Takdir seakan mempermainkan kehidupan Lintang Arjuna, ia yang dulu harus merelakan Danuar Anggara, kekasihnya untuk menikahi Libra, sang kakak, kini ia harus terlibat hubungan kembali dengan pria di masa lalunya.
Awalnya Lintang pikir Danuar datang menawarkan sejuta harapan dan cinta terpendam. Namun, siapa sangka Danuar justru kembali dengan misi membalas dendam atas rasa sakit yang Lintang torehkan di masa lampau.
Hari-hari bersama Danuar begitu menyesakkan. Dia bukan sekadar istri di atas kertas, dia adalah pengasuh kedua anak kembar Danuar yang harus selalu menuruti perintahnya tanpa dihargai sedikitpun.
Hingga akhirnya Lintang begitu sakit hati dan tidak tahan oleh perbuatan Danuar yang telah membuatnya kehilangan pekerjaan serta merasa seperti istri murahan, ia memutuskan untuk diam-diam pergi dari kehidupan Danuar, saat itulah Danuar menyadari kesalahannya terhadap sang istri.
Bagaimana Kehidupan mereka ke depannya? Apakah ada kata damai atau justru perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Akting
Beberapa hari kemudian, ketika kami kembali ke kota aku langsung pergi ke kantor setelah menitipkan anak-anak pada pengasuhnya.
"Baik-baik ya, Sayang." Aku menoel hidung kedua bayi mungil lalu mengecupnya satu-satu. "Kalau ada apa-apa hubungi saya ya, Mbak."
Wanita yang baru selesai memandikan kedua bayi itu mengangguk. "Hati-hati Mbak Lintang," pesannya dan aku mengangguk kecil dengan senyuman tipis. Setelah itu aku berbalik dan pergi.
Saat menuruni tangga aku melihat jam di ponselku lalu memasukkan benda pipih ke dalam tas dengan tergesa-gesa. Saking terburu-buru aku sampai tidak sengaja menabrak tubuh Mas Danu.
"Sial!" rutukku tetapi sama sekali tidak ingin menghentikan langkah apalagi meminta maaf, sebab sejak aku mengatakan Mas Danu penuh kepalsuan aku tidak lagi bicara dengannya. Jika dia mengajakku bicara aku hanya menjawab dengan anggukan ataupun menggeleng.
Sampai di lantai satu aku berlari keluar rumah. Taksi online sudah standby di depan rumah karena aku sudah memesan sedari tadi. Sudah seminggu aku tidak masuk kantor dan ini hari pertama kembali masuk. Kalau sampai datang terlambat bukan hanya akan mendapatkan teguran tetapi posisiku bisa terancam lengser.
Di depan perusahaan tempatku bekerja Dita melambaikan tangan sambil meneriaki namaku hingga membuat para karyawan yang lewat kompak menoleh ke arahku. Gadis itu memang sering tidak tahu tempat, selalu heboh dimanapun berada.
"Hai, selamat datang kembali Lintang." Aku menoleh, Pak Samuel berdiri di belakangku seraya memamerkan senyuman manis.
"Hai, Pak!" Aku membalas dengan senyuman yang hanya bertahan sesaat karena langsung tersadar dengan perbuatannya bersama Mas Danu waktu di desa.
"Aku minta maaf atas kejadian waktu itu." Wajahnya berubah canggung seketika melihat tatapan datarku.
Aku mengangguk dan berkata, "Saya berharap suatu saat Pak Samuel bisa menjelaskan perihal–"
Belum sempat menyelesaikan kalimatku, Bu CEO memanggil Pak Samuel. Pria itu langsung melenggang pergi.
"Yuk, sudah hampir masuk jam kerja." Dita pun meraih tanganku dan membawaku segera pergi.
"Bagaiman hubunganmu dengan suamimu?"
"Sst jangan keras-keras nanti didengar yang lain," ucapku memperingatkan Dita.
"Memang kenapa sih? Apa salah ya aku nanya begitu?" Dita cemberut tapi ekspresinya malah terlihat lucu.
"Mungkin pernikahan kami tidak akan bertahan lama." Dita menutup mulut saat mendengar jawabanku.
"Maksudnya?"
"Tinggal hanya menunggu waktu, mungkin kalau si kembar besaran dikit Mas Danu mau menceraikan aku. Untuk saat ini dia belum mau melepaskan diriku."
Dita menganga mendengar jawabanku. "Maksudnya, kamu nggak bahagia gitu sama Danu?"
Aku mengangguk lemah.
"Astaga Lintang! Kalau begitu kenapa kamu mau sih kawin sama tuh laki?" Dita menggeleng tidak percaya.
"Nikah kali, bukan kawin." Aku mengoreksi ucapan Dita.
"Ya nikah, tapi sudah kawin belum?" Gadis itu memainkan alisnya.
Aku langsung menyentil kening Dita. "Nih anak kadang-kadang ya," ucapku geram bercampur gemas. Dita tertawa renyah.
Namun kemudian, tampang polosnya berubah serius. "Serius Lintang kamu belum disentuh oleh Danu?" Dita menatap mataku tak berkedip.
"Apa sih tanya begitu?" kesalku.
"Please jawab yang benar!" Dita seperti anak kecil sedang merayu orang tuanya. Kembali aku menunjukkan gelengan kepala.
"Serius!" pekiknya sambil melotot tajam.
"Sst! Dibilangin jangan keras-keras!" omelku.
"Sorry, aku kaget banget, Masa sih kamu masih perawan, bukannya dia dulu cinta mati ya sama kamu? Masa iya sampai sekarang nganggurin kamu?" Dita masih saja tidak percaya. Orang-orang melirik ke arah kami.
"Dia cuma mau ada yang rawat anaknya dan kebetulan orang tua kami malah jodohin kami berdua. Dulu aku pikir ini inisiatif Mas Danu makanya aku terima saja meskipun sedikit terpaksa, tapi ternyata nggak, dia benci dengan pernikahan ini." Ketika menceritakan ini rasanya hatiku terbelah dua.
"Cerai aja deh kalau kamu nggak bahagia."
Aku terdiam sejenak, sebelum Dita memberikan saran aku sudah terlebih dahulu meminta dan Mas Danu tidak mengizinkan. Kadang aku merasa terjebak dalam pernikahan ini. Ibu ... andai ibu tahu bagaimana pernikahan kami, pasti ibu menyesal telah memaksaku kembali pada Mas Danu, tapi tidak apa-apa yang penting sebelum ibu pergi Lintang sudah memenuhi permintaan ibu.
"Sebelum pergi, ibumu berpesan agar kamu menjadi istri yang shalihah, dia ingin melihatmu bahagia bersama Danu dan anak-anak kalian." Pesan ayah ketika kami pamit kembali ke kota membuat langkahku terasa berat, terutama saat aku melihat sekilas senyum licik di bibir Mas Danu.
"Lah malah merenung lagi. Aku masuk ruanganku dulu ya, bye!" Dita masuk ke ruangan divisinya sedangkan aku langsung tersentak kaget. Lalu aku mempercepat langkah menuju ruanganku sendiri.
Sore hari beberapa temanku di divisi sebelumnya memintaku untuk mentraktir mereka atas naiknya jabatanku. Sebab tidak ingin mereka kecewa dan menganggap melupakan mereka, aku setuju saja. Lagipula kapan lagi bisa berbicara seru dengan mereka lagi karena ruangan kami sudah berbeda. Membuat orang lain senang juga membuat hatiku bahagia.
Sore hari setelah memastikan keadaan kedua bayi tidak ada masalah, kami langsung menuju tempat yang sudah kami tentukan.
"Benar ya Lintang ditraktir, nanti kamu malah kabur," ucap Aksan salah satu teman kantor.
"Iya ini restoran loh, uang kami nggak cukup bayar beda dengan di kantin bisa kasbon," ucap Ayu lalu terkekeh kecil.
"Tenang Lintang nggak bakal begitu," ujar Dita menyakinkan.
Kami pun memesan makanan bersama. Ketika kami menikmati makanan aku melihat Dita menatap ke depan dengan wajah tegang.
"Ada apa sih, kepedesan?" tanyaku tetapi Dita malah menggeleng dengan wajah pucat.
"Sakit perut?" tebakku sementara Aksan dan Ayu fokus menyantap makanan.
Dita menggeleng lalu berkata. "Tuh Lintang coba lihat cowok ganteng yang pernah godain Kita dulu, bekerja di sini ternyata." Dita menunjuk seorang pria untuk mengalihkan perhatianku.
Sayangnya sudah terlambat. Aku sudah melihat Mas Danu berjalan dengan menggandeng seorang perempuan bahkan perempuan itu bergelayut manja di lengan Mas Danu. Aku membisu, tubuhku membeku, hati yang retak kini seolah hancur berkeping-keping.
"Aku ke toilet dulu," pamitku pada ketiga temanku. Tidak ingin terlalu lama melihat kemesraan Mas Danu bersama orang lain.
Ketika orang yang berada di meja kami hanya Dita yang nampak tegang sedangkan yang lainnya hanya mengangguk cepat sebab tidak paham apa yang tengah terjadi padaku.
Aku melangkah cepat menuju toilet. Namun, sebelum menggapai tempat itu aku malah berpapasan kembali dengan Mas Danu.
"Lintang, ngapain kamu di sini?" tanya Mas Danu bersamaan dengan itu ada yang menyentuh tanganku dan menggenggamnya. Aku menoleh dan mendapati Aksan tersenyum padaku. Ketika aku hendak melayangkan protes dia memberikan kode dengan matanya hingga aku mengurungkan niatku untuk marah.
"Ya ampun Sayang! Ini kan toilet pria, mari aku antar ke toilet wanita."
"Maaf kami mau lewat, jangan halangi jalan kami!" Kali ini Aksan bicara pada Mas Danu seraya menepuk pundaknya. Aku melihat Mas Danu meradang, namun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Hanya saja udara sekitar berubah dingin.
"Siapa yang menyuruhmu bersikap seperti ini?!" tanyaku dengan tegas setelah jarak kami menjauh dari Mas Danu.
"Dita, dia bilang kamu akan berterima kasih padaku atas semua ini. Semoga saja kamu mau bagi-bagi nanti pas gajian," jawab Aksan cengengesan.
"Oh itu jelas," kataku membuat bola mata Aksan berbinar-binar.
"Bagi-bagi penderitaan," lanjutku kemudian meninggalkan pria ini yang langsung membeku seperti halnya Mas Danu.
"Terima kasih sudah menjadi kompor semoga umpannya kepanasan," ucapku membatin.
*Tolong ya teman-teman kalau bisa jangan lupa like di setiap babnya agar retensi tidak hancur, dan kalau ada waktu tolong rate bintang 5 nya juga. Terima kasih sebelumnya dan pada pembaca yang sudah melakukannya.*🙏
Samuel kamu kenapa apa ada rahasia antara kamu dengan libra Samapi kamu sedendam itu ke Danu 🤔
walaupun cinta mati, tapi lintang juga nggak kuat kalau terus-terusan disakiti begitu...