Dicampakkan saat sedang mengandung, itu yang Zafira rasakan. Hatinya sakit, hancur, dan kecewa. Hanya karena ia diketahui kembali hamil anak perempuan, suaminya mencampakkannya. Keluarga suaminya pun mengusirnya beserta anak-anaknya.
Seperti belum puas menyakiti, suaminya menalakknya tepat setelah ia baru saja melahirkan tanpa sedikitpun keinginan untuk melihat keadaan bayi mungil itu. Belum hilang rasa sakit setelah melahirkan, tapi suami dan mertuanya justru menorehkan luka yang mungkin takkan pernah sembuh meski waktu terus bergulir.
"Baiklah aku bersedia bercerai. Tapi dengan syarat ... "
"Cih, dasar perempuan miskin. Kau ingin berapa, sebutkan saja!"
"Aku tidak menginginkan harta kalian satu sen pun. Aku hanya minta satu hal, kelak kalian tidak boleh mengusik anak-anakku karena anakku hanya milikku. Setelah kami resmi bercerai sejak itulah kalian kehilangan hak atas anak-anakku, bagaimana? Kalian setuju?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegaduhan di pagi hari
Keesokan paginya, seperti biasa Zafira menyiapkan kebutuhan suaminya setelah terlebih dahulu menyiapkan sarapan untuk keluarga besar mereka. Selagi Refano mandi, Zafira pun menyiapkan segala kebutuhan Refano seperti kemeja, celana panjang, jas, dasi, ikat pinggang, dan jam tangan. Semua Zafira siapkan dengan senyuman tulus. Sebisa mungkin ia mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang istri dengan tulus dan penuh bakti.
Tak lama kemudian Refano pun keluar dari kamar mandi dengan handuk biru menggantung di pinggangnya. Tetes-tetes air dari rambutnya yang basah mengalir di sepanjang pundak hingga ke punggungnya. Zafira yang telah siap dengan handuk kecil di tangannya pun segera menghampiri Refano dan dengan gerakan perlahan mulai mengelap rambut basah sang suami hingga tidak menetes lagi, kemudian dilanjutkan ke seluruh tubuhnya hingga tidak ada lagi bagian yang basah.
Ya, seperti itulah cara Zafira melayani sang suami. Ia memperlakukan Refano seperti seorang raja membuat Refano tanpa sadar sudah begitu bergantung pada Zafira.
Setelah selesai, ia pun mempersilahkan Refano berganti pakaian. Sedangkan Zafira, mempersiapkan yang lainnya.
"Mas, Minggu depan ada acara di sekolah Regina. Seluruh orang tua siswa yang sekolah di sana, diminta datang ikut berpartisipasi, mas bisa kan ikut datang? Regina sangat berharap mas Refan mau datang," tutur Zafira dengan lembut sambil memasangkan dasi di leher Refano.
Dengan wajah datar, Refano justru menjawab singkat tanpa pikir panjang lagi yang lagi-lagi membuat Zafira kecewa. Tapi Zafira bisa apa? Ia tidak bisa memaksa. Ia tak mau nanti anak-anaknya lah yang menjadi pelampiasan kekesalan Refano karena ia yang memaksa ayah dari anak-anaknya itu untuk datang ke sekolah.
"Aku sibuk." Jawab Refano sangat-sangat singkat. Tanpa menimbang sedikit pun.
"Tapi mas ... sekali ini saja. Fira ... "
Belum selesai Zafira menyanggah, Refano justru sudah menatapnya dingin dan penuh intimidasi membuat Zafira menunduk sambil memejamkan matanya. Ia menghela nafasnya, tidak adakah sedikit saja rasa cinta di hati suaminya itu untuk anak-anaknya? Batin Zafira bermonolog.
Melihat Zafira sudah menurunkan pandangannya, Refano pun mengarahkan tatapannya pada perut Zafira yang sedikit menonjol.
"Kapan waktunya pemeriksaan?" tanya Refano sambil menunjuk ke arah perut Zafira yang sedikit membukit dengan ujung dagunya.
Bukan, pertanyaan itu bukan sebagai bentuk perhatian dari Refano atas kehamilan sang istri. Bukan sama sekali.
Sebaliknya, Refano menanyakan itu untuk memastikan sesuatu, apalagi kalau bukan jenis kelamin sang anak.
Zafira tersenyum tipis, ia pikir Refano mulai memperhatikan dirinya dan calon anaknya.
"Emm ... 2 Minggu lagi, mas," jawab Zafira dengan tersenyum simpul. Hatinya menghangat, berharap sang suami mau mencintai anak yang sedang dikandungnya.
"Aku ikut. Sudah 4 bulan, sudah bisa USG, bukan?"
Deg ...
"Aku hanya ingin memastikan jenis kelaminnya." Ucapnya datar namun mampu mencabik-cabik sebongkah daging bernama hati milik Zafira.
"Mas, ini bukan zamannya lagi diskriminasi gender. Banyak anak perempuan yang besarnya jadi pemimpin, dari pemimpin perusahaan sampai negara. Bahkan kini banyak perempuan-perempuan tangguh yang lebih hebat dari laki-laki, jadi apa salahnya dengan memiliki anak perempuan. Toh anak kita pun pintar-pintar. Mas lihat saja anak kita, Regina di usianya yang baru 6 tahun, ia sudah pandai perkalian dan pembagian. Padahal ia baru kelas 1 SD. Refina ... meskipun baru berusia 3 tahun, tapi ia sudah bisa menulis dan membaca. Meskipun belum benar-benar lancar, tapi ia sudah bisa padahal ia hanya belajar di rumah. Bahkan ia sekarang sudah bisa berhitung dan menghafal doa-doa. Anak-anak kita itu anak-anak luar biasa, mas. Tak ada yang kurang dari mereka. Oh ya, hanya ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang dari ayahnya,. selebihnya tidak. Masih kecil saja mereka sudah bisa menunjukkan kelebihannya, apalagi bila kita mendidiknya dengan baik, menyekolahkan di tempat yang bagus, aku yakin, anak-anak kita akan jadi orang yang hebat dan sukses kelak."
Zafira menjelaskan uneg-unegnya. Zafira heran, mengapa suami dan mertuanya sungguh kolot dalam hal berpikir. Bukankah mereka orang-orang yang berpendidikan, tapi mengapa, mereka justru menanamkan stigma anak perempuan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan anak laki-laki. Setinggi-tingginya sekolah seorang anak perempuan, ujung-ujungnya masih kembali ke dapur dan menjadi ibu rumah tangga. Anak perempuan bagi mereka sangat merepotkan. Apa mereka tak berpikir, tanpa seorang perempuan, apakah akan ada laki-laki di dunia? Memangnya siapa yang hamil dan melahirkan selain perempuan. Bukankah zaman sekarang banyak seorang wanita yang bisa berperan ganda, selain sebagai ibu rumah tangga, tapi juga sebagai pekerja dan pemimpin. Tidak semua dokter laki-laki, tidak semua tenaga pengajar laki-laki, tidak semua pemimpin perusahaan laki-laki, tapi banyak dari mereka yang bergender perempuan. Jadi kenapa masih harus mengagungkan diskriminasi gender bila zaman sekarang perempuan pun serba bisa.
Mata Refano mendelik tajam membuat Zafira seketika gugup, "aku tidak membutuhkan penjelasanmu. Mau sehebat anak-anakmu itu, aku tak peduli karena yang aku inginkan hanya anak laki-laki. Dengar, ANAK LAKI-LAKI. Jadi kau tak perlu menjelaskan apapun mengenai anak-anakmu itu karena aku takkan pernah peduli. Paham!" desis Refano membuat tangan Zafira terkepal.
Praaaang ...
"YA AMPUN ANAK INI! FIRAAAA ... LIHAT APA YANG ANAK NAKALMU INI LAKUKAN! CEPAT KEMARI!?!" teriakan Liliana membuat seluruh tubuh Zafira menegang. Jantungnya berdebar.
"See! Itu yang kau sebut anakmu memiliki kelebihan? Ya, anakmu memang memiliki kelebihan, kelebihan membuat kekacauan, keonaran, dan kegaduhan," sinis Refano membuat hati Zafira kian sakit.
"Mereka juga anakmu, mas. Bukan hanya anakku!" teriak Zafira geram. Lalu ia pun segera berlalu menuju keributan yang sedang terjadi.
Saat berada di atas tangga, Zafira terbelalak lebar saat netranya melihat putri kecilnya sedang terduduk di lantai dengan dikelilingi pemecahan guci pajangan milik mertuanya. Zafira dapat melihat, gadis kecilnya itu sedang sesegukan karena ketakutan melihat tatapan tajam dari ibu mertuanya.
"Dasar anak nakal. Lihat, guci saya kini hancur berkeping-keping. Memangnya kau bisa ganti, hah? Ibu kalian itu hanya orang miskin, meskipun seluruh harta yang kalian punya dijual pun takkan sanggup mengganti guci kesayangan saya ini, tahu tidak kau!" sentak Liliana tanpa belas kasihan pada bocah kecil berusia 3 tahun itu.
"Refina ... Kamu tidak apa-apa, sayang?" seru Zafira panik. Disingkirkannya pecahan guci menggunakan kakinya. Untung saja ia menggunakan sandal, jadi kakinya tidak tertusuk pecahan guci itu.
"Ma-ma," cicit Refina dengan sesegukan. Mata Zafira panas, mengabaikan keberadaan mertuanya, Zafira segera memeriksa tubuh Refina dan menggendongnya ke kursi saat melihat ada pecahan kecil guci yang mengenai kakinya.
"Heh, menantu kurang ajar, berani sekali kau mengabaikanku. Dasar, tak tahu sopan santun!" sentak Liliana dengan wajah geramnya.
"Ma, kaki Refina luka, jadi Fira mau obatin kaki Refina dulu."
"Salah dia sendiri, mengapa tidak hati-hati sehingga membuat guci kesayangan saya pecah dan hancur berkeping-keping seperti itu," kesal Liliana dengan mata melotot membuat Refina meringkuk takut.
"Refi," pekik Regina sambil berlarian dengan mengenakan seragam sekolahnya. "Refi kenapa, ma? Oma kok marahin Refi sih? Lihat, kaki Refi kan sedang luka. Oma jahat, marah-marahin Refi," pekik Regina yang tidak suka adiknya dimarah-marahi.
"Dasar anak kurang ajar. Ini didikan kamu Fira, anak nggak tahu sopan santun. Berani marah-marah sama yang lebih tua," bentak Liliana murka.
"Mama nggak pernah ajarin Regi sama Refi marah-marah sama yang lebih tua, tapi Oma yang contohin suka marah-marah terus," sanggah Regina tak terima mamanya di salahkan.
"Regi," tegur Zafira agar Regina tidak berbicara seperti itu dengan Omanya.
"Dasar anak kurang ajar. Anak bandel kamu ya! Sepertinya kamu harus dikasi hukuman," sentak Liliana makin geram.
"Ada apa ini, ma?" tanya Refano yang segera menghampiri sang mama yang sedang berkacak pinggang. Sebelumnya ia melihat lantai di dekat tangga sudah berhamburan pecahan guci.
"Ini, anak perempuan miskin ini sudah berani kurang ajar sama mama. Mama negur adiknya yang nakal karena sudah memecahkan guci kesayangan mama,"adu Liliana pada Refano membuat laki-laki itu mengeraskan rahangnya.
"Ini yang kamu sebut anak pintar, Zafira? Dasar anak-anak nggak berguna. Cuma bisa buat kekacauan aja. Cepat minta maaf sama mama dan bereskan pecahan guci itu!" bentak Refano dengan mata melotot.
"Mas, Refina nggak sengaja mecahin guci itu, bukannya sengaja. Dia tadi hampir terjatuh dan tidak sengaja berpegangan dengan guci itu. Seharusnya kamu bersyukur, anak kita cuma luka sedikit, kalau sampai benar-benar jatuh, bagaimana?" jawab Zafira emosi.
"Kau masih saja berani menjawab ucapanku, hah! Dasar istri tak tahu diri!" sentak Refano sambil menarik rambut Zafira.
"Mas, lepas," teriak Zafira sambil berusaha melepaskan tangan Refano.
"Mama" teriak kedua bocah putri Zafira dan Refano itu. "Papa, lepasin mama!" teriak mereka tapi Refano mengabaikannya.
Tidak terima perlakuan sang ayah pada ibunya, Regina dan Refina pun bergerak. Mereka menarik-narik tangan Refano agar melepaskan cengkeramannya pada rambut Zafira, tapi karena terlalu kuat dan tenaga mereka pun tak sebanding dengan tenaga sang ayah, mereka pun kesulitan melepaskannya. Tak habis akal, Regina pun segera menggigit tangan Refano membuat laki-laki itu menjerit kesakitan dan menyentak tangannya hingga gigitan Regina terlepas. Tapi sesuatu di luar dugaan terjadi, karena sentakan itu cukup kuat membuat Regina terjatuh dan kepalanya membentur sudut meja hingga berdarah.
"Regina ... " pekik Zafira histeris.
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...