Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melarikan Diri dari Bayangan
Alia menghela napas panjang, menatap asap tebal yang terus menyelimuti sekeliling mereka. Gedung tempat mereka berada seperti berubah menjadi labirin penuh bahaya. Kepanikan semakin memuncak dalam dirinya. Rendra di sampingnya menatap dengan tatapan penuh kegelisahan, sementara Aldo terus mencari jalan keluar dengan langkah cepat.
“Kita harus segera keluar dari sini!” seru Aldo, suaranya parau karena asap. “Gedung ini bisa runtuh kapan saja.”
“Aku tahu, tapi kita harus tenang,” sahut Rendra, meskipun suaranya sedikit gemetar. Matanya mengamati sekeliling, mencoba menemukan jalan terbaik untuk keluar.
Alia merasa dunia di sekitarnya semakin menyempit. Bunyi sirine kebakaran terdengar nyaring, semakin mengganggu konsentrasinya. Semua kejadian sejak mereka terjebak di sini berputar di pikirannya. Mengapa mereka bisa terjebak dalam situasi ini? Siapa pria bertopeng yang mengintai mereka sejak awal? Dan lebih penting lagi, mengapa Lina, sahabat yang pernah begitu dekat dengannya, tiba-tiba berubah menjadi ancaman?
“Kita tidak bisa terus di sini,” Alia berusaha menenangkan dirinya, meski setiap tarikan napasnya mulai terasa sesak. “Kita harus mencari jalan keluar sebelum...”
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Alia, Rendra, dan Aldo langsung terdiam. Jantung mereka berdegup kencang. Suara itu semakin jelas, lalu diikuti oleh bayangan seseorang yang muncul dari balik kabut asap. Tubuh mereka membeku, tak tahu apakah itu teman atau musuh.
“Siapa di sana?” tanya Rendra dengan nada tegas, mencoba menjaga ketenangannya.
Dari arah kabut, muncul sosok Lina, wajahnya yang angkuh terlihat jelas meski dikelilingi asap. Dia melangkah mendekat dengan ekspresi penuh keyakinan, seolah semua yang terjadi telah berada di bawah kendalinya. Di tangannya, ia membawa pistol yang diarahkan tepat ke mereka.
“Kalian benar-benar naif kalau berpikir bisa keluar dari sini dengan mudah,” kata Lina dingin, sambil tersenyum tipis. “Permainan ini sudah berjalan terlalu lama, dan sekarang... saatnya untuk mengakhirinya.”
Alia merasa darahnya membeku mendengar kata-kata Lina. Gadis yang dulu ia anggap sahabat kini berubah menjadi ancaman nyata, seseorang yang tak ragu-ragu menodongkan pistol ke arahnya. Alia menatap Lina dengan campuran ketakutan dan kebingungan.
“Lina, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berubah seperti ini?” tanya Alia, suaranya bergetar.
Lina hanya tersenyum lebih lebar. “Kamu tidak akan pernah mengerti, Alia. Semua ini adalah tentang kekuasaan. Tentang mengendalikan nasib orang lain. Dan sekarang, aku berada di puncak permainan ini.”
“Permainan apa? Apa hubungannya dengan pria bertopeng itu?” Aldo menyela, mencoba memahami situasi yang semakin rumit.
“Pria bertopeng?” Lina tertawa pelan, hampir meremehkan. “Dia hanya salah satu pion. Semua orang di sini adalah pion. Kalian semua terlalu mudah dimanipulasi.”
Rendra maju setengah langkah, mengangkat tangannya sebagai isyarat damai. “Lina, ini sudah cukup. Kami tidak ingin ada kekerasan lagi. Kami hanya ingin keluar dari sini hidup-hidup.”
“Tapi itu bukan bagian dari rencana, Rendra,” jawab Lina sambil mengangkat senjata lebih tinggi, mengarah tepat ke dada Rendra. “Kalian terlalu dekat dengan rahasia yang tidak boleh kalian ketahui.”
Alia menahan napas saat melihat pistol itu diarahkan ke Rendra. Tangannya gemetar, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Lina, aku mohon. Kita bisa mencari solusi bersama. Kamu tidak harus melakukan ini.”
Lina menatap Alia sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak punya pilihan, Alia. Kalau aku tidak menyelesaikan ini, mereka akan menyelesaikanku.”
Sebelum ada yang bisa merespons, terdengar suara lain dari belakang Lina. Langkah-langkah berat bergema di balik asap, dan dari kegelapan muncul pria bertopeng, sosok yang sejak awal mengintai mereka. Dia berdiri tegap, menatap mereka semua dengan tatapan tajam di balik topengnya.
“Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik, Lina,” katanya dengan suara yang dalam dan berat. “Tapi sekarang, aku yang akan mengambil alih.”
Lina tampak terkejut. “Tapi, aku...”
“Tugasmu selesai,” potong pria bertopeng itu. “Sekarang biarkan aku menyelesaikan apa yang seharusnya aku selesaikan sejak awal.”
Alia, Rendra, dan Aldo berdiri kaku, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Situasi semakin kacau, dan kini pria bertopeng itu tampaknya memiliki kendali penuh atas mereka. Alia merasakan kegelisahan yang semakin menyesakkan, sementara Aldo mulai bergerak perlahan, mencoba mencari celah untuk menyerang pria bertopeng itu.
“Kamu tidak akan lolos dari ini,” kata Aldo akhirnya, suaranya rendah namun tegas. “Kami akan menemukan cara untuk mengakhiri semua ini.”
Pria bertopeng itu hanya tersenyum di balik topengnya. “Lolos? Kalian masih belum mengerti, ya? Ini bukan soal lolos atau tidak. Ini soal siapa yang bisa bertahan sampai akhir.”
Lina tampak bingung, seolah mulai meragukan posisinya di seluruh permainan ini. Dia menoleh ke pria bertopeng itu, lalu kembali menatap Alia. “Apa maksudmu? Bukankah aku sudah melakukan segalanya sesuai rencana?”
Pria bertopeng itu menggeleng pelan. “Ada banyak rencana, Lina. Dan tidak semuanya melibatkanmu.”
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Suara itu menggema di seluruh gedung, membuat Alia, Rendra, dan Aldo terkejut. Lina tersentak, tangannya perlahan turun ke samping, dan darah mulai mengalir dari bahunya. Pria bertopeng itu menembak Lina tanpa ragu.
“Apa yang kamu lakukan?” teriak Alia kaget, matanya membelalak tak percaya. “Dia... dia temanmu!”
“Teman?” pria bertopeng itu mendekat, sambil mengangkat pistolnya lebih tinggi. “Tidak ada teman dalam permainan ini, Alia. Hanya ada pemenang dan pecundang.”
Lina jatuh ke tanah, mencengkeram bahunya yang berdarah, sementara pria bertopeng itu berbalik menuju Alia. Jantung Alia berdebar keras, otaknya berpacu mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Rendra dan Aldo bergerak cepat, mencoba melindungi Alia dengan tubuh mereka.
“Akhirnya, kita sampai di sini,” kata pria bertopeng itu sambil mendekat. “Saatnya menyelesaikan semua ini.”
Namun sebelum pria itu bisa melangkah lebih jauh, terdengar suara dentuman keras dari belakang. Dinding di sebelah mereka tiba-tiba runtuh, dan cahaya terang menembus kabut asap. Beberapa petugas pemadam kebakaran dan polisi masuk dengan senjata siap, menuntut pria bertopeng untuk menjatuhkan senjatanya.
Pria bertopeng itu mundur sejenak, terlihat mempertimbangkan pilihan yang ada di hadapannya. Namun alih-alih menyerah, dia hanya tersenyum di balik topengnya.
“Ini belum selesai,” katanya sebelum melempar sesuatu ke tanah yaitu sebuah granat asap.
Asap tebal kembali menyelimuti ruangan, membuat semua orang batuk dan berusaha menemukan jalan keluar. Saat asap mulai mereda, pria bertopeng itu sudah menghilang, lenyap tanpa jejak.
Alia berdiri terpincang-pincang, merasa lega namun juga takut. Lina terbaring lemah di lantai, sementara Rendra dan Aldo berdiri di sampingnya, menatap ke arah pintu yang masih terbuka. Mereka berhasil selamat, tetapi ancaman pria bertopeng masih jauh dari kata berakhir.
“Apa yang terjadi barusan?” gumam Aldo, suaranya rendah, hampir tak terdengar.
“Kita baru saja melewati sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan,” jawab Rendra dengan nada berat.
Alia menatap ke luar gedung, pikirannya berputar. Mereka mungkin telah lolos untuk saat ini, tetapi apa yang akan datang selanjutnya? Dan siapa sebenarnya pria bertopeng itu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, membawa ketidakpastian yang semakin besar.
Di kejauhan, terdengar bunyi sirine polisi yang semakin mendekat, tetapi di dalam hati Alia, ancaman dari pria bertopeng itu terasa lebih dekat dari sebelumnya.