✰Rekomendasi Cerita "Introspeksi"✰
Nero, seorang pewaris perusahaan ternama, menikahi Aruna, gadis desa sederhana yang bekerja di perusahaannya. Cinta mereka diuji oleh keluarga Nero, terutama ibu tirinya, Regina, serta adik-adik tirinya, Amara dan Aron, yang memperlakukan Aruna seperti pembantu karena status sosialnya.
Meskipun Nero selalu membela Aruna dan menegaskan bahwa Aruna adalah istrinya, bukan pembantu, keluarganya tetap memandang rendah Aruna, terutama saat Nero tidak ada di rumah. Aruna yang penuh kesabaran dan Nero yang bertekad melindungi istrinya, bersama-sama berjuang menghadapi tekanan keluarga, membuktikan bahwa cinta mereka mampu bertahan di tengah rintangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
She's My Wife ꨄ
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Aruna terbangun di pagi hari ketiga mereka di villa, matahari belum sepenuhnya naik, dan udara pagi yang segar terasa menyusup dari jendela kamar yang setengah terbuka. Ia menoleh ke sisi tempat tidur, tetapi mendapati bahwa Nero tidak lagi ada di sana. Rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran menggerakkan tubuhnya untuk segera bangkit. “Ke mana dia pergi pagi-pagi begini?” batinnya, sambil berjalan keluar kamar, mencari suaminya.
Aruna tersenyum, "Nero" gimana nya.
Ketika sampai di dapur, Aruna mendapati Nero sedang berkutat dengan peralatan memasak. Ia mencoba memecahkan telur dengan hati-hati, meskipun beberapa cangkang kecil jatuh ke wajan. Aruna tersenyum kecil, tak ingin mengganggu, tetapi tak kuasa juga melihat ekspresi serius suaminya yang sepertinya kesulitan.
“Apa yang sedang kamu lakukan, Sayang?” tanya Aruna sambil menahan tawa.
Nero tersentak kaget, hampir menjatuhkan spatula yang dipegangnya. Ia berbalik, wajahnya memerah. “Aruna! Aku… aku mau buatkan sarapan untukmu. Tapi sepertinya kau keburu bangun lagi,” ucapnya sambil menyengir.
Aruna melangkah mendekat, melihat wajan berisi telur yang terlihat sedikit gosong di tepinya. “Kamu niat sekali, ya. Tapi lihat, telur ceploknya sudah setengah hangus. Biar aku bantu, ya,” katanya lembut.
Nero mengangguk, lega karena Aruna tak menertawakannya. Bersama-sama, mereka memutuskan untuk memasak nasi goreng sederhana, yang lebih kaya gizi daripada hanya sekadar telur ceplok. Nero mengikuti arahan Aruna dengan teliti, mencicipi sesekali dan mencampurkan bahan-bahan di wajan sesuai arahan istrinya.
“Aku benar-benar beruntung memilikimu,” ujar Nero sambil memandang Aruna dengan penuh syukur.
“Begitu juga aku,” balas Aruna, matanya bersinar. Mereka bertukar pandang sejenak, sebelum Aruna kembali fokus mengaduk nasi goreng yang hampir matang.
Setelah beberapa menit, aroma nasi goreng yang lezat memenuhi ruangan. Mereka duduk di meja makan, menikmati sarapan bersama diiringi canda tawa dan obrolan ringan. Momen pagi yang tenang dan sederhana ini terasa begitu istimewa bagi keduanya. Setiap suapan yang mereka bagi seperti memperkuat ikatan mereka.
Saat mereka selesai sarapan dan membereskan piring bersama, Nero menggenggam tangan Aruna. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Aku ingin menikmati pagi ini bersamamu sebelum semua kesibukan menghampiri kita lagi,” ujarnya dengan senyum hangat.
Aruna mengangguk setuju. Mereka pun keluar dari villa, berjalan-jalan menyusuri taman kecil di sekitar tempat mereka menginap. Langit pagi yang biru, udara segar, dan kicauan burung-burung menambah suasana romantis. Nero tak pernah melepaskan tangan Aruna, seakan ingin memastikan bahwa istrinya tetap ada di sisinya.
Setelah cukup lama menikmati keindahan alam di pagi hari, Nero dan Aruna kembali ke villa dengan langkah santai, menikmati setiap momen kebersamaan yang langka ini. Di dalam kamar, mereka saling memandang dalam keheningan yang terasa hangat. Nero duduk di tepi tempat tidur, lalu menyisirkan jarinya perlahan di rambut Aruna yang halus.
“Aku selalu ingin merasakan pagi seperti ini bersamamu,” ucap Nero pelan sambil tersenyum. “Bersamamu, dunia terasa begitu tenang.”
Aruna tersenyum, hatinya bergetar mendengar ketulusan dalam suara suaminya. “Aku juga merasa begitu. Aku merasa... seperti berada di tempat yang paling aman saat bersamamu.”
Nero mengangguk, lalu mengecup kening Aruna lembut. “Kau tahu, aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan menemukan seseorang yang membuatku ingin memperbaiki banyak hal dalam hidupku. Kau membuatku menjadi lebih baik, Aruna.”
Mereka kemudian berjalan ke kamar mandi, saling menjaga pandangan yang penuh cinta. Di bawah pancuran air hangat, Nero meraih tangan Aruna, menggenggamnya dengan lembut.
Nero dengan penuh kasih membantu Aruna mengoleskan sabun di bahunya, sementara Aruna melakukan hal yang sama pada Nero. Mereka saling merasakan kebahagiaan yang murni, penuh cinta dan kehangatan.
Setelah mandi, mereka duduk di ruang tamu, saling mengoleskan sunscreen agar kulit mereka tetap terjaga. Sesekali, Nero menggoda Aruna dengan mencubit pipinya atau menyentuh hidungnya dengan lembut.
“Siapa yang akan bilang kalau suamiku ini sangat perhatian?” Aruna menggoda sambil tertawa kecil.
“Yah, aku memang hanya perhatian pada istri cantikku saja,” balas Nero sambil mencium kening Aruna.
Namun, di sela-sela tawa dan kehangatan itu, Aruna tiba-tiba terdiam. Ada kekhawatiran yang menghantui pikirannya. “Nero,” panggilnya pelan.
“Iya, Sayang?” jawab Nero, memperhatikan perubahan ekspresi istrinya.
“Aku… aku sedikit khawatir,” ucap Aruna ragu. “Apa yang akan terjadi kalau Ibu Regina tahu kita sudah menikah? Aku tahu beliau pasti tidak akan senang. Aku takut ini akan mempersulit hidupmu, atau mungkin bahkan akan membuat ibu semakin membenciku.”
Nero meraih tangan Aruna, menenangkannya. “Dengar, Aruna,” ujarnya lembut namun tegas. “Aku tahu Ibuku mungkin akan keberatan, bahkan mungkin mencoba memisahkan kita lagi. Tapi aku sudah berjanji, aku akan selalu melindungi mu, apa pun yang terjadi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak kebahagiaan kita.”
Aruna menatap Nero dengan mata yang berkaca-kaca. “Tapi aku tidak ingin membuat hubunganmu dengan keluargamu menjadi buruk, Nero. Aku tidak ingin menjadi penyebab keretakan antara kamu dan ibumu.”
Nero menggeleng. “Aruna, ibu mungkin tidak akan pernah setuju. Tapi aku tidak menikah untuk menyenangkan orang lain. Aku menikah karena aku mencintaimu, karena aku tahu bahwa bersamamu lah aku akan menemukan kebahagiaan yang sejati. Jadi, jangan khawatir. Aku akan menjaga kita.”
Mendengar kata-kata Nero, Aruna merasa lega. Ia meyakinkan dirinya bahwa bersama Nero, ia akan bisa melewati apa pun yang akan datang. Perlahan, ia tersenyum, lalu memeluk Nero dengan erat.
“Terima kasih, Nero. Terima kasih karena selalu ada untukku.”
Nero mengecup kening Aruna, lalu membalas pelukannya dengan erat. “Aku yang seharusnya berterima kasih karena kau menerima semua kekuranganku dan masih tetap memilih berada di sini, di sisiku.”
Mereka menghabiskan pagi itu dengan berciuman lembut, saling menyatakan cinta tanpa perlu berkata-kata. Bagi mereka, cinta adalah kebersamaan, perlindungan, dan saling memahami. Momen itu terasa begitu sempurna, dan mereka menyadari bahwa kebahagiaan sederhana seperti inilah yang akan mereka perjuangkan hingga akhir.
Hari-hari yang mereka lalui di villa menjadi kenangan yang tak terlupakan, penuh cinta dan ketulusan. Mereka tahu, saat kembali ke kehidupan yang penuh tekanan dan tuntutan keluarga, terutama dari Regina, mereka akan menghadapi rintangan yang lebih besar. Namun, mereka memilih untuk menghadapi semua itu dengan keyakinan bahwa cinta mereka akan cukup kuat untuk mengatasi setiap badai yang datang.
kamu harus coba seblak sama cilok
Bibi doakan Dara biar temu jodoh juga