Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Tantangan di Taman
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Pak Andi, kehidupan Dion berjalan seperti biasa. Di sekolah Gemilang, suasana mendadak berubah ketika diumumkan bahwa ujian akhir semester akan dilaksanakan dua minggu lagi. Kabar itu menyebar cepat, membawa keresahan bagi sebagian besar siswa.
“Wah, dua minggu lagi! Kok cepet banget, sih?” keluh Reza sambil menepuk dahinya, terlihat frustasi.
Aldi, yang duduk di sebelahnya, tampak sama khawatirnya. “Gue bahkan belum buka catatan sama sekali. Udah pasti begadang ini.”
Di tengah hiruk pikuk teman-temannya yang resah, Fariz justru terlihat santai, seolah tidak terpengaruh oleh kabar tersebut. Sambil bersandar di kursinya, dia menatap langit-langit kelas.
"Lo nggak khawatir, Riz?" tanya Dion, penasaran dengan sikap cueknya.
Fariz hanya mengangkat bahu dan tersenyum tipis. "Buat apa? Nilai gue pasti merah juga. Udah kebiasaan."
Aldi tertawa kecil. “Lo emang paling santai, Riz. Mungkin gue harus belajar dari lo gimana caranya nggak peduli.”
Sementara itu, Dion diam-diam mulai merasakan tekanan. Meski ia dikenal sebagai siswa yang cukup pintar, tekanan menjelang ujian selalu membuatnya gelisah. Dua minggu terasa terlalu singkat untuk mempersiapkan semuanya. Namun, ia mencoba menenangkan diri dengan berpikir bahwa masih ada waktu untuk belajar, meskipun teman-temannya terlihat panik.
Malam harinya, setelah makan malam bersama keluarganya, Dion merasa ingin mencari suasana yang lebih tenang. Ia memutuskan untuk meminta izin kepada orang tuanya untuk berjalan-jalan ke taman.
“Mah, Pah, aku keluar sebentar ya, mau jalan-jalan ke taman. Nyari angin segar,” katanya sambil memakai jaket.
Ibunya, yang sedang membereskan meja makan, mengangguk. “Jangan pulang terlalu malam, ya.”
“Jangan lupa bawa jaket tebal, Don,” tambah ayahnya, sambil tersenyum. “Anginnya lumayan kencang malam ini.”
Dion hanya mengangguk dan melangkah keluar rumah. Malam itu, udara terasa sejuk dengan angin lembut yang berhembus. Ia berjalan pelan menuju taman kota, menikmati ketenangan yang jarang ia rasakan di sekolah atau rumah. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya ia tiba di taman yang cukup ramai malam itu. Lampu-lampu taman memberikan suasana hangat di tengah malam yang tenang.
Di tengah taman, Dion melihat ada kerumunan orang yang berkumpul di sekitar sebuah bangku panjang. Tampak seorang pria duduk di situ, di depannya terdapat papan catur yang sudah diatur posisinya. Pria itu sedang menantang orang-orang yang berlalu lalang di taman untuk menyelesaikan permainan catur tersebut.
“Cuma lima langkah! Kalau bisa menyelesaikan dalam lima langkah, uang 10 ribu dari orang-orang yang kalah akan jadi milikmu!” seru pria tersebut dengan penuh semangat.
Setiap orang yang ingin mencoba tantangan itu harus membayar 10 ribu, tetapi sejauh yang Dion lihat, tak ada satu pun yang berhasil menyelesaikannya. Rasa penasaran Dion meningkat saat ia melihat kerumunan yang semakin ramai.
Saat sedang mengamati dari kejauhan, mata Dion menangkap sosok yang familiar. Di antara kerumunan, Pak Andi tampak berdiri dengan tangan terlipat, menyaksikan tantangan itu dengan penuh minat. Dion tersenyum kecil, merasa senang bertemu lagi dengan pria ramah itu.
Tanpa ragu, Dion melangkah mendekat dan menyapa. “Pak Andi, selamat malam! Apa kabar?”
Pak Andi menoleh dan tersenyum lebar ketika melihat Dion. “Wah, Dion! Kebetulan sekali. Apa kabar?”
Dion mengangguk. “Baik, Pak. Lagi nonton ini juga?”
Pak Andi tertawa kecil. “Iya, tadi kebetulan lewat. Menarik juga, ya, melihat orang-orang berusaha memecahkan teka-teki catur ini.”
Dion tertawa bersama. “Iya, kayaknya susah banget. Udah banyak yang coba, tapi nggak ada yang berhasil.”
Pak Andi kemudian berpikir sejenak dan mendekatkan tubuhnya ke arah Dion. “Gimana kalau kamu coba, Dion? Kalau kamu bisa menyelesaikannya, saya kasih hadiah.”
Dion sedikit terkejut mendengar tawaran itu. “Hadiah, Pak? Apa tuh?”
Pak Andi tersenyum penuh tantangan. “200 ribu. Kalau kamu bisa menyelesaikan catur itu dalam lima langkah, saya kasih kamu 200 ribu.”
Dion tertawa. “Serius, Pak? Wah, boleh juga nih. Oke deh, saya coba.”
Dengan antusias, Dion melangkah maju ke arah papan catur. Orang-orang di sekitar mulai memperhatikan, penasaran apakah Dion akan berhasil menyelesaikan tantangan itu. Pria yang memegang tantangan catur itu menyambut Dion dengan anggukan dan senyum tipis.
“Berani coba, Dik?” tanya pria itu.
Dion mengangguk. “Boleh, Pak. Berapa biayanya?”
“10 ribu aja, kalau berhasil, uang yang terkumpul buat kamu,” jawab pria itu. “Tapi ingat, cuma lima langkah.”
Setelah membayar, Dion mulai memperhatikan posisi catur di papan. Awalnya, tampak rumit, tetapi setelah meneliti lebih dalam, ia mulai melihat celah untuk memecahkan tantangan itu. Pikirannya bekerja cepat, mengatur strategi dalam kepalanya.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Dion bergerak dengan cepat dan penuh keyakinan.
Langkah keempat membuat beberapa orang di kerumunan menahan napas, dan pada langkah kelima, Dion berhasil menyelesaikannya. Pria pemegang tantangan itu tampak terkejut, sementara kerumunan memberikan tepuk tangan kecil untuk Dion.
“Wah, hebat kamu, Dik!” pria itu tertawa, tampak terkesan. “Nih, 100 ribu dari uang yang terkumpul buat kamu. Kamu memang jago.”
Pak Andi, yang menyaksikan dari dekat, juga tersenyum lebar. “Luar biasa, Dion! Ini tambahan 200 ribu lagi dari saya, sesuai janji.”
Dion tersenyum bangga sambil menerima uang tersebut. “Terima kasih, Pak. Kayaknya saya harus sering-sering main catur nih.”
Setelah itu, Dion dan Pak Andi memutuskan untuk duduk di bangku taman, menikmati udara malam yang sejuk. Mereka berbincang-bincang santai, hingga akhirnya Pak Andi menatap Dion dengan tatapan yang sedikit lebih serius.
“Dion, menurutmu keluarga itu apa?”
Pertanyaan itu membuat Dion terdiam sejenak, berpikir sebelum menjawab. “Buat saya, Pak, keluarga itu ya tempat kita saling melengkapi. Misalnya, ibu saya itu orang yang paling sabar dan pintar masak. Tapi kalau sudah marah, dialah yang paling mengerikan di rumah.”
Pak Andi tertawa kecil. “Oh ya? Terus ayahmu?”
“Ayah saya itu, ya, kebalikannya. Dia suka bercanda, kadang terlalu santai, tapi justru itu yang bikin suasana rumah selalu seru. Adik saya, namanya Aira, dia selalu ceria dan nggak pernah bisa diam. Sering banget bikin ribut, tapi justru keceriaannya yang bikin rumah jadi hidup.”
Dion tersenyum sendiri saat menceritakan keluarganya. “Intinya, keluarga itu harus saling melengkapi, Pak. Kalau satu nggak ada, rasanya kayak ada yang hilang.”
Pak Andi terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. “Kamu benar, Dion. Keluarga memang seharusnya seperti itu. Tapi... saya merasa sudah lama keluarga saya tidak begitu. Saya, istri saya, dan anak saya... kami jarang sekali bicara satu sama lain. Rasanya kami tinggal di rumah yang sama, tapi seperti hidup di dunia yang berbeda.”
Dion mendengarkan dengan seksama, memahami apa yang dirasakan Pak Andi. “Mungkin Bapak perlu mulai dari hal kecil. Coba ajak ngobrol dulu. Kadang, komunikasi yang sederhana bisa mengubah banyak hal. Mungkin mereka juga nunggu Bapak yang mulai bicara dulu.”
Pak Andi menatap Dion, lalu mengangguk pelan. “Mungkin kamu benar, Dion. Saya harus mencoba.”
Dion tersenyum, merasa senang bisa membantu Pak Andi. Mereka terus berbincang hingga malam semakin larut, sebelum akhirnya mereka berpisah di taman dengan kesan mendalam. Pak Andi pergi dengan sebuah tekad baru, sementara Dion pulang dengan perasaan puas setelah pertemuan yang tak terduga dan penuh makna itu.
To be continued...