NovelToon NovelToon
VARIOUS LOVES

VARIOUS LOVES

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Terlarang / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.

Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.

Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.

Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Karina

Musik yang terus mengalun lembut di dalam bar seolah menjadi latar belakang bagi percakapan yang terus berlanjut di meja Revan.

Sementara Daniel dan Arman tampak semakin terlarut dalam suasana, beberapa wanita mulai menghampiri meja mereka, tersenyum menggoda, membawa aura menggoda yang tidak asing di tempat seperti ini.

Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan gaun hitam yang pas tubuhnya, melangkah ke arah Revan.

Dengan senyuman manis, ia mendekat, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arahnya.

“Hai, sendirian saja?” tanyanya lembut, suaranya sedikit mendesah.

Revan menoleh sekilas, tetapi tatapannya dingin dan tanpa minat. Ia hanya mengangguk sopan sebelum kembali menatap gelasnya.

Wanita itu tidak menyerah. “Kamu kelihatan tegang sekali. Mungkin aku bisa bantu?” Ia menyentuh ringan bahu Revan, tetapi tangannya segera ditepis halus olehnya.

“Maaf,” ujar Revan singkat, tanpa nada keras, tapi cukup tegas untuk memberi tahu bahwa ia tidak tertarik.

Daniel yang duduk di sampingnya hanya tertawa kecil, sambil memeluk pinggang seorang wanita yang telah duduk di sebelahnya.

“Revan ini beda, dia punya aturan sendiri,” ujarnya sambil bercanda. “Nggak kayak kita, ya, Man?”

Arman tertawa keras. “Bener banget! Revan itu pasti tipe cowok setia, ya? Nggak ada ruang buat godaan-godaan kecil ini.” Ia melirik Revan dengan tatapan geli, tetapi Revan tidak menanggapi.

Wanita lain, yang duduk di sisi Arman, ikut menyahut. “Ah, cowok setia itu susah dipercaya kalau udah ada di tempat kayak gini,” ujarnya sambil tertawa pelan, mencoba memancing perhatian Revan.

Revan akhirnya mengangkat wajahnya, menatap mereka dengan pandangan yang serius. “Gue nggak datang ke sini buat itu,” katanya dengan nada datar, tapi tajam.

Daniel mengangkat kedua tangannya, pura-pura menyerah. “Oke, oke! Gue paham, bro. Tenang aja, nggak ada yang maksa.”

Wanita dengan gaun hitam itu tampak enggan menyerah. Ia tetap berada di dekat Revan, menyandarkan tubuhnya pada meja, mencoba menarik perhatian pria yang jelas-jelas tidak tertarik.

“Ah, jangan terlalu serius, dong,” katanya sambil tersenyum menggoda. “Bar ini untuk santai, bukan tempat buat mikir berat.”

Revan tidak menjawab. Ia hanya memutar gelas di tangannya, pandangannya menerawang, seolah tidak peduli pada keberadaan wanita itu. Namun, di sudut matanya, ia menangkap sosok lain di pojok ruangan.

Seorang wanita sedang duduk sendirian, dengan wajah termenung. Rambutnya tergerai lembut, membingkai wajah yang terlihat lelah namun tetap anggun. Wajah itu... terlalu mirip dengan Nadira.

Revan mengerjap, mencoba memastikan penglihatannya. Wanita itu menunduk, memandangi gelasnya, dan tampak seperti berada di dunia lain. Ada sesuatu pada ekspresi wanita itu yang membuat Revan tertegun, kesedihan yang diam-diam menembus dinding kesibukan bar.

"Hei, kamu dengerin aku nggak, sih?" Wanita di sampingnya mencoba menarik perhatian lagi, kali ini dengan nada sedikit kesal. Ia menyentuh dada Revan dengan gerakan lembut, tetapi Revan segera menggeser tubuhnya menjauh.

“Maaf, saya perlu pergi sebentar,” ujar Revan tegas, mengakhiri percakapan tanpa banyak basa-basi.

Sebelum wanita itu sempat membalas, Revan sudah berdiri. Ia berjalan ke arah pojok ruangan, melewati beberapa meja tanpa menoleh ke belakang. Jantungnya berdetak lebih cepat, setengah berharap wanita itu memang Nadira, meskipun logikanya berkata bahwa itu mustahil.

Ketika ia semakin dekat, wanita itu akhirnya mendongak, dan hati Revan serasa berhenti sesaat. Meski wajahnya tidak sepenuhnya identik dengan Nadira, ada kemiripan sedikit.

Tatapan mata yang kosong, bibir yang sedikit terkatup rapat, dan cara wanita itu memegang gelasnya... semua itu mengingatkannya pada Nadira saat pertama kali ia bertemu dengannya.

“Permisi,” ujar Revan dengan suara pelan namun jelas.

Wanita itu menoleh, terkejut melihat pria asing yang tiba-tiba menyapanya. “Iya?” jawabnya, suaranya terdengar lemah, seperti seseorang yang terlalu lelah untuk banyak bicara.

Revan berdiri beberapa detik tanpa berkata apa-apa, mencoba menenangkan pikirannya. “Maaf kalau saya mengganggu,” katanya.

“Tapi... kamu nggak apa-apa? Kamu terlihat... sedih.”

Wanita itu tersenyum samar, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam senyumnya. “Saya baik-baik saja,” jawabnya singkat, sambil meneguk minumannya.

Revan merasakan keinginannya untuk tahu lebih jauh, tetapi ia tidak ingin terkesan memaksa.

Ia menarik kursi di depan wanita itu tanpa meminta izin. Gerakannya tenang, tetapi tegas, menunjukkan bahwa ia tidak akan pergi begitu saja.

Wanita itu menatapnya dengan alis sedikit terangkat, seolah bertanya apa yang sedang ia lakukan, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Setelah beberapa saat diam, Revan akhirnya angkat bicara. “Boleh tahu siapa nama kamu?” tanyanya, suaranya terdengar hangat, meskipun wajahnya tetap serius.

Wanita itu menatap Revan sejenak, ragu untuk menjawab. “Kenapa kamu mau tahu?” tanyanya akhirnya, nada suaranya datar, namun matanya menyiratkan keingintahuan.

Revan tersenyum tipis, mencoba menghilangkan ketegangan. “Aku hanya penasaran. Kamu mengingatkanku pada seseorang.”

“Begitu?” Wanita itu tersenyum samar, lalu menunduk sebentar sebelum menjawab, “Namaku, Karina.”

Revan mengulang pelan nama itu dalam pikirannya. Karina, Ada sesuatu dalam nama itu yang terasa akrab, meskipun ia yakin belum pernah bertemu wanita ini sebelumnya.

"Karina," ulang Revan pelan, mencoba mengukir nama itu dalam ingatannya.

Namun sebelum ia sempat memberitahu namanya, Karina berdiri. Gerakannya tenang, namun penuh keyakinan, seolah sudah memutuskan bahwa pertemuan ini cukup sampai di sini.

Mata mereka sempat bertemu, dan pandangan Karina mengunci Revan untuk beberapa detik. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hanya tatapan yang dalam, meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, sebelum akhirnya ia melangkah pergi, membiarkan keheningan yang mengisi ruangan di belakangnya.

Revan tetap terpaku, memperhatikan punggung Karina yang semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang dari pandangan. Ada rasa ganjil yang menyelinap di dadanya, seperti kehilangan sesuatu yang tak pernah ia miliki.

Ia menarik napas panjang, lalu bangkit dari kursinya. Setelah memastikan Karina benar-benar tak terlihat lagi, Revan memutuskan untuk pergi.

Sebelum meninggalkan bar, ia menyempatkan diri menghampiri Arman dan Daniel, yang masih asyik dengan beberapa wanita.

“Aku duluan,” katanya singkat, suaranya datar namun cukup tegas.

Arman mengangguk pelan, sementara Daniel hanya menatapnya, tampak ingin bertanya tetapi menahan diri.

Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Revan melangkah keluar, membiarkan udara malam menyambutnya dengan dingin yang menggigit.

Revan berjalan pelan menuju tempat parkir, namun langkahnya terasa berat. Pandangannya mulai buram, dan dunia di sekitarnya seolah bergoyang. Ia memijit pelipisnya, mencoba menghalau rasa sakit yang tiba-tiba menghantam kepala.

"Bodohnya! Terlalu banyak minum whiskey," gumamnya pada dirinya sendiri, suara pelan itu nyaris tenggelam dalam kesepian malam.

Ia berhenti sejenak, menyandarkan tubuhnya pada dinding gedung di dekatnya. Udara malam yang dingin tidak membantu mengusir pusing yang semakin menjadi.

Pandangannya berusaha fokus, namun segala sesuatu di depannya tampak kabur, seperti lukisan yang meleleh.

“Seharusnya aku dengar kata Daniel,” gumam Revan lagi, mengingat peringatan temannya tadi tentang minum terlalu banyak. Namun, ia menepis pemikiran itu dengan helaan napas panjang.

Setelah merasa sedikit stabil, Revan kembali melangkah, kali ini lebih hati-hati.

"Aku harus pulang," katanya pelan, seperti memberi instruksi pada dirinya sendiri. Tapi di dalam hatinya, ia tahu itu bukan keputusan yang bijak dalam keadaan seperti ini.

Saat ia hampir mencapai mobilnya, rasa mual mulai menyerang. Revan menghentikan langkah, mencoba mengatur napas.

"Astaga, ini benar-benar parah," desahnya sambil memegangi pintu mobil, mencoba menopang tubuhnya yang lemas.

Revan mencoba mengatur napas di sisi mobilnya, namun tubuhnya terasa semakin lemah.

Ia mencoba kembali untuk berdiri, namun ia menyadari ada suara langkah ringan mendekat, dan berhenti di dekatnya.

“Makanya, kalau minum jangan banyak. Jadi gini, kan,” suara perempuan yang lembut namun penuh sindiran itu menyentak kesadarannya.

Revan mendongak perlahan, meskipun pandangannya masih buram. Sesaat kemudian, ia melihat sosok yang sangat ia kenal, tadi.

Wajahnya yang tenang tampak sedikit lebih jelas di bawah lampu jalan.

“Ka... Karina?” gumamnya dengan nada tidak percaya.

Karina menghela napas, memandangnya dengan alis sedikit terangkat.

"Iya, ini aku." jawabnya singkat, lalu meraih lengannya dengan gerakan tegas.

“Ayo, berdiri. Jangan tidur di sini.”

Revan tergagap, terkejut dengan keberadaan Karina

Ia mencoba mencari kata-kata, tapi kepalanya terlalu pusing untuk berpikir jernih. “Kenapa... kamu di sini?” tanyanya dengan suara lemah.

Karina tidak langsung menjawab. Ia membantu Revan berdiri, meski tubuh pria itu sedikit berat. “Aku lihat kamu keluar bar tadi. Kamu kelihatan seperti orang yang bakal jatuh di jalan, jadi aku ikuti.”

Revan menatapnya bingung, meski ada sedikit senyum di sudut bibirnya. “Kamu khawatir?” tanyanya, mencoba melontarkan lelucon meskipun nadanya lemah.

Karina mendesah, tapi ada senyum samar di wajahnya. “Jangan ge-er. Aku cuma nggak mau kamu bikin masalah di jalan.”

Revan tertawa kecil, meski tawanya terdengar lemah. "Baiklah. Terima kasih, meskipun kamu nggak mau mengaku kalau kamu peduli."

Karina tidak menjawab, hanya membantu Revan ke kursi penumpang mobilnya. "Kunci?" tanyanya, menatap Revan dengan pandangan serius.

Revan merogoh saku jaketnya dengan susah payah, lalu menyerahkan kunci mobil pada Karina. "Kamu mau bawa aku pulang?"

Karina mengangguk singkat. “ya, kecuali kamu mau tidur di sini sampai pagi.”

Tanpa banyak bicara, Karina masuk ke kursi pengemudi.

Revan hanya bisa bersandar lemah, memejamkan mata sementara mobil masih belum bergerak.

Karina melirik ke arah Revan.

"Revan?" panggil Karina, mencoba memastikan pria itu masih sadar.

Tidak ada jawaban. Karina menghela napas dan menyentuh lengannya dengan ringan. "Revan, aku nggak tahu rumahmu di mana. Bisa kasih tahu aku?"

Revan menggerakkan kepalanya sedikit, tapi tidak membuka mata. “Hmmm...” gumamnya pelan, suaranya tidak jelas.

Karina mengerutkan kening. Ia mengguncang bahu Revan sedikit lebih keras. "Hei, aku serius. Jangan pingsan dulu. Aku nggak mau salah bawa kamu."

Revan mengangkat tangannya lemah, seolah mencoba memberikan arahan, tapi kata-katanya terlalu tidak jelas untuk dimengerti. Setelah beberapa detik, tangannya jatuh lagi, dan ia benar-benar pingsan.

Karina mendesah panjang. “Astaga, kamu bikin repot saja,” gumamnya sambil melirik ke luar jendela.

Tidak ada pilihan lain. Ia harus membawa Revan ke tempat yang aman, dan satu-satunya tempat yang terpikirkan adalah rumahnya sendiri.

Dengan hati-hati, Karina mengubah arah mobil menuju rumahnya yang tak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan, ia melirik Revan beberapa kali, memastikan pria itu masih bernapas dengan normal.

Setibanya di rumah, Karina memarkir mobil di garasi, mematikan mesin, lalu keluar dengan langkah cepat menuju sisi penumpang.

Ia membuka pintu dan menatap Revan yang masih terlelap. “Hei, bangun. Kita sudah sampai,” katanya seraya mengguncang bahu Revan dengan kasar.

Revan hanya bergumam tidak jelas, matanya masih tertutup rapat. Karina menghela napas panjang, sedikit kesal sekaligus bingung.

"Ya ampun, nggak percaya aku sampai harus begini," gumamnya, setengah berbicara pada dirinya sendiri. Tanpa banyak pilihan, ia meraih lengan Revan dan berusaha membantunya keluar dari mobil.

Butuh usaha ekstra untuk membimbing Revan yang setengah sadar masuk ke dalam rumah. Setibanya di ruang tamu, Karina hampir kehabisan tenaga.

Dengan satu tarikan napas terakhir, ia membaringkan Revan di sofa, dengan sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.

Sambil berdiri di samping sofa, ia memandang lelaki itu dengan tatapan tak percaya.

“Kenapa juga gue repot-repot bawa pulang nih orang? Buat apa, coba?” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri, seraya mengusap wajah dengan frustrasi.

1
Cevineine
lanjut yaa, aku gift biar makin semangat😊
WikiPix: sabar, ya. lagi proses.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!