Sebuah pulpen langganan dipinjam Faiq kini tergeletak begitu saja, pemuda yang suka menggodanya, mengusiknya dengan segala cara, ia tidak pernah kehabisan akal untuk mengerjai Vika.
Vika memandanya dengan harap si tukang pinjam pulpen itu akan kembali. Ia memelototi pulpen itu seolah memaksanya membuka mulut untuk memberitahu dimana keberadaan Faiq.
••••••••
Goresan Pena terakhir ini
Kini tinggalah kenangan
Yang pernah kita ukir bersama
Sekarang kau tak tahu dimana
Tak ada secarik balasan untukku
Akankah titik ini titik terakhir
Yang mengakhiri kisah kita?
Kisah kau dan aku
-Vika Oktober 2017
⏭PERHATIAN CERITA MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR, BILA ADA KESAMAAN TOKOH MAUPUN TEMPAT, DLL. MERUPAKAN MURNI KETIDAK SENGAJAAN⏮
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kepik Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berhenti Berharap
silahkan razia typo dan lain-lain, karena pasti akan ada banyak typo kedepannya, silahkan berkomentar.
...|Happy Reading|...
...••★••...
Faiq terpaku beberapa detik di dalam mobil, ia tak bisa merespon kejadian ini dengan cepat. Apa lagi ketika melihat mobil yang telah melewati depan rumahnya telah menabrak seseorang, pengemudi itu tak bertanggung jawab ia memilih kabur begitu saja tanpa memberhentikan mobilnya untuk melihat kondisi korban. Faiq tak tahu siapa yang tertabrak yang pasti hatinya tercabik ketika mendengar teriakan Eyang Sinta yang berbarengan dengan suara dentuman yang cukup keras.
"Eyang! Eyang bangun Eyang!" Vika selamat berkat Eyang Sinta yang telah mendorongnya ke sisi jalan, wanita paruh baya itu yang menggantikan Vika tertabrak mobil ia tergeletak di aspal sekarang kepalanya mengeluarkan banyak darah. Hendra hanya terpaku di tempatnya dia tak menyangka kejadiannya akan seperti ini, Faiq yang akan pergi ke basecamp langsung saja memberhentikan mobilnya ketika melihat Eyang Sinta yang tertabrak, dari kepalanya darah mencucur deras.
"Vika kita bawa Eyang Sinta ke rumah sakit sekarang juga." Faiq langsung menggendong wanita paruh baya itu sementara Hendra membeku di tempat, tangannya bergetar hebat ketika melihat ibunya terbaring berlumuran darah. Mobil Faiq melaju secepat kilat dia tak mempedulikan lampu yang masih berwarna merah. Yang ada dalam pikirannya Eyang Sinta harus selamat, dia sangat menyayangi wanita yang kini berada di pangkuan Vika seperti menyayangi nenek kandungnya sendiri.
"Suster-suster tolong Nenek saya!" teriak Vika, suster yang melihat Faiq sedang menggendong wanita paruh baya yang berlumuran darah langsung mengambil brankar terdekat. Dengan sigap Faiq menurunkan Eyang Sinta, suster dan dokter langsung mendorong brankar menuju ruang IGD. Vika mengikuti mereka sedangkan Faiq dia menuju lahan parkir untuk memarkirkan mobilnya dengan benar.
Hanya beberapa menit setelah Eyang masuk ke dalam ruang IGD Hendra sampai di rumah sakit, dia langsung menuju ruang IGD, pria paruh baya itu hanya bisa terduduk lemas di lantai dengan tangan yang bergetar hebat, mulutnya tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri dan juga Vika, dia masih mengira Vika sumber kesialan dalam keluarganya.
Tak lama dokter keluar, ia menanyakan siapa yang golongan darahnya cocok dengan Eyang Sinta, parahnya lagi Eyang Sinta mengalami gegar otak yang cukup parah, beliau juga kehabisan darah cukup banyak. Darah Hendra berbeda golongan dengan Eyang Sinta, sedangkan Indah ibu dari Vika yang sama golongan daranya dengan Eyang Sinta tak mungkin sampai di sini hari ini juga. Mau tak mau Hendra harus rela jika Vika yang mendonorkan darahnya untuk ibunya karena ternyata golongan darah mereka berdua sama. Ponsel Hendra berdering dengan ID caller bertuliskan Indah.
"Halo?"
"Bentar lagi aku ke bandara, Mas. Bisa kasih HP-nya ke Vika?" ucap Indah di sebrang sana, ia tak perlu berbasa-basi lagi. Hendra mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ia dapat melihat ponakan yang tak ia anggap itu tengah berjalan ke arahnya setelah selesai melakukan transfusi darah.
"Halo, Bu." Tangan Vika bergetar hebat, baru kali ini ia mendengar suara ibunya lagi setelah meninggalnya Kakek.
"Vika! Seharusnya kamu mati, kenapa harus ibu yang celaka. Kamu pembawa sial. Kamu cepat pergi, jangan dekat-dekat dengan keluarga saya lagi. Saya tak mau melihat tampangmu ketika saya pulang nanti, dan bila saya masih lihat kamu di sekitar keluarga saya, saya tak akan segan membawa kamu ke yayasan, kamu bukan anak saya lagi!" tak pernah sekalipun Vika mengira bahwa ibunya, ibu kandungnya bisa sebegitu bencinya dengan dirinya, yang Vika kenal ibunya sosok terlembut di dunia. Mengapa semua bisa berubah sedrastis ini hanya dalam beberapa bulan? Memang apa salahnya? Apa salahnya ia dilahirkan di dunia ini? Jika saat dulu ia tahu kehidupannya akan seperti ini, mungkin dirinya tak akan pernah meminta untuk dilahirkan di dunia ini.
"Sabar Indah, dia anak kita." suara Ayah Vika samar-samar terdengar di seberang sana, suara yang biasanya terdengar begitu berat dan tegas kini terdengar sangat lembut, pria paruh baya itu memang seperti itu ketika di hadapan istri dan keluarganya.
"Dia bukan anak kita lagi dia iblis, Mas! Kenapa dia harus kembali? Dia pembawa sial, pembawa bencana bagi keluarga kita. Dulu Arya yang hampir mati karena dia, ayah kamu meninggal beberapa bulan yang lalu, dan sekarang ibuku, sudah cukup dia membuat kita menderita."
Sudah, Vika sudah tak kuat mendengar itu semua langsung dari mulut ibunya, ia langsung berlari keluar dari rumah sakit setelah meletakan ponsel itu di kursi tunggu. Vika dihadang oleh Faiq saat memasuki lahan parkir, laki-laki itu mencekal tangannya kuat agar Vika tak pergi begitu saja.
"Vika tunggu! Kamu mau kemana?" Faiq yang tak tahu ada luka di tangan Vika bekas jarum donor darah, mencengkeramnya dengan sangat kuat karena vika memberontak.
"Aku mau pergi Kak, lepasin aku aku mau pergi!"
"Nggak, kamu nggak boleh pergi, aku nggak akan biarin kamu pergi!"
Vika memukul-mukul Faiq sayangnya tenaganya terbuang percuma, Faiq tetap tak melepaskannya ia malah makin mencengkram lengan Vika, kuku-kukunya yang tajam mengoyak kulit Vika, darah bercucuran dari bekas suntik dan luka yang baru Faiq berikan. Tak ada cara lain, Vika menjambak rambut Faiq keras hingga rontok beberapa helai.
"Vika lepas, ini sakit!"
"Nggak! Kakak yang harus lepasin tangan Kakak dari aku." Faiq akhirnya melepaskan genggamannya, karena tak kuat menahan rasa sakit akibat rambutnya yang dijambak hingga rontok beberapa helai. Vika memanfaatkan momen itu, dia segera berlari menuju taksi yang baru menurunkan penumpang.
Taksi itu membawanya ke sebuah danau sepi yang lumayan jauh dari rumah sakit, setelah membayar Vika langsung berlari menuju danau ia berteriak frustasi di sana, air matanya terus meluncur tak tahu kapan akan berhenti, sesak, sungguh sesak rasanya, Vika merasa ia sedang dimasukan ke dalam bilik sempit yang bahkan tak ada lubang ventilasi.
"Kakek, aku pembawa sial. Maafin aku Kek, karena aku Kakek jadi meninggal, Kak Alam dan Eyang juga kecelakaan karena nolong aku. Kek, aku mau susul Kakek aja," ia memukul-mukul kan kepalanya, semua memori buruk itu terus berputar dalam otaknya bagai sebuah montage film, "nggak ada gunanya aku hidup di dunia ini, aku anak yang terkutuk."
Vika berjalan menuju danau hingga seluruh tubuhnya tenggelam, hatinya sudah mantap dengan apa yang ia lakukan, tak ada keraguan sedikitpun dibenaknya untuk menjemput ajal. Faiq ternyata diam-diam mengikutinya, ia melihat detik-detik terakhir kepala gadis yang telah mengisi hari-harinya selama beberapa bulan ini ditelan air. Faiq langsung berlari, ia bahkan tak mempedulikan mobilnya yang belum dikunci, bahkan mesin mobil itu masih menyala, Faiq melempar sepatunya asal. Ia langsung meloncat ke danau begitu melihat Vika yang sedang kehabisan nafas, ia langsung menarik gadis itu membawanya menuju permukaan air. "Hah hah ha...Kak Faiq? Kenapa Kakak di sini?" tanyanya dengan nafas tersengal.
"BEGO!" ujar Faiq dia membawa Vika duduk di pinggir danau itu.
Air mata mulai merembes dari mata Vika yang merah, tangannya mulai menjambak rambutnya sendiri, kenapa dunia begitu kejam padanya, semua hari yang dia lewati penuh dengan hinaan, caci maki, dan ketidak adilan.
Matanya memandang danau di depannya, ia pikir danau itu akan bersedia menelannya, menjadi tempat terakhirnya di dunia ini. Dia sudah lelah dengan semua ini. "LO GILA?" bentak Faiq, sudah lama Faiq tidak pernah membentak Vika seperti ini.
"KENAPA KAKAK SELAMATIN AKU? KENAPA?" teriak Vika tak kalah keras, "aku cape Kak, aku cape, dengan mati aku bebas dari semua ini. Kenapa dunia kejam sama aku, kenapa tuhan selalu mempermainkan aku?"
"Hiks ... hiks ... aku cape, aku cape. Kakek maafin aku, Eyang maafin aku Eyang, karena aku Eyang kecelakaan, karena aku Kakek meninggal." Vika makin menjambak rambutnya dengan keras, tak peduli dengan rasa sakit itu, rasa sakit di hatinya jauh lebih pedih dari semua rasa sakit yang ia rasakan.
"STOP VIKA!" teriak Faiq, "lo nggak boleh ngomong kayak gitu lagi, lo harus sadar! Vika semua ini bukan salah lo, ini takdir. Jangan salahin diri lo lagi atas semua musibah ini." Faiq mendekap tubuh mungil Vika dengan erat, mereka menyalurkan rasa kasih sayang di antara mereka, menyalurkan kehangatan di tengah malam yang kelam.
...••★••...
...Jujur aku sesak pas nulis ini😭...
...Kalian yang baca gimana?...
...Sedih...
...Nangis...
...Nangis kejer...
...•••...
...*...
...*...
...*...
...TBC...
...Thanks for Reading 💙🌻...
...Jangan lupa like dan komen ya🫶...
...Luv You All💙🌻...
^^^🐞Kepik senja^^^