WARNING ⚠️
Mengandung beberapa adegan kekerasan yang mungkin dapat memicu atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ethereal
30.>> Ethereal
Dering telepon membangunkan seseorang yang mulanya masih tertidur pulas.
Matanya mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam netranya.
Sinar mentari telah menembus jendela kamar yang gordennya tidak ditutup.
Perlahan ia mendudukkan tubuhnya dan menoleh ke samping. Di sana ada mahkluk tampan yang masih tertidur pulas. Wajahnya sangat damai saat tertidur, sangat berbeda jika sedang dalam mode sadar.
"Wajahnya polos banget waktu tidur, tapi kenapa pas bangun kayak singa, ya?" gumamnya. Dia Azalea Kananta.
Telepon di atas nakas yang terdapat di samping laki-laki itu kembali berbunyi.
Dengan ragu ia membangunkan laki-laki yang sekarang telah menjadi suaminya.
"Kak," panggilnya.
Karena tidak mendapat respon, ia memberanikan diri untuk menyentuh lengan laki-laki itu.
"Kak Agraven, ada yang nelepon."
"Biarin," jawabnya. Namun, mata masih terpejam rapat.
"Kak, ih! Siapa tau penting." Aza tidak berhenti begitu saja untuk membangunkan Agraven.
"Nggak ada yang penting selain Azananta," tuturnya dengan mata masih terpejam.
Mata Aza melotot kaget. Apa Agraven sedang mengigau?
"Kak Agra pasti ngelindur?"
Tidak mendapat jawaban. Berarti Agraven mengigau, pikir Aza.
Ponsel Agraven kembali berdering.
Dengan sedikit keberanian, Aza menggapai ponsel Agraven. Jantungnya pagi-pagi sudah maraton saat melewati tubuh Agraven di bawahnya.
Tangannya sedikit lagi sampai untuk menggapai ponsel Agraven. Namun, pinggangnya ditarik kuat oleh Agraven. Alhasil Aza jatuh di atas tubuh laki-laki itu.
"K-kak ...."
"Mau ngapain, hm?" Suara serak khas orang bangun tidur mengalun begitu saja di telinga Aza. Membuat detak jantungnya semakin menggila. Ditambah ditatap sedekat ini oleh Agraven.
"H-hp kamu bunyi dari tadi," jawab Aza gugup. Matanya berusaha menghindari tatapan lekat yang diberikan Agraven.
"Tatap saya."
Ya Tuhan! Aza harus bagaimana. Untuk sekedar menatap saja ia tidak berani.
"Kak, lepasin. Ini udah pagi, Aza mau--"
"Tatap saya, setelah itu baru dilepasin," potong Agraven. Bibirnya sedikit terangkat melihat kegugupan sang istri.
Aza menggelengkan kepalanya dengan cepat. Matanya terpejam kuat.
"Oke. Kayak gini terus," pungkas Agraven. Tangannya menarik tengkuk Aza, sehingga wajah Aza tersembunyi di ceruk lehernya.
Aza ingin memberontak, tapi tangan Agraven memeluk erat pinggangnya, sedangkan tangan laki-laki itu mengusap rambutnya.
Aza mulai kehabisan napas, sementara usapan yang diberikan Agraven di rambutnya sudah berhenti. Deru napas mulai teratur menyapu kulit leher Aza.
Dengan perlahan Aza mengangkat tubuhnya dari atas Agraven.
Syukurlah
Agraven sudah kembali tertidur. Aza bisa bernapas dengan lega.
Aza masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dengan urusan di kamar mandi, ia kembali keluar.
Ia segera mencari pakaian yang sudah disiapkan Agraven untuknya. Satu lemari sudah terisi penuh dengan pakaiannya.
Aza berdecak kagum melihatnya. Agraven seolah-olah tahu dengan selera pakaian Aza. Ia menyukai dress. Dan sebagian besar di lemari itu berupa dress selutut dengan warna pastel seperti yang aza sukai.
Pandangan jatuh ke salah satu t-shirt oversize berwarna hitam. Aza tertarik untuk memakainya. Dipilihnya salah satu celana jeans selutut. Setelah itu ia kembali ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.
Aza kembali keluar dengan pakaian yang tadi ia pilih, tidak lupa rambutnya ia cepol asal.
Agraven masih tertidur. Aza memperhatikan wajah suaminya sejenak. Ia berani hanya saat laki-laki itu tertidur. Terlihat jinak.
"Kalo bangun kayak singa kelaparan. Dasar suami mesum," kata Aza.
"Ngomong apa, hm?" Aza terkejut. Tidak menyangka perkataannya didengar oleh Agraven. Mata cowok itu mulai terbuka.
Tangannya melipat di bawah kepala sambil menunggu ucapan Aza selanjutnya.
"Nggak ngomong apa-apa," jawab Aza berusaha santai.
"Ngapain berdiri di situ? Sini!"
"Enggak," tolak Aza.
"Nggak ada penolakan, Azananta!" tekan Agraven.
"Aza nggak suka dipaksa, Kak Agra!" balas Aza mulai berani menjawab.
"Kalo kamu nurut, saya nggak akan maksa."
"Ya Aza nggak mau nurut kalo kak Agra mesum," jawab Aza menunduk.
Alis Agraven terangkat. "Mesum?"
Perasaan belum mesum, pikir Agraven.
Ponsel Agraven kembali berbunyi.
"Hallo, Kek."
"Cucu mantu udah bangun?"
"Udah dari tadi," jawab Agraven.
"Tadi malam kamu nggak main kasar, 'kan? Aza masih hamil anak kamu, awas aja mainnya kasar!"
"Main apasih, Kek?" tanya Agraven pura-pura tidak tau maksud sang Kakek.
"Nggak usah sok polos kamu!"
Agraven terkekeh. "Maaf, Kek. Sebenarnya Aza belum hamil. Agra bilang itu supaya kakek izinin Agra cepat nikah," ungkapnya santai.
"APA?"
Agraven mengusap telinganya. Suara sang kakek bisa merusak gendang telinganya.
"Berarti kakek gagal punya cicit?"
"Bukan gagal, tapi belum, Kek. Tenang aja, nanti Agra buat lagi," jawabnya terkekeh.
"Aih, dasar anak ini." Setelah mengatakan itu, Alferd langsung mematikan sambungan teleponnya.
"Denger nggak tadi?" tanya Agraven.
Aza menggeleng. Ia mendengarnya, tapi ia tidak paham apa yang dimaksud.
"Kakek mau cicit."
"Hah?
Ponsel Agraven kembali berbunyi.
Kali ini bukan kakeknya, tapi kakaknya.
"Iya?"
"Rav, kakak pingin ketemu."
"Sekarang, hm?"
"Iya, sekarang banget. Aku mau bilang sesuatu."
Mendengar suara Ludira yang bergetar menahan tangis, membuat Agraven khawatir. Jika kakaknya sudah begini, pasti ada sesuatu yang terjadi.
Tanpa menunggu ucapan selanjutnya, Agraven langsung mematikan sambungan telepon. Ia segera turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi dengan tergesa-gesa.
Aza hanya mengangkat bahunya tidak tahu. Ia keluar dari kamar untuk membuatkan sarapan. Sudah lama ia tidak memasak.
***
"Udah saya bilang jangan injakan kaki kamu dapur atau dapur ini jadi rata, Azananta!"
Suara Agraven mengagetkan Aza yang sedang menggoreng telur mata sapi kesukaannya.
"Kenapa? Nanti Aza ganti bahan-bahannya. Aza masih punya sedikit tabungan. Aza cuma minjem peralatannya, nggak berniat ngerusak peralatan--"
"Bukan karena itu! Nanti kalo terjadi sesuatu sama kamu gimana?" potong Agraven sedikit meninggikan suaranya.
"A-Aza cuma masak--"
"Saya nggak mau tau. Sekarang ke depan!" Dengan pasrah Aza menurut karena Agraven menarik tangannya. Sebelum itu ia memberi isyarat kepada salah satu pembantu untuk mematikan kompor.
"Suamimu mau keluar. Jangan kerja, jangan ke dapur, jangan masuk ke ruangan itu, jangan keluar rumah, jangan ke taman belakang. Kamu mengerti, Azananta?" peringat Agraven.
Aza hanya bisa menampilkan wajah tersiksanya.
"Terus Aza ngapain, Kak? Aza pasti bosan. Please, izinin Aza ke dapur. Aza suka masak. Jangan halangi Aza, ya?" mohon Aza dengan mata yang berkaca-kaca.
Melihat Agraven hanya diam, Aza kembali menyuarakan keinginannya. "Kak ... Aza mohon ...." Tangannya menyatu di depan dada.
Merasa tidak tega, Agraven mendengus. Ia menarik tangan Aza agar mendekat ke arahnya.
Tangannya memegang pundak sang istri. "Hati-hati, jangan luka," peringatnya.
Mendengar itu Aza tersenyum senang. "Berarti boleh?"
"Hmm."
"Makasih, Kak Gagak!" Karena terlalu senang, ia refleks memeluk Agraven.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan Agraven membalas pelukan Aza. Kapan lagi Aza mau memeluknya duluan. Sesekali ia mengecup puncak kepala Aza.
Seolah tersadar, Aza menarik kembali tumbuhnya. "Eh, maaf, Kak, Aza kesenangan, jadi refleks meluk kamu," ucap Aza menunduk malu.
Agraven sangat gemas melihat perempuan itu ketika sedang malu. Wajahnya bertambah lucu saat rona merah itu menghiasi pipinya.
"Saya sekarang udah jadi suami kamu. Mau peluk, cium, bahkan yang lebih, itu hak kamu ...." Agraven menghentikan ucapannya.
"Begitupun dengan saya," bisiknya.
"Hah?"
Cup
"Saya pergi dulu. Hati-hati masaknya, jangan sampai luka. Kalo itu terjadi, luka di tubuh kamu akan saya tambah," ancamnya.
Aza mengabaikan ancaman dari Agraven, ia masih terpaku karena Agraven mengecup lembut bibirnya tanpa izin terlebih dahulu.
"Kok manis," gumam Aza.
To be continue....