Pondok pesantren?
Ya, dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren akan memberikan suatu pengalaman hidup yang berharga bagi mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Belajar hidup mandiri, bertanggung jawab dan tentunya memiliki nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan tentunya membangun sebuah persaudaraan yang erat dengan sesama santri.
Ina hanya sebuah kisah dari santriwati yang menghabiskan sisa waktu mereka di tingkat akhir sekolah Madrasah Aliyah atau MA. Mereka adalah santri putri dengan tingkah laku yang ajaib. Mereka hanya menikmati umur yang tidak bisa bisa mendewasakan mereka.
Sang Kiyai tak mampu lagi menghadapi tingkah laku para santriwatinya itu hingga dia menyerahkannya kepada para ustadz mudah yang dipercayai mampu merubah tingkah ajaib para santri putri itu.
Mampukah mereka mengubah dan menghadapi tingkah laku para santri putri itu?
Adakah kisah cinta yang akan terukir di masa-masa akhir sekolah para santri putri itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERNYATA SALAH
“Isss pegang yang benar Ra, nanti kita ketahuan.” Kesal Ayyara kepada Almaira.
Almaira berdecak. “Yaudah cepatan makanya, kamu kira ini tidak berat? Berat ini.”
“Husssttt, jangan keras-keras. Udah segini ajah cukup.” Timpal Aruna kepada keduanya.
Ayyara membantu Almaira menyimpan kayu yang dipakai untuk mengambil buah mangga tadi, ya mereka sedang mengambil buah manga di belakang pendopo pondok.
Bukan mengambil sih tapi mungkin sedikit mengarah ke mencuri karena tidak minta kepada sang pemilik buah manga itu.
“Buset, ini benar dapat segini?” Tanya Almaira sedikit heran. Perasaan tadi hanya sedikit doang kok dia jolok, kenapa jadi banyak begini.
“Kenapa? Ini kurang?” Tanya Adira yang baru saja ikut bergabung setelah menjaga sekitarnya.
“Bukan kurang lagi, kelebihan ini mah.” Jawab Ayyara. Mereka duduk melingkar tanpa tahu sepasang mata tajam menatap mereka dari kejauhan.
“Ya alhamdulillah, bisa disimpan buat besok.” Ucap Aruna. Memasukkan satu-persatu manga mudah itu kedalam wadah kecil yang dibawanya dari asrama.
“Kita makan dimana? Kalau dibawah ke asrama yang ada malah ketahuan lagi.” Ujar Adira.
“Ketahuan apa?”
Deg
Adira dkk terdiam, saling menatap satu sama lain lalu perlahan mencari sumber suara itu. Hingga dibelakang Ayyara sosok pemilik tubuh tingga dan pemilik mata tajam itu berdiri disana dan menatap kearah mereka.
“Astagfirullah ustadz.”
“Kaget.”
Ayyara dan Adira sampai kaget hingga membuat keduanya duduk dibawah rerumputan yang kering itu, mengusap pelan dadanya karena kaget.
“Ya Allah ustadz, kalau datang tuh salam dulu atau tidak kasih aba-aba.” Ucap Adira perlahan berdiri.
Ustadz Agra melototi keempatnya. “Sedang apa disini hm?” Tanyanya penuh selidik. Mengabaikan ucapan Adira.
Keempat santriwati itu tersenyum malu, malu karena kepergok mungkin. Mereka tidak bisa mengelak sebab bukti yang jelas sedang mereka pegang.
“Ambil mengalah ustadz.” Jawab Adira pelan. “Ustadz Agra mau juga? Nih aku kasih, gratis ustadz.” Lanjutnya dengan wajah minta dicakar.
Yang lainnya menatap tajam Adira, bisa-bisanya masih bercanda dalam situasi seperti ini. Sepertinya Adira tidak tahu jika wajah dari ustadz Agra hendak menerkam Adira dengan hidup-hidup.
“Bodoh banget sih teman kalian.” Lirih Ayyara.
Aruna dan Almaira menggeleng pelan. “Bukan teman kita.”
Ustadz Agra berdecak pelan. “Sudah minta? Buah itu milik yayasan, yang berarti kalian jika ingin mengambilnya izin dulu. Sama saja kalian mencuri jika mengambil tanpa izin, jadi sudah izin dengan kiyai Aldan?”
Saling menatap lalu menggelengkan kepala secara bersamaan membuat ustadz Agra menghela napas dengan kasar, sepertinya ustadz muda itu prustasi.
“Loh… ya belum minta lah ustadz.” Jawab Adira lagi. “Kenapa juga harus minta, kita ini santri disini, sudah bayar uang yayasan dan ketring. Ya jelas tidak perlu minta…,”
“ADIRA.” Ustadz Agra menekan setiap huruf pemilik nama itu. Jangan lupakan tatapan tajamnya yang menambah kesan menakutkan namun bertambah sangat tampan.
“Diam ih, kamu mau kita dihukum lagi.” Bisik Ayyara pelan kepada Adira. Gemes sekali dengan sahabat karibnya ini.
“Hemmm, dari mana kamu dapat kalimat seperti itu ha? Kalian memang santri disini, tapi tindakan kalian ini tidak benar. Sama saja kalian mengambil barang tanpa izin dengan pemiliknya, mencuri namanya.” Tutur ustadz Agra dengan pelan.
Adira dkk menunduk dalam, mereka memang mengaku salah dengan mengambil mangga tanpa izin terlebih dahulu. Tapi itu juga milik para santrikan? Jadi, sah-sah saja jika santri mana pun mengambil buah itu.
“Afwan ustadz.” Lagi mereka menjawab dengan pelan.
“Jadi, tindakan kalian ini benar atau salah?” Tanyanya. Namun, pandangannya terus menatap Adira.
“Salah ustadz, tapi itu…,”
“Jawab terus kamu Adira, sudah salah masih berani jawab kamu. Sekarang kalian pergi ke ndalem minta izin ke kiyai, sekarang!” Perintahnya dengan tegas. Mereka hanya pasrah, mengangguk dengan lemas.
“Na’am ustadz.”
xxx
Setelah mendapat wejangan dari sang kiyai akibat mengambil buah mangga tanpa izin dari pondok, kini Adira dkk tengah menikmati segarnya buah mangga mudah itu dibalkon depan kamar mereka.
“Duh segernya, eukkkkkhh…,” Ayyara dengan tidak tahu malunya bersendawa didepan teman-temannya. “Alhamdulillah.” Lanjutnya.
“Ihhh jorok kamu.” Delik Adira. Pasalnya dia duduk didepan Ayyara.
“Muka kamu dah merah Run, nanti sakit perut.” Ucap Almaira menatap ngeri Aruna. Anak itu salah satu pecinta pedas.
“Sssshahhh, enak banget.” Ucap Aruna. “Tenang, air tidak dibeli kalau mau eek.” Lanjutnya dengan wajah bak kepiting rebus.
Ketiga temannya hanya menggeleng setelah mendengar jawaban Aruna, ya hanya Adira saja dari keempatnya yang tidak menyukai makanan pedas. Jika Adira mengkomsumsi makanan pedas siap-siap saja dirinya akn bolak balik kekamar mandi, serta lambungnya pun akan terasa terbakar.
“Ini mangga masih banyakkan? Ini mau disimpan atau dibagi dengan lainnya?” Tanya Ayyara menatap sisa buah yang masih utuh itu. Sesekali juga mengusap perutnya karena sudah kenyang.
Almaira dan Adira sibuk membereskan sampahnya. “Kita kasih ajah, dari pada disimpan yang ujung-ujungnya lupa lagi.” Jawab Adira.
Mereka ini termasuk manusia-manusia yang sering kali pelupa, entah itu menaruh barang, menyimpan makanan bahkan sampai makanan itu sudah tidak bisa dikomsumsi pun mereka tidak akan ingat.
“Yaudah, ini semua kita bagi. Aku yang bakalan bagi, kalian beres-beres.” Kata Almaira. Dia segera pergi dan mengetuk beberapa pintu kamar di lantai tiga ini.
“Dir, biar aku yang bawah ini.” Cegah Aruna saat melihat Adira hendak membawa wadah yang mereka pakai itu. “Biar aku yang sekalian cuci, soalnya mau cuci tangan juga.” Lanjutnya.
Adira mengangguk. “Baguslah, nih bawah. Aku mau buang sampah dulu kebawah.”
Untuk Ayyara menyapu lantai, soalnya dia mana kuat kalau turun tangga lagi dengan perut yang kenyang itu. Bisa-bisa jatuh lemas dia, lebih baik dia membersihkan saja.
Halaman asrama putri.
Adira harus melewati halaman asrama putri yang lumayan luas ini dengan terik matahari yang lumayan panas, tempat sampah satriwati ada didepan gerbang asrama putri yang mengarah langsung kehalaman masjid utama pondok.
“Panassss.” Ucapnya. Menaruh kantong plastik hitam itu kedalam bak sampah.
Melihat sekelilingnya ternyata sangatlah sepi, wajar saja karena ini adalah jam istirahat setelah pulang dari Madrasah. Mereka semua tidak berkeliaran sampai waktu shalat asar tibah.
Saat hendak kembali melangkah, santri yang memiliki tinggi hanya 150 cm itu menajamkan penglihatannya saat siluet tubuh yang beberapa hari ini tidak pernah muncul didepannya.
“Yaelah, aku pikir dia tidak akan kembali masuk.” Lirihnya. “Kenapa harus balik lagi sih dia! Padahal kita aman-aman ajah tanpa gangguan dari dia.” Lanjutnya dengan wajah kesal.
Mempercepat langkahnya karena terik matahari terasa begitu panas, sampai akhirnya dia sampai di asrama dengan wajah yang sedikit terlihat merah karena panas.
“Weesss, dari mana ajah lo?”
Adira yang hendak berbelok menaiki tangga pun terhenti saat mendengar pertanyaan dari arah belakang tubuhnya, dia berbalik dan sontak menampilkan wajah malasnya.
“Kenapa?” Tanya Adira. Malas sekali rasanya berhubungan dengan nenek lampir ini.
“Lo ngak merasah bersalah gitu? Ngak mau minta maaf? Cihhh emang lo pada ngak tahu minta maaf, yang ada terus nyusahin semua orang.”
“Eh Gia, ya jelaslah kita tidak mau minta maaf. Orang kamu yang jelas-jelasnya salah, kamu harusnya bersyukur karena kita tidak sampai dorong kamu. Cuman basah kuyup ajah kamu sampai aduin ke kiyai, padahal itu salah kamu sendiri.”
“Apa lo bilang? He! Jelas-jelas lo yang sengaja numpahin air ke gue, lo emang…,”
“Apa? Udah deh Gia, semua santri disini juga tahu siapa yang salah. Toh juga udah selesaikan masalahnya, jadi tidak usah diperbesar lagi.”
“Lo emang berani banget, ingat bokap gue salah satu donatur dipondok ini. Kapan pun gue mau bisa buat lo pada keluar dari sini.”
“Terserah, lakuin apapun yang buat kamu senang.” Adira meninggalkan Gia dengan wajah kesal.
Adira masuk kamarnya tanpa mengetuk atau mengucapkan salam, membuat ketiga temannya terpelojak kaget dengan kehadiran Adira yang tiba-tiba ini. Mereka dapat melihat wajah yang sepertinya terlihat kesal itu.
“Astagfirullah, ya Allah. Sabar Adira, sabar orang sabar dapat jodoh yang tampan.” Lirihnya sambil mendudukkan bokongnya dilantai.
“Kenapa kamu?” Tanya Almaira yang kebetulan duduk didepan Adira.
Adira menatap ketiganya kemudian mengambil napas sebelum mengeluarkan suaranya. “Si nenek lampir dah balik.”
“HA?”
Adira sedikit kaget dengan suara pekikan ketiganya, oh jangan lupakan wajah kaget mereka bertiga ini.
“Yang benar ajah, perasaan baru kemarin deh dia pulang, kok cepat banget.” Ujar Aruna. Ikut kesal karena sebentar lagi ketentraman mereka berakhir.
“Kita kudu otokke ini? Yassalam… baru juga tiga hari kita santai.” Lanjut Ayyara malas. Kenapa juga nenek lampir itu hanya mengambil libur tiga hari, kenapa tidak sekalian langsung pindah.
“Hu’m. Aku kesal banget ketemu dia di lantai satu tadi, ih mukanya itu loh minta dicakar.” Gereget Adira dengan kedua tangannya mencakar udara.
xxx
“Jadi, ente dari tadi kita cari-cari ternyata lagi pantau mereka?” Tanya Bima memastikan lagi.
Agra mengangguk. “Hm.”
“Ckkk, mereka kalau tidak dikasih hukuman yang berat mana berhenti buat ulah.
Hafalan yang kita kasih kemereka saja belum tentu buat mereka jerah.” Jelas Abyan.
Benar yang dikatakan pria itu.
“Benar, kiyai juga bilang seperti itu.” Ucap Bima.
“Jadi kalau mereka buat ulah lagi, mau langsung dibuku hitamkan dan jadi santri khusus?” Kali ini Abraham yang bertanya.
“Kita lihat saja nanti.” Jawab Agra. Dia juga tengah memikirkan itu.
Mereka salah mengira jika keempatnya sudah ingin berubah, namun sepertinya itu sangat sulit dan menjadi beban mereka. Mereka salah mengira jika semuanya sudah mulai menyerah.
semangat 💪👍