Naik Ranjang Dengan Mantan
Semesta seakan mempunyai cara tersendiri untuk menarik kembali diriku yang hampir keluar dari garis takdir-Nya. Dia yang pernah menjadi mantan kekasihku, harus kembali bersama dalam ikatan sakral pernikahan penuh keterpaksaan.
Argh! Entah aku harus bagaimana? Rasanya, aku ingin berteriak saja melihat ekspresinya yang masam di sepanjang acara pernikahan kami, bahkan tak ada sepatah katapun yang meluncur dari bibirnya kecuali hanya kalimat ijab di depan penghulu.
"Apakah kau senang dengan pernikahan ini?" tanyanya setelah kami diantar ke kamar pengantin. Kalimatnya lebih ke arah satire dibandingkan kalimat tanya. Senyum yang terukir bukan lagi senyum manis, tapi pahit yang kurasakan.
Aku diam, tidak tahu harus menjawab apa. Jika dikatakan senang, tidak dapat aku pungkiri rasa itu memang ada karena sejujurnya aku masih sangat mencintainya. Namun, rasa senang ini tidak melebihi rasa sedih yang kurasakan.
Senang karena bisa memenuhi amanat terakhir kakak perempuanku untuk menjaga kedua putri kembarnya pasca ia tidak bisa lagi menatap indahnya dunia. Sedih karena telah kehilangan kakak tercinta yang meninggalkan kedua putri kembar untuk selamanya. Apalagi jika melihat tatapan Mas Danu yang penuh kebencian terhadapku, hati ini bagaikan tersayat sembilu.
"Jangan kau pikir kau bisa menggantikan posisi kakakmu di hatiku! Kau salah jika berpikiran seperti itu." Dia tersenyum lagi, senyum yang seakan menghujam jantungku.
Aku tahu pernah salah padanya, tapi pantaskah dia dendam seperti itu? Bukankah seharusnya dia bersyukur karena aku memberikan waktu baginya untuk mengecap bahagia dengan kakakku meskipun pada akhirnya dia meninggalkan Mas Danu juga? Ah Mas Danu, tidakkah kau tahu bahwa setiap malam aku menangis melihat kalian tertawa bersama?
Hingga pada suatu ketika, aku tidak tahan dan meninggalkan rumah dengan alasan ingin tinggal di kontrakan yang dekat dengan kantorku bekerja. Padahal aku sakit melihat kemesraan keduanya.
"Aku tidur di sofa, kau tidurlah di sini." Mas Danu meraih selimut dan membawanya ke arah sofa. Aku menghela napas berat, kecewa bukan karena dia tidak mau menyentuhku di malam pertama kami, tapi dia bahkan tidak mau berbagi ranjang denganku. Apakah tubuhku begitu menjijikkan baginya? Ah, sudahlah, terserah dia.
"Mas Danu tidak perlu tidur di sana. Mas tidur di ranjang saja, biar aku yang keluar." Aku ingin dia tidak merasa bahwa aku sedih dengan semua ini. Aku paham dia memang sengaja melakukan hal ini untuk menyakitiku, dan aku harus berpura-pura baik-baik saja.
Aku turun ke lantai bawah. Di sana, sanak saudara masih berkumpul, termasuk teman-temanku semasa sekolah.
"Wah pengantin baru masih belum tidur nih, jangan lupa minum jamu di malam pertama." Rafael, tetangga sekaligus teman kecilku terkekeh di akhir kalimatnya. Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mendekat ke arah para temanku yang bermain domino.
Rafael nampak mengerutkan kening dan menatapku heran. "Kenapa kamu duduk bersama kami para kaum lelaki?"
"Biarkan saja, aku ingin melihat kalian bermain. Sudah lama kita tidak bertemu, bukan?" Sebenarnya aku hanya ingin melupakan kesedihan dengan cara melihat tingkah mereka yang konyol.
"Iya juga, besok pasti kamu akan diboyong ke kota oleh Mas Danu," ujar Rafael lagi.
"Mungkin," kataku. Aku juga tidak tahu sebenarnya dia akan membawaku ke kota atau tidak. Tidak ada perjanjian sebelumnya. Jadi, ya lihat saja nanti.
"Eh, tapi apa kamu nggak dicari suamimu?" tanya Supri seraya menatapku dengan ekspresi tidak nyaman. Mungkin dia takut Mas Danu marah jika lebih memilih menemani para teman masa kecilku dibandingkan suamiku sendiri.
"Dia sudah tidur, mana mungkin mencariku?" Aku menatap Fahmi yang duduk berjongkok seperti orang ingin buang air besar. Wajahnya pun putih cemong karena diolesi bedak tabur bayi.
"Fahmi, kamu seperti topeng monyet, hahaha!" Aku tertawa renyah. Tawa ini sedikit melupakan beban kesedihan di hatiku.
"Biasa, dia sedang latihan, ingin konser di pasar, makanya kalah terus." Rafael menimpali dan Fahmi terlihat bersungut-sungut. "Aku nggak kalah tapi kalian curang," sanggah Fahmi tak terima.
Aku menatap semua teman-temanku dengan ekspresi tidak suka. "Kalian sudah sama-sama dewasa, jangan suka merundung sahabat sendiri. Sudah tahu kan mana yang baik dan tidak?" Sejak kecil Fahmi selalu dikerjai oleh teman-teman dan sekarang masih sama? Dia juga manusia yang ingin dihargai sama halnya dengan orang lain.
"Alah kamu jangan percaya dia, dia itu lebay," ucap Supri.
"Iya be-"
Kata-kata Rafael terhenti dan semua temanku menatap ke arah tangga dengan bibir terkatup rapat. Aku mengikuti arah pandangan mereka dan melihat Mas Danu menuruni tangga. Dia menatapku sekilas lalu tatapannya datar dan seolah tidak peduli padaku. Ya sudah, siapa juga yang peduli? Aku tersenyum kecut.
"Sebaiknya kamu kembali ke kamar, aku tidak mau Mas Danu salah paham pada kami," ujar Rafael.
"Iya, aku tidak mau dia seperti dulu memutuskan hubungan denganmu dan memilih kakakmu." Fahmi melirihkan ucapannya. Saat aku menatap, wajahnya nampak pucat.
"Maaf, bukan maksudku mengingatkanmu pada masa lalu." Raut bersalah nampak kentara di matanya.
"Never mind," ucapku seolah hatiku biasa saja.
Aku beranjak ke arah para wanita yang sedang membawakan makanan dan camilan pada orang-orang yang masih berkumpul di rumahku setelah acara pernikahan dan resepsinya selesai.
"Aku bantu Mbak," ucapku pada Mbak Naya seraya mengambil nampan. Sayangnya, dia dan yang lain tidak mengizinkanku.
"Pengantin baru nggak boleh ikut begadang, boleh begadang dengan suamimu di kamar. Sana kembali!"
"Tuh suamimu udah kembali ke atas."
Mereka mengusirku, aku cemberut dan akhirnya terpaksa kembali ke kamar. Saat ingin masuk ke kamar, ibuku menarik tangan dan membawaku ke kamar pengantin kami.
"Apa kamu lupa sudah menikah? Kamar pengantinmu di sini." Aku mendengus kesal dalam hati. Dengan langkah berat aku membuka pintu sedangkan ibuku sudah menuruni tangga dan sesekali masih melirik ke arahku.
"Kenapa kembali? Katanya mau tidur di luar, di kamar lain? Apa kamu mengharapkan malam pertama kita?" Saat sampai di pintu, nada suara dingin itu menyentuh pendengaranku.
Untuk sesaat aku terpaku, langkah kaki terasa semakin berat.
"Jangan harap!" tegasnya. Aku hanya tersenyum kecut.
"Aku menikahimu hanya karena ingin pengasuh anakku." Dia tersenyum menyeringai.
"Ayah dan ibu tidak mengizinkan aku membawa anak-anak pergi dari rumah ini. Jadi satu-satunya cara adalah menikahimu."
Jantungku seakan ingin meledak mendengarnya. Namun, aku berusaha bersikap setenang mungkin.
"Tenang saja, tujuan kita sama," ucapku. Aku tidak ingin dia melihatku seperti seorang pengemis cinta. Aku punya harga diri sebagai perempuan. Aku tidak ingin menjadi wanita hina hanya karena sebuah cinta.
Buktinya sudah lebih dari setahun dia meninggalkanku dan memilih kakakku, aku masih hidup dan baik-baik saja sampai saat ini. Memang dia pikir aku tidak bisa hidup tanpa dia?
"Kenapa masih berdiri di situ? Kau ingin mempraktekkan
kepiawaianmu dalam menggoda pria?" Suaranya bagar petir yang menyambar di siang terik. Sungguh tidak kusangka, dia tega menilaiku seperti itu.
"Maaf aku tidak tertarik merayu lelaki sepertimu," balasku,
kemudian terkekeh. Dia pikir dia siapa? Mau mempermalukanku? Jangan harap!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Siti Aminah
baru nyimak thor
2024-11-19
0
Yuliani Latif
ni karya pertama mu yg aku bc,Thor....smg ceritanya menarik
2024-10-20
0
Iges Satria
bakalan seru nih ceritanya /Heart/
2024-10-11
0