NovelToon NovelToon
Jodoh Untuk Kakak

Jodoh Untuk Kakak

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: veraya

Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27 : Detektif Devin

     Tanpa terasa tiga hari Ara di ibukota sudah selesai. Ara masih punya beberapa tujuan lagi. Dia ingin pergi meninggalkan kekalutan dan carut marut dunia cintanya yang semrawut penuh benang kusut.

     Carrier di punggung siap menemani perjalanannya. Berharap hidupnya terus berlanjut dengan suasana dan kanvas baru.

     "Hei, kamu nggak adil. Masa' mau berpisah begini saja." Mahesa tiba-tiba muncul di depan pintu kontrakannya.

     "Astaga! Aku kira kamu sudah pulang. Ngapain kamu masih di sini?"

     "Mau ikut kamu jalan-jalan."

     Ara menggaruk dahinya sambil menghembuskan nafas panjang.    

     "Mahes, makin lama kamu sering sama aku, makin susah juga aku nasehatin kamu. Aku nggak mau kamu kelamaan sakit hati trus persahabatan kita bubar."

     "Sebagai teman. Kita pergi sebagai teman. Aku tahu kamu nggak bakalan berhenti sejauh apapun aku ngejar kamu. Kalau kamu masih mau lari, aku akan lari bersamamu. Kita olahraga bareng. Gimana?"

     Mahesa mengulurkan tangannya. Ara tidak segera menyambutnya.

     "Kamu susah dijagain. Banyak yang nggak suka liat aku jalan sama kamu. Nanti mereka ngeroyok aku gimana?"

     "Aku pakai masker, topi, hoodie, sarung tangan, kaos kaki, jaket, biar nggak ketahuan."

     "Mahesa, tujuanku ini bukan mall atau taman bermain. Kamu yakin nggak bakalan mengeluh?"

     Mahesa terdiam menatap Ara yang seperti ingin melarikan diri dan tidak ingin kembali. Entah kenapa meskipun hatinya masih sedih karena ditolak Ara, dia akan merasa lebih sedih lagi jika kehilangan Ara dan selamanya tidak bisa melihatnya lagi.

     Mahesa memilih membuang obsesinya untuk mendapatkan Ara dan status ikatan daripada melihat Ara pergi untuk selamanya. Mahesa menyadari bahwa waktu dan koneksi hati seperti inilah yang dia butuhkan.

     "C'mon." Mahesa mengulurkan tangannya.

     Kali ini Ara yang terdiam menatap uluran tangan Mahesa. Dia tidak menyangka sahabatnya bisa sekuat itu dan semaklum itu menghadapi dirinya yang kacau balau ini.

     Mata Ara mengembun lagi. Perlahan dia maju lalu memeluk Mahesa sambil mengucapkan terima kasih.

     "Kamu memang sahabat terbaikku, Hes. Jangan pernah berubah ya. Jangan benci aku juga. Aku tahu aku jahat, ngumpulin maaf sedunia pun nggak akan bisa menggantikan ketulusan kamu. Tapi aku harap kita akan selamanya begini. Baik-baik saja, saling support, meskipun orang-orang nggak suka sama kita."

     "Iya..."

     Jawaban pendek Mahesa tertahan di tenggorokan. Dia juga pengen ikutan nangis, tapi di laki-laki, Bro! Pantang nangis walaupun hati sangat miris. Pantang cengeng walaupun pikiran mulai oleng.

     "You are my only lovely best friend..." kata Mahesa sambil mengelus punggung Ara.

...* * * * *...

     Ara memulai perjalanannya dengan treking menyusuri hutan yang akan berujung pada pantai pasir putih.

     Vegetasi yang didominasi oleh pohon-pohon tinggi membuat perjalanan ini sedikit lega. Jika banyak perdu, mungkin akan menyulitkan langkah mereka.

     Langkah Mahesa yang mulai lunglai di belakang Ara membuat Ara berkali-kali memberikan hentakan ala prajurit untuk menggenjot semangatnya.

     "C'mon, Soldier! Langkahkan kakimu menantang badai! Angkat kepalamu menuju matahari! Bayangkan di depan ada es doger dan semangka dingin!"

     "Hiyaaaa...!!"

     Mahesa berlari melewati Ara sambil berteriak tak karuan. Antara sebal mendengar ledekan Ara atau ingin cepat-cepat mengakhiri perjalanan.

Ara tertawa sambil menyusul Mahesa.

     "Belok kanan!"

     Hamparan pasir putih telah terbentang di batas bayang-bayang vegetasi. Mahesa menjatuhkan lututnya sambil merangkak dramatis.

     "Akhirnya...sampai...oh Dewa Neptune."

     "Istirahat dulu di sini."

     Ara menurunkan carrier-nya lalu duduk di atas akar pohon. Dia meminum sebotol air mineral sambil menikmati semilir angin. Hembusan nafasnya terasa lega dibarengi senyum yang melebar di bibirnya.

     Ombak kecil sesekali menjemput pasir di pinggir pantai. Sunset yang sebentar lagi turun menambah romansa eksotisme. Alam memang tidak pernah berkhianat, dia menampakkan diri apa adanya. Tidak ada kebohongan, hanya kejujuran yang tersedia. Indah sekali.

     Mahesa meminum botol terakhirnya.

     "Sekarang aku tahu kenapa kamu belai-belain dateng ke sini, Ra."

     "Beautiful, right?"

     Ara melepas sepatu kemudian berlari menjejaki butiran pasir yang halus sambil teriak-teriak kegirangan. Mahesa tertawa melihat sahabatnya sebebas itu berekspresi. Pemandangan ini lebih indah dari sunset manapun. Senyum Ara yang mengembang tanpa beban itu...adalah candu yang membuat Mahesa berkali-kali jatuh hati. Bukan jatuh cinta lagi.

     Ara mendirikan tenda dibantu oleh Mahesa sebelum gelap. Tenda dengan dua kabin terpisah.

     "Kamu biasa ke mana-mana tidur di tenda kalau lagi traveling?"

     "Yap. Lebih murah daripada hotel. Tapi biasanya aku nggak pakai yang ini, aku pakai yang single."

     Mahesa manggut-manggut.

     "Kalau kamu merasa nggak nyaman, kamu bisa tidur di hotel tuh." Ara menunjuk beberapa bangunan bertingkat di atas bukit.

     Mahesa meringis sambil menancapkan pasak terakhir. Membayangkan harus naik naik ke puncak bukit aja sudah bikin lutut Mahesa serasa penuaan dini. Tiba-tiba manula.

     "Yap. Sudah beres. Makasih, Ma Pren. Sekarang, kita masak sesuatu untuk makan. Besok baru kita coba makanan di dekat-dekat sini." kata Ara sambil menepuk-nepuk pundak Mahesa.

     Mahesa menelentangkan punggungnya di pasir. Sunset benar-benar sudah turun sekarang. Hatinya terasa hangat oleh jingga mentari yang merona ingin pamit.

     Ara menyusul Mahesa di sebelahnya. Memandang langit yang menyuguhkan kharismanya sebelum dikuasai kegelapan. Menebarkan daulat untuk manusia agar tetap bertahan dalam cahaya meskipun sebentar lagi digantikan hitam pekat malam.

     Ara menoleh Mahesa yang tiba-tiba anteng. Sahabatnya itu ternyata sudah memejamkan mata. Ara berbisik sambil tersenyum.

     "Segitu lelahnya kamu sampai tidur di sini? Makanya kalau dibilangin jangan ikut ya jangan ikut. Nanti kalau kamu sakit, aku yang repot. Satu dunia belain kamu, jorokin aku. Issh..."

     Ara mengambil sleeping bag dan membuka resletingnya untuk dijadikan selimut. Dia membentangkannya di atas badan Mahesa sepelan mungkin.

     "Sweet dream, Ma Lovely Pren."

...* * * * *...

     Devin mengambil sepiring roti bakar buatan Saka lalu duduk di karpet bulu ruang tengah penginapan rumah berdinding kayu yang mereka sewa. Devin menyalakan ipad lalu menggeser halaman demi halaman kumpulan cerita The Dreamer.

     Sesekali Saka masih memijit pelipisnya sambil mengernyit. Akhir-akhir ini Saka sering sakit kepala tiba-tiba. Dia merasa bodoh sudah mencoba melampiaskan kemarahan dan kebuntuannya pada kebiasaan masa lalu.

     Devin mengunyah roti bakar sesuap lalu membaca kesimpulan yang dia rangkum sementara.

     "Ada cerita tentang pelecehan seksual dan percobaan pembunuhan di dalam cerita ini. Tapi pelakunya bebas dari tuduhan, bebas berkeliaran, tidak bisa dilaporkan karena kurangnya bukti."

     Saka menyusul Devin duduk di sofa ruang tengah. Dia menyeruput kopi latte buatannya.

     "Nama-nama tokoh dan tempat di situ pasti sudah disamarkan, kan? Dia seorang public figure. Kamu pernah cocokin pada kasus nyata yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu?"

     "Ada. Tapi di take-down kilat. Menghilang dalam sekejap. Beberapa kanal yang mencoba re-upload atau menulis ulang semuanya juga lenyap. Tapi...ada satu yang tidak bisa dihilangkan."

     "Di mana?" tanya Saka.

     "Memori para korbannya."

     Saka tercenung. "Mereka lebih dari satu?"

     "Kalau cerita itu benar, ya. Ara tidak sendirian."

     Ada rasa nylekit di dalam dada Saka. Semakin sering dia memikirkan Ara, tubuhnya seolah bereaksi.

     "Kak, sumpah kalau memang penjahat dalam cerita itu benar-benar ada, aku pengen banget jeblosin dia ke penjara." Devin berkata sambil mengepalkan tangannya.

     "Aku juga sama, Vin. Tapi...aku memikirkan hal lain. Bagaimana kalau pelakunya bermunculan ketika film ini rilis? Penulisnya tidak mungkin menyembunyikan diri jika dia tidak takut. Sayangnya, Risty malah mengungkapkannya ke muka umum. Meskipun itu hanya golongan tertentu, tidak menyebutkan judul dan nama L.A, tapi aku..." Saka menggertakkan rahangnya, "...aku juga nggak mau Ara terus-terusan terpuruk. Film ini adalah apresiasi besar dari karyanya."

     "Selama tidak ada yang mengungkapkan tokoh-tokoh aslinya, dia masih aman."

     Saka menghela nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.

    "Kamu kurang tidur, Kak?" tanya Devin. "Lingkar matamu hitam gitu."

     "Aku sekarang takut untuk tidur, Vin."

     "Kenapa?"

     "Aku sering mimpi tapi tidak ingat apa yang aku impikan. Bangun-bangun badanku selalu pegel-pegel nggak bertenaga dan kepalaku sakit. Itu artinya aku mimpi buruk, kan? Kalau mimpi indah atau nggak mimpi sekalian, pasti aku bangun dengan perasaan bahagia dan seger di badan."

     "Tidurmu nggak berkualitas. Kebanyakan mikir sampai kebawa mimpi. Makanya aku bawa ke sini biar kamu bisa rileks."

     "Kamu ajak aku ke sini kan gara-gara ada promo diskon venue baru punya temen kamu."

     Devin nyengir sambil mengacungkan kedua jempolnya.

     "Kamu masih mikirin Ara? Kalau kamu manut rencanaku si seharusnya kamu ke sini sama dia." tanya Devin membelokkan topik pembicaraan.

     Saka terdiam. Dia memang pernah merasa bertemu dengan Ara tapi di mana dan kapan, memorinya samar-samar.

     Saka tidak bisa bercerita banyak tentang Risty pada Devin. Dia tahu langkahnya keliru tapi Saka merasa tidak dalam kendali dirinya sendiri. Demi menyelamatkan Ara, Saka rela melakukan apa saja.

     "Aku mengandalkanmu, Vin." akhirnya hanya kalimat itu yang bisa dia katakan untuk menutup pertanyaan Devin.

     "Detektif Devin siap membantu."

     Saka tersenyum. Dia kembali menyeruput kopi latte-nya sambil memandang jendela. Pemandangan di luar sangat indah. Langit biru bercampur semburat awan putih bertemu dengan laut dan pasir kecoklatan. Kombinasi yang sempurna.

     "Eh, ibu mana ya? Kok belum ikut sarapan." tanya Devin.

     Saka sontak bangun dari duduknya. "Aku cari. Mungkin jalan-jalan."

1
Sumringah Jelita
paket komplit
veraya: terima kasih atas apresiasinya 🥰🥰 🥰
total 1 replies
ian gomes
Keren abis, thor! Jangan berhenti menulis, ya!
veraya: Terima kasih supportnya, smangat lanjut 🥰🥰
total 1 replies
Shion Fujino
Lanjutkan ceritanya, jangan sampai aku ketinggalan!
veraya: Terima kasih dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!