Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Cemburu
Keesokan harinya Aghnia berangkat ke kampus pagi bersama Monica, karena salah satu jadwal Alfi ada di jam delapan pagi.
Monica menghentikan mobilnya di warung dekat dengan kontrakan mereka. Membeli dua bungkus nasi campur, lalu segera berangkat ke kampus.
"Kamu yakin fisikmu kuat diajak bekerja?", tanya Monica seraya menatap Aghnia.
Gadis itu mengangguk sembari menguyah nasi bungkus yang dibelikan Monica.
"Obatmu tidak lupa kan?", tanya Monica lagi.
"Sudah di dalam tas nyai Monica", ujar Aghnia seraya tersenyum dan meneguk minumannya.
Monica merotasikan kedua bola matanya dengan malas.
Monica menghentikan mobilnya seperti biasa di dekat lapangan basket. Aghnia turun dan berpamitan pada gadis itu.
Ia berjalan dengan pelan seraya melihat jam di pergelangan tangannya.
"Masih sangat pagi", gumam Aghnia.
"Bagaimana kondisimu?", tanya Alfi yang tiba tiba berada di belakang Aghnia.
"Astaghfirullah, pak Alfi", Aghnia terkejut, mengusap dadanya pelan.
"Suka banget ngagetin", keluh Aghnia seraya menaiki tangga perlahan. Alfi hanya mengulas senyum samar.
"Hati hati", peringat Alfi yang berada di belakang Aghnia.
Tidak ada lagi percakapan lagi di antara keduanya. Mereka berjalan dalam keheningan. Alfi masih setia berjalan di belakang Aghnia, mengulas senyum sepanjang perjalanan memandangi punggung Aghnia.
Setelah sampai di bilik Alfi, Aghnia duduk di kursi depan meja.
"Jangan di situ, kamu duduk di kursi saya saja", ujar Alfi.
"Di sini saja pak, ada senderannya juga kok", kekeh Aghnia.
Alfi menghela nafas panjang. Ia tidak memaksa Aghnia lantas segera duduk di kursinya sendiri.
Alfi mengeluarkan map berisi hasil kuis mahasiswanya seraya memberikan pada Aghnia untuk dikoreksi. Pria itu mengamati wajah Aghnia, masih ada sedikit rona pucat di wajah gadis itu.
"Kenapa kamu tidak istirahat saja di kontrakan?", tanya Alfi seraya mengambil laptop.
"Saya sudah sehat", jawab Aghnia tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan kertas yang ia koreksi.
"Pak Alfi, mulai hari ini saya sudah bisa menjadi operator pak Alfi di kelas", imbuh Aghnia seraya tersenyum memandang Alfi.
Alfi mengernyit, bagaimana dirinya bisa percaya. Duduk terlalu lama saja membuat gadis itu ambruk apalagi menjadi operator yang mengharuskan berjalan ke banyak kelas dalam waktu satu hari, ditambah jaraknya yang lumayan untuk seseorang yang sedang sakit.
"Tidak, kamu di sini dan koreksi saja seperti biasa", tolak Alfi tidak mau mengambil resiko.
"Ayo lah pak, saya tidak mau gaji pertama saya banyak potongannya", ujar Aghnia asal.
Sejujurnya ia tak mau sendirian di ruang dosen karena enggan beradu argumen dengan dosen wanita di seberang meja Alfi dan asdosnya. Bisa saja dirinya pergi ke kantin atau ke galeri, namun itu akan menyulitkan Aghnia, harus bolak balik ke ruang dosen menemui Alfi.
Alfi menyunggingkan bibir sampingnya. Mana mungkin anak dari seorang ustadz pengasuh pondok pesantren memikirkan potongan gaji. Sangat mustahil bagi Alfi.
"Kita coba satu kelas dulu, jika satu kelas kamu berhasil tidak tumbang maka kamu saya ijinkan jadi operator", pungkas Alfi.
"Yey..", ucap Aghnia seraya bertepuk tangan karena bahagia.
Alfi tersenyum seraya menggelengkan kepalanya memperhatikan sikap Aghnia. Entah sudah berapa kali pria itu tersenyum melihat Aghnia, rekor dalam hidupnya. Jarang sekali dirinya banyak tersenyum kepada wanita selain keluarga.
Beberapa jam setelahnya, mereka berdua berjalan menuju kelas pertama Alfi. Gadis itu sedikit nervous karena ini pertama kalinya ia menjadi asisten dosen di kelas.
"Selamat pagi", sapa Alfi kepada seluruh mahasiswanya.
Aghnia berjalan di belakang Alfi, ia segera duduk di kursi dosen seraya menyiapkan materi yang akan disampaikan Alfi.
"Wow, bawa sugar baby", celetuk salah satu mahasiswa di baris belakang yang berhasil didegar telinga Alfi.
Alfi menoleh, tatapan dinginnya mencari salah satu mahasiswa yang mengucapkan kata kata sampah itu. Membuat wajah si pembicara menelan ludah susah payah. Ketegasan dan sikap perfeksionisnya membuat para mahasiswa tak berani bermacam macam dengan Alfi, atau nilai mereka menjadi taruhannya.
Aghnia seakan ikut merasakan aura dingin Alfi, gadis itu bergidik ngeri. Untung dulu dirinya tidak pernah memilih mata kuliah yang diajar Alfi, jadi tak pernah merasakan tersiksa setiap hari.
"Sial! Dia sangat berkharisma saat menerangkan", batin Aghnia, matanya tak lepas dari setiap gerak gerik Alfi saat mengajar.
Setelah kelas usai, Aghnia merapikan berkas yang ada di meja, memasukkan laptop Alfi ke dalam ransel pria itu. Alfi mengamati wajah Aghnia, rona pucat gadis itu semakin terlihat jelas.
Benar dugaannya, Aghnia memaksakan dirinya untuk bekerja. Entah karena apa alasannya, ia juga tak berminat untuk menelisik lebih dalam. Anehnya gadis itu masih bisa mengulas senyum sekalipun dalam keadaan lemah.
Mereka berdua berjalan beriringan kembali ke ruang dosen.
"Pak Alfi", panggil Aghnia, membuat Alfi seketika menoleh, antisipasi jika gadis itu butuh pertolongan segera.
"Emmm, wanita yang duduk di jok mobil depan saat itu, siapa?", Aghnia melanjutkan ucapannya dengan ragu. Ia takut Alfi marah menanyakan hal yang bisa dibilang dalam ranah pribadi.
"Kenapa? Kamu cemburu?", tohok Alfi seraya menyunggingkan senyumnya.
"Ish, nggak! Siapa juga yang cemburu", elak Aghnia seraya mempercepat langkah kakinya, menyesal menanyakan itu.
Beberapa meter dari ruang dosen, Alfi terkejut melihat Elviana melambai padanya, gadis itu berjalan menghampiri Alfi dan Aghnia. Pria itu sekilas melirik Aghnia.
"Elviana, ada apa kemari Vi?", tanya Alfi dengan nada lembut.
"Memangnya aku tak boleh mengunjungimu di kampus mas?", ucap Elviana, gadis itu melirik Aghnia yang berada di samping Alfi.
"Boleh saja, apa yang kamu butuhkan?", tanya Alfi lagi.
"Aku hanya ingin mengajak mas Alfi sarapan bersama. Aku rindu sarapan bersama dengan mas Alfi seperti dulu", ujar Elviana seraya tersenyum memandang Aghnia.
"Saya permisi pak", pamit Aghnia, ia tersenyum kepada Elviana seraya berjalan cepat memasuki ruang dosen.
Alfi memperhatikan punggung Aghnia hingga menghilang, ia lantas tersenyum menatap Elvania, mengangguk mengiyakan ajakan adik sepupunya itu.
Di ruang dosen, Aghnia meminum obat anti nyerinya lantas menyibukkan diri dengan tumpukan kertas di meja. Ia ingin menenangkan hatinya sebelum masuk ke kelas Alfi di jam berikutnya.
Hingga satu jam berlalu, Alfi tak kunjung kembali ke ruang dosen.
"Sarapan macam apa sampai satu jam begini", gerutu Aghnia sembari mencorat coret kertas di hadapannya.
"Itu nguyah nasi atau pasir, lama banget. Emang beda sih sarapan orang biasa sama orang yang lagi kasmaran", monolog Aghnia seraya sedikit menekan pulpennya pada kertas.
"Hufftt, aku nggak boleh cemburu. Nggak boleh cemburu Aghnia, nggak boleh", gumam Aghnia seraya menggelengkan kepalanya.
"Cemburu juga boleh", ujar Alfi yang baru saja tiba dan mendengar ucapan asisten pribadinya. Pria itu tersenyum samar memandang wajah malu asisten pribadinya.