menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30 : diana semakin terang terangan
Pagi itu,aku terbangun dengan perasaan masih lelah dan bingung. Mataku terbuka perlahan saat merasakan sentuhan lembut pada bahuku. Diana, dengan senyuman lembut, membangunkanku. “Bangun Ra. Sarapan dulu yuk,” ucap Diana dengan nada tenang, seolah-olah tidak ada yang aneh dari kejadian semalam. Aku hanya mengangguk pelan, pikiranku masih penuh dengan bayangan yang tidak menyenangkan dari apa yang kulihat.
Diana meninggalkan kamar tanpa berkata banyak, aku hanya bisa menatapnya dari balik selimut. Pikiranku langsung teringat pada kejadian tadi malam. Keintiman yang ku saksikan di antara Diana dan Pak Rudi terus terngiang di kepala, menimbulkan banyak tanya yang tak bisa dijawab. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?
Aku akhirnya bangkit dari tempat tidur dengan langkah berat. Ketika keluar kamar, aku melihat Diana sedang sibuk di dapur, dengan cekatan menyiapkan makanan. Diana bahkan dengan santainya membuatkan kopi hitam untuk Pak Rudi, yang tampak duduk santai di halaman belakang sambil menikmati pemandangan.
Aku menatap Diana dari kejauhan. Ada sesuatu yang aneh. Gerak-gerik Diana terasa terlalu bebas, terlalu nyaman seolah-olah rumah ini miliknya sendiri. Cara Diana mengenakan daster milik rumah itu juga tampak janggal. Apakah itu daster milik istrinya Pak Rudi? Aku mencoba mengabaikan pikiranku, tapi perasaan risih itu sulit untuk dihilangkan.
“Sarapan sudah siap,” ujar Diana sambil membawa dua piring ke ruang makan, dengan langkah ringan seperti biasa. Kami duduk di depan televisi, menonton acara pagi yang nyaris tak menarik perhatianku. Pikiranku terlalu sibuk dengan segala hal yang terjadi sejak mereka tiba di sini.
Aku memberanikan diri bertanya.
“Diana, baju kamu yang kemarin ke mana?” tanyaku.
“Oh, aku cuci Ra. Bau keringat,” jawab Diana singkat, tersenyum seakan tak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh.
Jawaban itu membuatku semakin bingung. Aku ingin bertanya lebih jauh, ingin memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara Diana dan Pak Rudi. Tapi mulutku tertahan. Akhirnya, aku memutuskan untuk diam, mencoba mengendalikan rasa keingintahuan ku yang semakin membesar.
Setelah sarapan selesai, aku memutuskan untuk mandi. Aku berharap mandi bisa membuat pikiranku lebih jernih dan tenang. Namun, saat aku berada di kamar mandi, suara percakapan di luar mengalihkan perhatianku. Suara itu datang dari ruang belakang, dari arah di mana Pak Rudi biasanya duduk. Aku mendengar Diana dan Pak Rudi berbicara.
Suara mereka terdengar akrab, dan entah kenapa, ada nada keintiman yang membuat aku merinding. Perasaan tidak nyaman itu kembali menyerangku. Aku menyelesaikan mandiku dengan cepat, dan keluar dari kamar mandi. Tanpa sadar, langkah kaki ku membawaku ke arah ruang belakang, di mana suara Diana dan Pak Rudi semakin jelas terdengar.
Ketika aku mengintip dari balik dinding, mataku terbelalak. Diana duduk di atas pangkuan Pak Rudi, dengan tangan yang melingkari lehernya pak Rudi. Mereka berbicara dengan suara pelan, namun penuh keakraban. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana Diana menatap Pak Rudi dengan penuh kasih, dan Pak Rudi membalasnya dengan senyum mesra. Tapi yang terjadi selanjutnya membuatku semakin kaget.
Tanpa ragu, Diana menundukkan kepalanya dan mencium bibir Pak Rudi. Ciuman yang mesra, bukan sekadar ciuman biasa. Aku terpaku di tempatku, bingung, heran, dan tak percaya dengan apa yang kulihat. Hatiku bergolak, perasaanku bercampur aduk. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Diana bisa begitu bebas menunjukkan kemesraannya dengan pria yang jauh lebih tua di hadapanku ?
Saat itu, Diana tampaknya menyadari keberadaanku. Tatapannya melirik ke arah tempat aku berdiri. Alih-alih panik atau malu, Diana justru tersenyum lembut. Senyumnya seakan mengatakan kepada ku untuk diam, untuk tidak berbuat apa-apa. Aku hanya bisa terpaku di tempat, tak tahu harus bagaimana. Diana kembali mencium Pak Rudi, kali ini lebih dalam, seakan tak peduli dengan keberadaanku yang menyaksikan semuanya.
Aku tidak bisa memproses apa yang barusan kulihat. Segalanya terasa begitu salah, begitu aneh. Aku kembali ke kamarku dengan perasaan yang semakin kacau. Pikiranku terus berputar, mencoba mencari penjelasan atas semua ini. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus berbicara dengan Diana? Ataukah lebih baik diam?
Aku merasa semakin risih dengan situasi ini. Diana dan Pak Rudi tidak lagi menutupi hubungan mereka. Bahkan di depanku, mereka terlihat semakin mesra, seolah-olah tak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan. Aku sering merasa tak nyaman melihat kemesraan itu, tapi setiap kali aku ingin mengatakan sesuatu, aku kembali dihantui rasa takut merusak persahabatanku dengan Diana. Malam itu, aku mulai terbiasa dengan pemandangan yang tak biasa.
Diana dan Pak Rudi, tanpa ragu, bermesraan di depanku. Mereka duduk berdekatan, berbicara dengan mesra, dan bahkan berakhir dengan hubungan fisik layaknya suami istri. Aku tak tahu harus merasa apa. Rasa risih, bingung, dan heran terus berkecamuk, tapi aku juga tak bisa melawan keinginan untuk menerima apa yang kulihat. Mungkin inilah hubungan Diana yang sesungguhnya, hubungan yang tak pernah ia ceritakan. Di tengah semua kekacauan pikirannya, aku mencoba berdamai dengan situasi ini.
Meski hatiku masih merasa ganjil, aku tak punya kekuatan untuk menolak atau melawan. Dan setiap malam, aku harus menonton keintiman yang semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya aku hanya bisa pasrah, berharap semuanya akan segera berakhir atau setidaknya menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menyesakkan pikiranku.
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja menyinari rumah Pak Rudi, memancarkan cahaya lembut yang menerobos tirai-tirai kamar. Aku merasa ada sesuatu yang ganjil, perasaan tidak nyaman yang sejak malam sebelumnya terus menggelayuti pikiranku. Dengan perlahan, aku bangkit dari tempat tidur, hendak keluar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Namun, langkahku tiba-tiba terhenti saat melintasi kamar Pak Rudi. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Mataku tak sengaja menangkap pemandangan yang membuatku melongo . Diana dan Pak Rudi, tubuh mereka saling terikat dalam sebuah adegan yang jelas-jelas bukan sesuatu yang inginku lihat. Pemandangan intim itu membuat jantungku berdegup cepat, tapi bukan karena terkejut, melainkan karena aku sudah semakin terbiasa dengan hal seperti ini.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh.
Tanpa berkata sepatah kata pun, aku berjalan menuju dapur. Tanganku dengan cekatan meraih panci dan mengisi air untuk merebus mie. Suara air mendidih yang samar-samar terdengar tidak bisa menutupi suara lain yang lebih nyaring. Dari kamar Pak Rudi, suara jeritan Diana memenuhi rumah. Suara penuh gairah dan erangan terdengar jelas hingga ke dapur, namun aku tak menggubrisnya. Aku sudah mulai terbiasa dengan semua itu. Terkadang, suara-suara itu terasa seperti musik latar yang sudah jadi bagian dari kesehariannya selama di sini.
Sambil menunggu mie matang, aku mengambil remote dan menyalakan televisi. Channel berita pagi pun berganti, suara presenter yang membaca berita kriminal memenuhi ruangan, mencoba mengimbangi suara Diana yang masih meracau di kamar. Aku mengaduk-aduk mie dalam mangkuk. Tak ada yang spesial di pagi ini, pikirku. Sama seperti hari-hari sebelumnya di rumah Pak Rudi, kemesraan antara Diana dan pria paruh baya itu bukan lagi hal baru buatku.
Tak lama kemudian, Diana keluar dari kamar, wajahnya sedikit memerah, keringat masih terlihat di lehernya. Dengan langkah santai, Diana berjalan ke dapur dan mengambil segelas air. Pakaiannya sedikit berantakan, tetapi Diana tampak tenang, seperti biasa. Ia duduk di sebelahku tanpa canggung, menyisakan sejenak keheningan di antara mereka sebelum akhirnya membuka suara.
"ra, ada hal yang ingin aku ceritakan," ucap Diana sambil menyesap air dari gelasnya. Aku menoleh, tidak terlalu tertarik, namun tetap mendengarkan. Diana menarik napas panjang, lalu mulai berbicara.
"Setiap kali aku pulang ke kampung, aku selalu nginep di sini, di rumah Pak Rudi." Diana berbicara dengan tenang, seolah cerita yang akan ia sampaikan hanyalah bagian dari kehidupan sehari-harinya. "Aku cuma tahan sehari di rumah orangtuaku, itu juga cuma buat basa-basi. Orangtua selalu ribut, masalah pekerjaan gak ada habisnya."
Nurra tetap diam, hanya mengangguk sedikit. Meskipun cerita ini terasa aneh, ia ingin tahu lebih jauh. Diana melanjutkan, suaranya terdengar penuh kepastian.
"Pak Rudi itu, buat aku, dia sosok yang aku butuhin. Dulu, pas aku ngerasa kehilangan figur ayah, dia ada buat aku. Tapi, dia juga bisa jadi suami yang baik buat aku." Diana tersenyum tipis, matanya berkilat seolah berbicara tentang sesuatu yang sangat ia banggakan. "Dia bisa ngertiin aku, dan dia selalu bikin aku merasa aman dan… aku selalu terpuaskan."
Kata-kata itu membuat perut Nurra sedikit mual. Meski sudah terbiasa melihat kemesraan mereka, mendengarnya secara langsung membuatnya merasa risih. Aku tidak membalas, hanya melanjutkan sarapanku, berusaha fokus pada mie di hadapanku. Tak lama setelah percakapan itu, mereka mulai bersiap-siap untuk pulang.
Aku dan Diana mandi bergantian, kemudian mulai mengemasi barang-barang. Diana tampak lebih ceria dari sebelumnya, seolah percakapan tadi sudah membebaskannya dari beban yang ia simpan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala kecil sambil mengemas pakaiannya.
Ketika semuanya sudah siap, Diana berpamitan kepada Pak Rudi. Namun, sebelum meninggalkan rumah, mereka sekali lagi menunjukkan kemesraan yang membuatku merasa aneh. Di depan pintu, Diana dan Pak Rudi berciuman dalam-dalam. Ciuman yang panjang, penuh gairah, seolah mereka adalah pasangan sejati yang akan terpisah untuk waktu yang lama. Aku berdiri di belakang, hanya bisa menyaksikan tanpa berkata apa-apa.
Kami pun akhirnya meninggalkan rumah Pak Rudi. Diana mengendarai sepeda motornya, menyusuri jalan kampung yang tenang. Angin pagi menyapu wajah kami, tapi pikiranku masih dipenuhi dengan bayangan Diana dan Pak Rudi. Apa sebenarnya hubungan mereka? Aku tidak bisa sepenuhnya memahami, tetapi satu hal yang ia tahu, ada sesuatu yang salah dalam semua ini.
Perjalanan kembali ke Bandung terasa panjang. Sepanjang jalan, aku tidak bisa melepaskan rasa aneh yang terus menghantui ku. Meski Diana terlihat begitu nyaman dengan kehidupannya, aku tidak bisa ikut merasa nyaman. Ada sesuatu yang tidak bisa ku terima, sesuatu yang membuatku terus mempertanyakan kejujuran Diana, kejujuran yang mungkin selama ini tak pernah sepenuhnya terbuka di hadapanku. Begitu kami tiba kembali di Bandung, perasaan itu masih terus mengikutiku, seperti bayangan gelap yang tidak bisa aku abaikan.