Catherine, seorang psikolog berbakat dengan kemampuan membaca pikiran, selalu mengira bahwa bakatnya akan melindunginya dari kebohongan dan manipulasi. Namun, semuanya berubah ketika dia bertemu Leo, seorang pria misterius yang pikirannya bisa dia baca, tetapi perasaannya tetap menjadi teka-teki. Apa yang Catherine tidak tahu, Leo adalah kakak dari mantan kekasihnya—seorang pria yang menyimpan dendam karena kematian adiknya.
Dulunya, adik Leo adalah kekasih Catherine, yang sakit hati dan bunuh diri. Leo, yang mengetahui kemampuan Catherine, bertekad untuk membalas dendam dan menghancurkan hidupnya. Dengan kecerdikannya sebagai mafia, Leo dengan sengaja memanipulasi pikiran Catherine, membuatnya terjebak dalam permainan pikiran yang semakin dalam dan penuh misteri.
Namun, rencana Leo terancam gagal saat ia mulai merasakan cinta yang tulus kepada Catherine.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leona Night, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat Tinggal Catherine Donovan
Cathay’s POV
Setelah pembicaraanku yang terakhir dengan Leo. Kami tidak bertemu sekitar 2 minggu lamanya. Aku sendirian di Villanya yang ada di Sicilia. Dalam hati aku yakin Leo tidak akan mengingkari janjinya untuk menceraikan aku. Sepertinya kepergian dia selama dua minggu itu untuk mengurus semuanya itu.
Pagi itu adalah hari ke 15 sejak pertemuan terakhirku dengan Leo. Tiba tiba Romero mendatangiku dan menyampaikan pesan Leo untukku.
“Nyonya anda akan terbang ke Manhattan sore ini, mohon anda mempersiapkan diri,” ujarnya.
Aku menatapnya dan berkata,” Apakah kau manusia?”
Romero tampak terkejut dan kemudian menunduk.
“Kau mengatur segala kejahatan untuk Leo, tanpa benar benar tahu duduk permasalahan antara aku dan Nicholas. Kau dengan tega menjadi kaki tangan leo untuk menghancurkan hidupku. Kau dan temanmu Henry bukan manusia,”
Romero menatapku dengan datar lalu berkata,”Saya hanya melaksanakan perintah, nyonya. Jika saya tidak melakukannya dengan baik, nyawa saya jadi taruhannya,”
Aku diam dan sesaat kemudian aku berkata,” Kau tidak punya hati nurani. Semestinya kau bisa cari tahu kejadian yang sebenarnya antara aku dan Nicholas. Bahkan pengadilan Manhattan tahu semuanya. Kalian memang sekelompok bajingan tak tahu diri dan bodoh,”
Romero hanya diam saja dan beberapa saat kemudian undur diri.
Jam 5 sore waktu Sicilia Romero menjemputku dan mengantarku ke Hanggar pribadi milik Leo untuk segera membawaku terbang ke Manhattan. Hatiku sangat kacau mendengar kata Manhattan. Aku mau tinggal dimana dan bagaimana aku juga tidak tahu.
Sampai di Manhattan, aku dibawa ke rumah mewah leo di sana. Tapi aku tidak bertemu dengannya. Keesokan harinya, Romero membawaku ke kantor pengacara yang dulu membantuku lepas dari penjara serta mengurus pernikahanku dengan Leo. Aku menunggu selama 1 jam sebelum akhirnya pengacara itu menemuiku.
“Selamat siang Nyonya Salvatore, silahkan duduk. Saya telah menyiapkan berkas perceraian anda. Perlu saya tegaskan tidak ada Gono gini dalam perceraian ini. Seperti yang sudah tertulis dalam perjanjian nikah yang anda tanda tangani dengan Tuan Leo setahun yang lalu.”
Aku menatapnya dan berkata,”Aku tidak butuh harta apapun dari bajingan itu,”
Pengacara itu berdehem, lalu menyiapkan berkas yang harus aku tanda tangani. Segera aku menyelesaikan semua keperluan perceraian itu. Setelah semuanya selesai, aku kembali menemui Romero.
“Apakah kau akan melepaskan ku sekarang? Atau bagaimana?” tanyaku
“Saya diminta untuk mencarikan apartemen sementara bagi anda sampai pengadilan menyatakan anda dan tuan resmi bercerai,” ujar Romero
Lalu dia mempersilahkan aku ikut bersamanya ke apartemen yang telah disiapkan bagiku. Aku hanya diam membisu dan tidak lagi berkata apa apa padanya.
Proses perceraianku dengan Leo berjalan selama dua minggu aku bertemu dengannya hanya di ruang persidangan. Baik aku maupun dia tidak bertegur sapa dan berbicara apapun. Aku bahkan tidak menatap wajahnya barang semenitpun.
Akhirnya hari terakhir proses perceraian pun tiba. Leo dan aku menghadiri sidang perceraian itu dan menerima keputusan hakim dengan lapang dada. Setelah itu kami diminta saling bersalaman oleh hakim. Aku melakukannya tanpa menatap wajah Leo. Setelah aku menerima berkas perceraian itu aku berjalan keluar dari ruang sidang. This is it, sebuah kehancuran nyata ada dihadapanku. Bagaimana aku akan hidup di Manhattan? Bagaimana semuanya akan aku bangun kembali?
Romero menghampiriku, “Nyonya, anda masih tetap bisa tinggal di apartemen yang saat ini anda tinggali paling kurang setahun lamanya. Tuang Leo memberikan atm ini untuk anda. Silahkan anda pakai.”
Aku memandang wajah Romero dengan amarah yang membara,” Lihat wajahku ini lekat lekat Romero, wajah wanita yang sudah kau hancurkan hingga berkeping keping. Wajah ini akan menghantuimu sampai kau mati. Keturunanmu akan merasakan apa yang aku rasakan. Kau dan Bosmu yang brengsek itu tidak akan pernah bisa hidup bahagia sampai kapanpun.”
Lalu aku mengambil kartu Atm itu dan melemparkannya kembali ke wajah Romero.
“Suatu saat bosmu yang tolol itu akan tahu kebenaran tentang adiknya yang gila. Saat itu dia akan sama gilanya dengan adiknya yang psikopat itu,”
Romero hanya diam saja memungut Atm yang aku lemparkan, dan dia pun berbalik pergi meninggalkanku seorang diri. Dengan langkah tertatih aku duduk di taman depan kantor pengadilan. Tak lama Salju turun dengan derasnya. Aku menarik mantelku dan pergi berjalan di jalanan kota Manhattan. Aku berdoa dalam hati sambil berjalan entah ke mana, semoga ada jalan keluar bagiku dari kota ini. Aku jelas tidak akan sudi kembali ke apartemen leo si iblis laknat itu.
Aku berjalan sambil menahan dingin dan nyeri akibat luka operasi pengangkatan rahim yang berdenyut denyut karena udara dingin. Aku berjalan menunduk karena nyeri yang luar biasa hebat menyerangku. Tiba tiba Bruk! Aku menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah denganku.
Aku mengangkat kepala, betapa terkejutnya aku ketika aku perhatikan orang yang aku tubruk. Dia adalah Pamela teman SMA ku dulu.
“Cathy? Kau kah itu?” katanya
“Pam..Pamela?” ujarku lemah
“Oh Tuhan apa yang terjadi denganmu? Kau mau kemana?” tanya Pamela]
“Aku..aku tidak tahu, aku homeless.”
“Oh Tuhan Cathy, ayo ikut denganku, aku punya tempat untukmu”
Pamela menuntunku dan kami jalan perlahan lahan menuju ke sebuah bangunan yang tampaknya seperti rumah penampungan bagi para gelandangan dan Homeless. Disana Pamela berbicara dengan temannya mencarikan kamar buatku di Wisma itu.
Aku lalu dipanggil dan diminta mengisi beberapa berkas, setelah itu aku diantar petugas dan pamela menuju ke kamar yang dapat kau tempati di wisma itu.
“Apa yang terjadi padamu Cathy? Mengapa kau sampai kehilangan rahimmu dan bercerai dalam waktu yang tidak terlalu lama?” tanya Pamela sambil menyiapkan selimut dan seprei untuk tempat tidurku.
Aku hanya bisa menatapnya berkaca kaca,” Suatu saat aku akan menceritakan semuanya padamu.”
“Oke Oke baiklah. Yang terpenting kau istirahat saja dulu,” ujarnya sambil mengantarkan aku ke tempat tidur.
Setelah itu tak berapa lama kemudian dia mengantarkan makan dan minuman hangat untukku. Aku sangat bersyukur dia mengurusku dengan baik. Aku juga sangat lega karena setidaknya aku bisa menunjukkan pad Leo bahwa aku tidak harus kembali ke apartemennya. Bagiku menjadi gelandangan jauh lebih baik dari pada bergantung hidup pada iblis macam dia.
Malam itu aku tidur dengan Nyenyak untuk pertama kalinya. Aku belajar ikhlas dan melepaskan semua yang terjadi pada hidupku doaku hanya satu semoga setelah ini hidupku berjalan lebih baik.
Pagi hari bersalju di Manhattan di bulan desember. Aku mulai bisa beradaptasi di rumah penampungan itu. Aku sudah menceritakan semua kisahku pada Pamela. Dia tampak bersimpati dan turut bersedih mendengar semua kisahku.
“Aku sangat prihatin dengan jalan hidupmu Cathy. Apa rencanamu ke depan?” tanya Pamela.
“Aku berencana pulang ke Sweden. Tepatnya di Grunjan. Sebuah desa terpencil di utara sweden tempat asal nenek moyangku. Rumah itu adalah satu satunya asetku yang masih tersisa, karena memang masih atas nama nenekku. Selain itu semuanya sudah disit oleh Iblis Leo itu,” ujarku sambil meneteskan air mata.
Pamela memelukku, seraya berkata,”Cathy, dulu kau sangat baik padaku. Kau banyak menolong hidupku. Sekarang waktunya aku membalas semua kebaikanmu. Aku akan mencarikan uang agar kau bisa terbang ke Sweden dan hidup disana, di tanah leluhur mu,”
“Terimakasih Pamela aku sangat menghargai kebaikanmu,’ ujarku dengan terbata bata.
Kami berpelukan cukup lama, lalu pamela mengajakku makan dan melakukan persiapan pesta natal. Untuk warga Wisma.
*****
Tiga hari sebelum tahun baru. Pamela kembali mendatangiku di Wisma gelandangan itu. Aku sangat senang dan berharap ada kabar baik darinya.
“Cathy, aku berhasil mendapatkan dana dari dinas sosial yang akan membiayai kepulanganmu ke Sweeden. Aku juga sudah mengontak temanku yang bekerja di dinas Sosial Swedia untuk membantu semua pengurusan berkas mu. Aku Lihat paspor mu masih bisa digunakan dan belum mati. Kau bisa segera berangkat persis tanggal 1 Januari nanti. Aku juga membelikan ponsel, agar bisa saling kontak selama dalam perjalanan nanti,”
Aku hanya menangis mendengar semua penjelasan pamela. Tidak ada kata kata yang bisa aku ucapkan selain terimakasih. Malam itu kau tidur dengan air mata bahagia yang tidak ada putusnya, aku menangis sepanjang malam. Terimakasih Tuhan, dalam waktu dekat aku akan meninggalkan Manhattan dan pergi ke Grunjan. Tanah kelahiran nenek moyangku. Semoga semua berjalan lancar, doaku dalam hati.
Pagi itu tepat 1 Januari, aku sudah siap di bandara. Untung langit cerah, meskipun salju semalam turun dengan deras. Pamela dan suaminya mengantarku naik pesawat untuk pergi meninggalkan Amerika.
Aku memeluk dengan erat Pamela dan suaminya bergantian. Lalu setelah panggilan keberangkatanku tiba, dengan berlinang air mata antara haru , bahagia dan kehilangan aku menaiki pesawat yang akan mengantarku ke Stockholm sebelum akhirnya aku menggunakan jalan darat menuju ke pedalaman swedia.
Hatiku berdebar debar saat pesawat mulai menyalakan mesinnya dan menderu deru perlahan tapi pasti meninggalkan Amerika. Selamat Tinggal Kehidupan lama Catherine Donovan. Saatnya aku pergi menuju kehidupan baru di tanah kelahiran leluhurku.
*****
semangat