Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Septiani dan Dihyan
Septiani bersama Ajun, ibunya, mengunjungi rumah milik keluarga mereka tersebut. Semuanya berkumpul karena setelah makan siang, keluarga Benjamin akan ke Singkawang. Mereka masih memiliki beberapa hari yang akan dihabiskan di Singkawang, untuk liburan, sekalian tentu saja, menjadi waktu yang paling tepat bagi Centhini untuk mengenal asalnya, budaya dan latar belakang budayanya.
Tidak ada hal yang berlebihan selama satu hari ini, bahkan ketika sampai di Pontianak. Centhini sudah paham dan memiliki pemahaman bersama Bapak Ibunya. Jadi, memang sewaktu ia sudah sampai di Singkawang, di rumahnya sewaktu ia kecil, serta di makam kedua orang tua kandungnya, tidak ada drama yang teralu berlebihan, hanya ungkapan perasaan yang sewajarnya.
Kehadiran Septiani memberikan tantangan dan perjuangan yang luar biasa bagi Dihyan – dan tanpa sepengetahuannya, Septiani juga.
Diketahui kemudian bahwa memang Dihyan dan Septiani berbicara banyak, panjang lebar di pekarangan depan rumah, tepatnya di bangku kayu yang ditancapkan ke tanah, di bawah sebuah pohon besar.
Namun, setelah itu, ketika malam sudah semakin larut, Septiani undur diri, pamit untuk pulang. Tak lama, Dihyan masuk ke kamar tidur.
Dihyan dengan sedemikian rupa melupakan beberapa bagian yang penting di dalam pengalamannya yang kemarin. Tahu-tahu ia melewati bagian-bagian memori nyata yang kemudian bercampur dengan mimpinya.
Septiani, sama cantiknya dengan semalam, menatap ke arah Dihyan dengan cara yang sangat normal. Tidak ada kekakuan disana. Sama halnya dengan Dihyan yang masih terlihat cuek saja, tidak berlebihan, maupun terlalu dibuat-buat. Ini membuat baik Dihyan maupun Septiani yakin bahwa semuanya hanyalah bunga tidur.
Sayang sekali, sungguh disayang. Padahal, ketika Dihyan mencuri-curi pandang ke arah Septiani, ia sungguh tahu rasa permukaan bibir sang gadis. Bagaimana aroma percumbuan itu. Bagaimana lidahnya membongkar pertahanan Septiani, dan bagaimana jari-jari kedua tangannya masih mengingat permukaan halus kulit dan betapa kenyal dada sang gadis.
Septiani yang sedikit bingung dengan apa yang sudah ia alami. Ia bukan gadis seperti di dalam mimpinya yang agresif dan responsif. Maka, demi melihat sosok nyata yang ada di dalam mimpinya kini ada tepat di depannya, tentu saja ia merasa malu sendiri. Mengapa ia bisa menjadi sosok berbeda di dalam mimpi, dan di saat yang sama, sungguh menikmatinya?
“Septiani, ehm … Ani, thanks ya sudah kasih-kasih informasi tadi malam,” ujar Dihyan seraya mengampiri Septiani.
Detak jantung Septiani bergemuruh. Laki-laki ini adalah sosok cowok pertama yang menyentuhnya, yang menciumnya, yang ia layani pula. Meski di dalam mimpi, sungguh, semua terasa begitu nyata.
Septiani tersenyum senormal mungkin, kemudian mengangguk. “Sama-sama, Suk. Lagian, nggak banyak waaa, tahunya segitu aja,” balas Septiani.
Tak lama rombongan tersebut ‘turun gunung’. Beramai-ramai, sembari bercakap-cakap dan bercanda, mereka menuruni bukit untuk pergi ke rumah makan di pusat pertokoan di bawah sana. Benjamin sudah berjanji untuk menraktir mereka semua sebelum siang nanti rombongan keluarganya ke Singkawang kota.
Secara naluriah dan otomatis, susunan duduk di tempat makan pun membuat Dihyan dan Septiani berdampingan. Centhini berada di sisi lain Dihyan, berikut kedua orang tua mereka, berhadap-hadapan dengan Martha, Steven, Alexander dan Ajun.
Mungkin ini karena secara naluriah pula baik Dihyan maupun Septiani tidak mau terlihat terlalu mencurigakan karena semalam keduanya bermimpi mengenai hal yang sama. Akan terlalu aneh bila Dihyan dan Septiani saling menghindari. Maka, sepertinya tanpa sadar keduanya malah mendekat, meskipun sama-sama berusaha untuk tidak menunjukkan gelagat tertentu.
“Kamu pernah dengar soal wacinwa?” tanya Dihyan kepada Septiani.
Keduanya hampir selesai makan, tetapi masih banyak makanan yang terhidang di atas meja. Itu sebabnya, mulut seperti tak mau berhenti untuk terus mengunyah. Ini terjadi kepada seluruh anggota rombongan tersebut.
Septiani mengernyit. “Wacinwa? Apaan itu, Suk?”
“Wayang Cina Jawa. Itu budaya wayang gabungan antara budaya Jawa dan Cina.”
“Ooo … yang itu. Pernah dengar, Suk. Cuma aku nggak tahu itu disingkat Wacinwa. Itu wayang dengan cerita Cina, tapi dengan cara pagelaran gaya Jawa,” jawab Septiani.
Dihyan membulat matanya. “Tuh, kan, kamu tahu segalanya rupanya.”
Septiani tersenyum malu-malu. “Tapi, aku nggak ngerti detilnya, kok, Suk.”
“Jadi memang benar-benar mirip wayang Jawa. Termasuk bahasa, sinden, gamelan, hampir semuanya. Hanya saja cerita dan tokoh-tokohnya asli Cina, sedangkan wayangnya sendiri merupakan campuran Jawa dan Cina.”
Septiani mengangguk-angguk. “Kalau di Singkawang, orang-orang Cina punya wayang gantung. Ada juga yang lumayan dikenal oleh masyarakat Tionghoa itu wayang potehi, Suk.”
Kini Dihyan yang mengangguk-angguk.
Bukan tanpa alasan Dihyan membahas hal ini. Ini karena otaknya masih berputar di sekitar keris Semar, dan terutama karena tokoh Semar itu sendiri.
“Kok Asuk Yan ngerti soal wayang Cina Jawa?”
“Ini masalahnya, Septiani. Aku ini orang Jawa, paling nggak kata Bapak Ibu, jadi ya sedikit banyak budaya Jawa tetap ada di dalam jiwa kami. Bapak dan Ibu, meskipun sudah di zaman modern, tetap suka cerita soal hal-hal yang berbau kebudayaan Jawa. Sisanya, mau aku ikuti atau tidak, tidak lagi menjadi masalah. Toh, dari lahir aku dan keluarga tinggal di Sumatra, jauh dari akar Jawa. Nah, karena tahu bahwa Centhini adalah orang Tionghoa, aku iseng nggak sengaja baca soal akulturasi budaya Cina dan Jawa. Dan ternyata, semua belum cukup. Aku kurang piawai dalam hal seperti ini. Buktinya, aku nggak tahu banyak soal budaya Cina, dan minta bantuan kamu untuk mengerti sedikit. Cuma, soal wacinwa itu kebetulan nggak tahu gimana nempel di kepala.”
Septiani memandang Dihyan dengan intens. Ia tak bisa membayangkan bagaimana bisa sosok laki-laki muda ini yang menciumnya dengan panas malam tadi di dalam mimpi.
“Lanjut dong Suk, ceritakan soal wacinwa.”
Dihyan menengadah, mencari-cari memori pengetahuan yang pernah ia dapatkan tersebut. Ia merasa tertantang untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai wayang tersebut.
“Kalau nggak salah, wacinwa juga disebut Wayang Thithi, soalnya berasal dari bunyi alat musik Cina dari kayu, namanya Piak Ko. Bunyinya memang thi … thi … thi …, gitu,” ujar Dihyan tanpa menyembunyikan rasa bangga karena masih ingat dengan nama alat musik tersebut.
Septiani tersenyum geli.
“Bahasa Jawa yang digunakan dalam penampilannya, tapi lebih banyak bahasa Jawa ngoko, ehm … itu bahasa sehari-hari gitu, soalnya dalam bahasa Jawa kan ada tingkatan, nah ngoko itu bahasa biasa, kasar, sehari-hari. Ceritanya biasanya legenda rakyat Cina, Sie Jin Kwie …, gitu ya cara nyebutnya?” Dihyan melirik Septiani yang menatap fokus kepadanya. Ah, bibir itu, bibir yang rasanya masih kental melekat di bibirnya.
“Yang paling membedakan adalah bahwa wacinwa tidak punya sesi banyolan. Apa ya, bagian lucu-lucu gitu. Kalau di wayang Jawa biasanya disebut sesi gara-gara. Tokoh-tokoh yang terkenal adalah para Panakawan, atau disebut juga Punakawan. Mereka terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Eh … sebentar …,” Dihyan berpikir. “Beberapa tahun kemudian, si pencipta wayang akulturasi ini, namanya … Gan Thwan … eh, Gan Thwan Sing, akhirnya menciptakan tokoh-tokoh lucu itu juga ding, tapi dengan gaya Cina klasik. Kecuali Semar. Soalnya Semar itu tokoh besar orang Jawa, simbol dari kemuliaan orang Jawa. Makanya Semar tidak diciptakan karena si pembuat wacinwa itu tidak mau melecehkan budaya Jawa.”
Septiani membentuk huruf O dengan bibirnya.
Dihyan terdiam mendadak.
Ia baru sadar dengan apa yang baru saja ia ceritakan. Semar begitu dihargai oleh orang Jawa dan orang Cina sampai-sampai orang Cina tidak menciptakan tokoh Semar atau yang mirip dengan tokoh itu. Selain menghargai, juga takut kualat.
Lalu, bagaimana dengan keris Semar Mesem yang ada di dalam kantung celananya sekarang ini? Bukankah ada aksara Cina di lapisan permukaannya? Bukankah ini bentuk pelecehan, penyimpangan?
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh