTI!!!!”
“kak Alena tolong hentikan suami kakak, hikss tolong...” kembali Aurora menghampiri Vallerio, membawa tubuh pria itu ke pangkuannya.
“menjauh dari sana Aurora!!” orang yang lagi emosi di puncak kadang hilang kendali, Alena yang sejak tadi berdiri diam menyaksikan semuanya kini menghampiri Wiliam, menghentikan aksi pria itu.
“Lepas, aku ingin membunuhnya sekarang!!” bentaknya menghempaskan tangan Alena secara kasar.
“Coba saja kalau bisa, kamu mau membunuhnya kan? Silahkan, aku menonton disini!” Alena menarik kursi dan duduk diam, memperhatikan hal apa yang akan Wiliam lakukan selanjutnya.
Sementara Aurora kini mulai mengusap wajah Vallerio, menghapus darah jejak darah dari mulutnya.
Wajah pria itu sudah jauh dari kata tampan, semuanya sudah di tandai dengan memar akibat pukulan maut yang di layangkan Wiliam.
“kenapa diam? Tidak jadi? Padahal aku sudah siap menonton ini!” Ujar Alena kembali.
“satu yang perlu kamu tahu Wiliam, kalau dia mati maka adekmu yang akan menderita, kamu mau dia merawat anaknya seorang diri tanpa kehadiran ayahnya? Bagaimana jika nanti anaknya bertanya berkaitan dengan ayahnya, masa iya di jawab ‘ayahmu telah di bunuh oleh paman Wiliam’ begitu!”
Ujar Alena mewakili suara hati Vallerio yang memang tidak kuasa mengeluarkan satu kata pun sekarang.
“Dokter, tolong!!!” tidak mengindahkan Alena dan Wiliam, Aurora memanggil dokter dan perawat yang sedang mendorong brankar untuk membantunya.
Vallerio sendiri sudah pingsan, dia tidak kuat dengan segala rasa sakit di seluruh badannya.
Gegas Aurora dan para perawat itu memindahkan tubuh Vallerio ke brankar dan di bawa ke ruang rawat.
Tersisa Alena dan Wiliam yang masih saling diam, lebih tepatnya Alena yang tidak ingin berbicara dengan pria itu.
Alena meninggalkan Wiliam disana, berjalan cepat menuju ruangan di mana Aurora tadi di rawat, tas wanita itu masih berada disana.
Sampai disana, dia mengambil ponsel dan menghubungi mama Nisa, agar wanita itu datang ke rumah sakit.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
lagian knpa emgga bilng kalo udah punya pacar .. 🗿🔪