Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4
Paman Reynard menatap Caitlin dengan senyum sinis, "Nona, apakah Anda adalah teman kencan Reynard? Kenalkan, aku adalah pamannya, Tommy Fernando," sapanya dengan ramah yang terasa palsu, sambil mengulurkan tangannya.
Caitlin hanya melirik tajam, tanpa ragu atau rasa sungkan, sebelum menjawab dengan nada tegas, "Siapa tanya?" Balasannya terkesan kasar, membuat atmosfer ruangan seketika menjadi dingin.
Tommy tertegun. Dia tidak menyangka balasan begitu tajam dan mengejek datang dari perempuan muda yang terlihat begitu polos dan tenang. Sejenak, senyumannya menghilang, digantikan dengan ekspresi terkejut yang ia sembunyikan di balik tawa gugup.
Reynard, yang dari tadi memperhatikan interaksi itu dengan tenang, akhirnya berbicara untuk memecahkan ketegangan. "Paman, Nona ini adalah keponakan Tuan Tom Revelton. Namanya Caitlin," ujar Reynard dengan nada santai namun dingin.
Tommy mengerutkan kening sejenak, lalu menoleh ke arah Caitlin. "Apakah dia adalah pamanmu?" Caitlin bertanya pada Reynard tanpa basa-basi, tidak sedikitpun menghiraukan sikap Tommy.
Reynard tersenyum tipis dan menjawab pendek, "Benar."
"Nona Caitlin, setelah kalian menikah, kita akan menjadi satu keluarga," ucapnya mencoba bersikap ramah kembali, namun nada suaranya mengandung kesombongan tersembunyi.
Caitlin mendengus kecil dan menjawab dengan dingin, "Siapa yang mau menjadi satu keluarga denganmu," balasnya tanpa ragu, sebelum kembali fokus pada gambarnya di meja.
Tommy semakin gelisah, namun tetap berusaha menjaga wajahnya. Dengan senyum paksa, dia menoleh ke Reynard, berusaha mencairkan suasana yang semakin canggung. "Reynard, sepertinya pacarmu tidak menyukaiku," katanya sambil tersenyum kaku.
Reynard melirik Tommy dengan senyum tipis, seolah tidak terlalu peduli. "Dia berhak menyukai atau tidak," jawab Reynard.
Caitlin, yang belum puas, langsung menoleh ke Tommy dengan tatapan menusuk. "Siapa yang bilang aku adalah pacarnya? Aku tidak sudi. Baru bertamu sudah menyusahkan orang," katanya sambil melempar pandangan tajam ke arah Reynard, lalu kembali menatap Tommy, "Dan satu lagi, lebih baik jangan tersenyum. Senyuman Anda tidak tulus."
Tommy tercekat. Kata-kata Caitlin langsung memukul egonya, membuat senyumnya semakin memudar. Ia terdiam, menahan emosi yang sudah menggelegak dalam dirinya. "Aku pikir aku akan pergi sekarang," gumamnya akhirnya, lalu segera berpamitan dengan wajah yang hampir tak bisa menutupi kemarahan.
Begitu Tommy keluar dari restoran, Reynard menghela napas panjang dan menoleh ke arah Caitlin. "Kenapa kamu sepertinya bermusuhan dengan pamanku? Kamu mengenalnya?" tanyanya dengan rasa penasaran yang mulai tumbuh.
"Kalian sangat mirip, sama-sama licik," jawab Caitlin sambil fokus menggambar. Tangannya terus bergerak lincah di atas kertas, seolah ingin meluapkan perasaan kesalnya melalui setiap garis yang ia goreskan. Ia tidak menatap Reynard, matanya tertuju pada karyanya, namun nada suaranya sudah cukup untuk menyampaikan ketidaksukaannya.
Reynard menyeringai, senyum yang penuh teka-teki muncul di wajahnya. "Bukankah kamu memanggilku calon kakak ipar? Kenapa masih menganggapku licik?" tanyanya dengan nada tenang, seolah sedang menguji reaksi Caitlin. Dia mendekat, mengamatinya dengan tatapan penuh minat, seperti sedang menikmati setiap kalimat yang keluar dari bibir gadis itu.
Caitlin menghentikan gerakannya sejenak, lalu mendengus pelan. "Itu bukan urusanku," balasnya sambil kembali memusatkan perhatian pada gambarnya. "Lagipula, kamu dan kakakku sangat serasi. Cepat nikahi dia, agar aku tidak menjadi pembantunya lagi. Aku tidak suka kalau harus mengurus kebutuhannya. Setelah kamu menikahinya, pastikan dia tidak pulang ke rumah lagi." Caitlin mendesah panjang, tangannya masih terus bekerja di atas kertas, meski suaranya terdengar lebih tegas. "Dengan begitu, aku tidak akan diperintah sana sini lagi," tambahnya, kali ini dengan sedikit nada putus asa.
Seminggu kemudian
Di dalam mansion megah milik keluarga Fernando, suasana terasa sunyi. Reynard Fernando duduk di ruang tamu, terpaku pada gambar sebuah mobil yang hancur karena kecelakaan. Jemarinya dengan pelan menyusuri tepi bingkai foto.
Sementara itu, Nico, asisten setianya, berdiri di sampingnya, menunggu perintah berikutnya.
"Tuan, Tuan Revelton mengundang Anda untuk makan malam," ucap Nico hati-hati, memecah keheningan.
Reynard tak langsung menjawab. Pandangannya masih terfokus pada foto itu, kenangan yang terus menghantuinya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berbicara.
"Nico, apakah belum ada bukti siapa pelakunya?" tanyanya dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Aku semakin mencurigai pamanku. Dia tampak baik di depan semua orang, tapi selama ini hanya dia yang berani menantangku. Lumpuhnya kakiku ini juga pasti ulahnya. Dia ingin menyingkirkan aku dari perusahaan, memastikan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi."
"Tuan, setelah kecelakaan itu, supir yang menabrakkan mobil kita langsung menghilang. Sepertinya Tommy Fernando telah menyusun rencana ini dengan sangat rapi," jawab Nico dengan tegas.
Wajah Reynard mengeras, tatapannya beralih dari foto ke Nico. Matanya menyala dengan tekad yang dalam.
"Apapun itu, cari sampai dapat," katanya tegas. "Setengah tahun berlalu, dan aku harus duduk di kursi roda ini sementara para pemegang saham mulai menyerangku satu per satu. Aku tidak bisa membiarkan Tommy bebas begitu saja. Aku akan memastikan dia tidak punya jalan keluar!"
Nico mengangguk, wajahnya serius. "Iya, Tuan. Saya akan segera menindaklanjutinya."
Reynard mengalihkan pandangannya dari foto yang berada di tangannya dan kini menatap Nico dengan mata penuh pertanyaan, seolah-olah ada sesuatu yang belum terjawab dari malam itu.
"Apakah sampai saat ini masih belum diketahui siapa orang yang mengantarku dan Lucas ke rumah sakit saat itu?" tanyanya dengan nada rendah.
"Kebetulan sekali, CCTV rumah sakit rusak pada saat itu, dan itu membuat kita kesulitan melacaknya. Setelah gadis itu mengantar Anda dan Lucas ke rumah sakit, dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Dia hanya memastikan bahwa Anda berdua berhasil diselamatkan sebelum menghilang."
Reynard terdiam sejenak, pikirannya terbang jauh membayangkan sosok misterius yang telah menyelamatkan hidupnya. Ada rasa penasaran yang tak terelakkan, dan sedikit rasa bersalah karena dia bahkan tidak tahu siapa yang telah menyelamatkannya dari kematian.
"Nyawaku diselamatkan olehnya," ujarnya perlahan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Jika kita menemukannya, aku harus berterima kasih padanya secara pribadi."
"Besok siang, aku akan menemui Tom," katanya, nadanya penuh ketegasan. "Siapkan uang tunai untukku. Aku akan melamar gadis itu."
Nico menatap Reynard dengan sedikit terkejut, tapi dia cepat menyembunyikan reaksinya. "Baik, Tuan," jawabnya dengan patuh.
"Akhirnya Tuan terima perjodohan dari Nancy Revelton, Setelah sekian lama menolak menikah," batin Nico.
seru nih