Kembali lagi mommy berkarya, Semoga kalian suka ya.
Mahreen Shafana Almahyra adalah seorang ibu dari 3 anak. Setiap hari, Mahreeen harus bekerja membanting tulang, karena suaminya sangat pemalas.
Suatu hari, musibah datang ketika anak bungsu Mahreen mengalami kecelakaan hingga mengharuskannya menjalani operasi.
"Berapa biayanya, Dok?" tanya Mahreen, sebelum dia menandatangani surat persetujuan operasi.
"500 juta, Bu. Dan itu harus dibayar dengan uang muka terlebih dahulu, baru kami bisa tindak lanjuti," terang Dokter.
Mahreen kebingungan, darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Hingga akhirnya, pertolongan datang tepat waktu, di mana CEO tempat Mahreen bekerja tiba-tiba menawarkan sesuatu yang tak pernah Mahreen duga sebelumnya.
"Bercerailah dengan suamimu, lalu menikahlah denganku. Aku akan membantumu melunasi biaya operasi, Hanin," ucap Manaf, sang CEO.
Haruskah Mahreen menerima tawaran itu demi Hanin?
Atau, merelakan Hanin meninggal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Masa Lalu yang Kembali
Malam yang tenang di hotel mewah berubah menjadi penuh ketegangan saat Manaf membuka pintu kamarnya. Di hadapannya, berdiri sosok yang begitu dia kenal namun sudah lama ingin dia lupakan—Queen, wanita yang menjadi bagian dari masa lalunya yang kelam. Mata Manaf menyipit, emosi bercampur di dadanya saat melihat wanita itu tersenyum sinis.
"Manaf, kita harus bicara." pinta Queen dengan nada dingin.
Manaf tidak menjawab, tangannya segera menarik pintu untuk menutupnya. Tapi, Queen dengan sigap menahan pintu menggunakan tangannya.
"Apa kamu masih akan menghindariku seperti ini? Kamu tidak bisa kabur, Manaf." ucap Queen dengan nada licik.
Manaf merasa perutnya terpilin. Tubuhnya mendadak mulai terasa panas, meskipun udara di sekelilingnya dingin. Tidak ada niat sedikit pun baginya untuk melibatkan diri dalam percakapan apapun dengan Queen. Pintu sudah hampir tertutup ketika suara langkah mendekat terdengar di belakangnya. Itu adalah Malika, ibunya.
"Manaf? Kenapa kau lama sekali membuka pintu? Siapa yang datang?" tanya Malika dengan nada penuh kekhawatiran.
Manaf memalingkan wajahnya sejenak, mencoba meredam amarah. Queen tersenyum miring, dengan jelas menikmati situasi ini.
"Kamu tidak diizinkan masuk. Pergilah." ucap Manaf dengan nada tegas.
Dengan kasar, dia akhirnya berhasil menutup pintu, hampir menghantam tangan Queen. Malika, yang menyaksikan situasi tersebut dari kejauhan, menatap putranya dengan penuh tanda tanya.
"Manaf, siapa wanita itu? Apa yang terjadi?" tanya Malika dengan nada prihatin.
Manaf tidak memberikan jawaban. Diam seribu bahasa, dia segera berjalan menuju balkon hotel untuk menenangkan diri. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, tetapi panas dalam dirinya justru semakin menguat. Tanpa alasan yang jelas, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda yang familiar—bintik-bintik merah mulai muncul di lengannya, meskipun dia tidak pernah bersentuhan dengan Queen.
***
Tak lama setelah itu, dengan napas terengah-engah dan rasa cemas yang mulai melanda, Manaf meraih ponselnya dan segera menghubungi Viktor, temannya yang juga seorang dokter.
"Viktor, aku perlu bicara denganmu." ucap Manaf dengan suara yang lelah.
Viktor menjawab dengan cepat, menyadari nada serius di suara Manaf.
"Manaf, ada apa? Kau terdengar tidak baik." ucap Viktor dengan nada khawatir.
"Bintik-bintik merah itu kembali muncul. Aku tidak tahu kenapa, aku bahkan tidak menyentuh Queen. Tapi... tubuhku mulai bereaksi." ucap Manaf menghela napas.
Viktor terdiam sejenak, mencoba mencerna situasi yang Manaf alami. Dia tahu betul tentang riwayat kesehatan Manaf yang kadang bereaksi dengan cara yang aneh terhadap situasi emosional atau kontak tertentu.
"Manaf, dengar. Kamu mungkin sedang mengalami reaksi psikosomatik. Kadang, tubuh kita bereaksi terhadap stres atau emosi tanpa adanya kontak fisik yang nyata. Apa kamu merasa tertekan saat bertemu dengannya?" tanya Viktor dengan nada tenang.
Manaf menggigit bibirnya. Tekanan? Itu bukan kata yang tepat. Lebih tepatnya, dia merasa tercekik oleh kenangan yang berusaha dia tinggalkan.
"Tentu saja aku merasa tertekan. Queen selalu membawa masalah, bahkan tanpa melakukan apa-apa. Tapi ini berbeda, Viktor. Ini seperti tubuhku bereaksi seolah-olah ada racun yang merambat dalam darahku." jelas Manaf dengan nada dingin.
Viktor berpikir sejenak sebelum memberikan saran.
"Manaf, kamu harus segera tenang. Tubuhmu mungkin hanya merespon stres berat. Ambil napas dalam-dalam, tenangkan pikiranmu. Kamu butuh istirahat dan jangan biarkan emosimu mengambil alih." ucap Viktor.
Manaf menghela napas panjang. Namun, bintik-bintik di lengannya semakin jelas, menyebar hingga ke lehernya. Dia merasa seperti ada yang salah dengan dirinya, tapi tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa saat setelah percakapan telepon itu, Manaf berusaha mengendalikan emosinya. Dia menatap ke arah horizon dari balkon, berusaha menenangkan gejolak batinnya. Namun, rasa cemas masih terus menghantui. Malika, yang tidak tahan lagi melihat putranya dalam kebingungan, menghampirinya di balkon.
"Manaf, apa yang terjadi? Kamu terlihat sangat terganggu. Apa wanita tadi yang membuatmu seperti ini?" tanya Malika dengan lembut.
Manaf mendesah pelan, menutup matanya sejenak sebelum menatap ibunya. Dia tidak ingin Malika terlibat dalam masalah ini, tetapi tahu bahwa sang ibu akan tetap khawatir jika dia tidak memberitahu.
"Dia... adalah mantanku, Ma. Seseorang yang lebih baik tidak pernah muncul lagi. Tapi sekarang dia kembali, dan aku tidak tahu kenapa." jelas Manaf dengan suara lelah.
Malika menatap putranya dengan penuh pengertian. Dia tidak perlu mendengar seluruh cerita untuk memahami bahwa wanita itu adalah sosok yang membawa luka dalam hidup Manaf.
"Manaf, tidak apa-apa untuk merasa terganggu. Tapi ingat, masa lalu tidak bisa mengendalikanmu lagi. Kau sudah jauh melangkah." ucap Malika dengan suara penuh kasih sayang
Manaf tidak menjawab, hanya menunduk sejenak. Namun, kata-kata ibunya memberikan sedikit rasa tenang di hatinya. Malika meraih tangan Manaf, memberikan sedikit sentuhan yang membuatnya merasa lebih kuat.
***
Keesokan harinya, meskipun Manaf sudah berusaha tenang, Queen tetap tidak menyerah. Wanita itu kembali datang ke hotel, menuntut untuk bertemu Manaf. Namun, kali ini, Manaf tidak lagi bisa menahan amarahnya. Dia sudah cukup tertekan dengan bintik-bintik merah yang muncul tanpa alasan, dan sekarang Queen muncul lagi.
"Berhentilah menggangguku, Queen. Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanya Manaf dengan kemarahan tertahan.
Queen tersenyum, kali ini senyum penuh keyakinan. Dia tahu bahwa Manaf tidak bisa lari darinya selamanya.
"Kamu tahu apa yang aku inginkan, Manaf. Kita punya urusan yang belum selesai. Aku tidak akan pergi sampai kita menyelesaikannya." ucap Queen.
Manaf menatap Queen dengan tatapan dingin, amarah di dadanya semakin memuncak. Dia tidak bisa memahami kenapa wanita ini begitu gigih merusak kedamaiannya. Tapi kali ini, Manaf tidak akan menyerah.
"Queen, urusan kita sudah lama selesai. Tidak ada yang tersisa untuk dibicarakan." ucap Manaf dengan suara rendah dan mengancam.
Queen melangkah lebih dekat, namun Manaf segera menghentikannya dengan mengangkat tangannya.
"Manaf, kau tahu aku tidak akan berhenti sampai kau mendengarkanku. Ada hal-hal yang kau tidak tahu." ucap Queen dengan suara tegas.
Manaf tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh dengan kepahitan. Dia sudah lelah mendengar alasan dan penjelasan Queen yang selalu berubah-ubah.
"Tidak ada yang perlu aku dengar lagi, Queen. Kau hanya ingin mengacaukan hidupku, seperti dulu." ucap Manaf.
Sebelum Queen bisa membalas, Manaf menutup pintu dengan kasar. Suara benturan pintu yang keras menggema di koridor hotel, seolah menggambarkan kemarahan yang sudah tak tertahankan di hati Manaf. Dia kembali ke dalam, mencoba menenangkan dirinya, tapi emosi yang meluap membuatnya sulit bernapas.
Saat malam tiba, Manaf duduk di balkon, menatap langit malam yang penuh bintang. Suara dering teleponnya memecah keheningan. Itu adalah Mahreeen.
"Manaf, kau baik-baik saja? Aku merasa ada yang aneh hari ini." tanya Mahreeen dengan suara lembut.
Manaf menghela napas panjang. Mendengar suara Mahreeen memberinya sedikit ketenangan, namun ia tahu bahwa masalah ini belum selesai.
"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit terganggu dengan... sesuatu." ucap Manaf dengan lembut.
Mahreeen bisa merasakan ada yang disembunyikan oleh Manaf, tetapi dia memilih untuk tidak mendesak.
"Jika ada yang kau butuhkan, aku di sini." ucap Mahreeen dengan perhatian.
Manaf tersenyum kecil. Walaupun hidupnya penuh dengan masalah, keberadaan Mahreeen dan anak-anak selalu membuatnya merasa memiliki alasan untuk terus berjuang.
...****************...
Hi semuanya, like dan komentarnya di tunggu ya.
bentar lagi up ya di tunggu
Yang suka boleh lanjut dan kasih bintang ⭐⭐⭐⭐⭐
Dan yang ga suka boleh skip aja ya.
Terima kasih para raiders ku.