Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25 : Prajurit Berparas Tampan
Setelah percakapan yang cukup panjang dengan Fransiskus dan urusan perdagangannya beres, Sagara merasa tubuhnya mulai melemah. Kantuk yang semula ditahannya perlahan menyergap. Tanpa perlu banyak berpikir, ia pergi meninggalkan Fransiskus, kemudian berjalan menuju kamarnya. Bukan kamar yang sebelumnya ia tempati di kediaman Adyatama, melainkan kamar di kediaman Morgans yang kini mulai terasa seperti rumah kedua baginya.
Pintu kamar itu ia tutup rapat-rapat, lalu kunci diputar perlahan. Setelah merasa cukup aman, Sagara berjalan ke arah ranjang. Tanpa berusaha merapikan apa pun, tubuhnya langsung terhempas di atas kasur empuk itu. Saat punggungnya menyentuh permukaan kasur, tubuhnya terasa tenggelam dalam kenyamanan. Lelah dari perjalanan panjang dan malam tanpa tidur membuat kelopak matanya tertutup rapat seketika. Dalam hitungan detik, ia terlelap dalam tidur yang begitu pulas.
Keesokan harinya, diiringi embusan angin lembut yang menyusup melalui celah-celah jendela, Sagara terbangun lebih awal dari biasanya. Jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, namun semburat fajar sudah mulai mewarnai langit.
Sagara mengusap wajahnya yang masih sedikit kusut. Tubuhnya terasa segar meski belum sepenuhnya pulih dari kelelahan malam sebelumnya. Dengan langkah ringan, ia menuju ke kamar mandi, membasuh wajahnya menggunakan sabun cuci muka yang dibawanya dari dunia modern. Sabun itu, salah satu barang terbatas yang juga ia niatkan untuk diperdagangkan di dunia sihir ini, memberikan sensasi segar di wajahnya yang seolah membangunkan pikirannya yang masih mengantuk.
Cipratan air terakhir yang sejuk menenangkannya. Setelah selesai, Sagara menuju pintu balkon di kamar itu, membukanya dengan perlahan. Udara segar menyergap tubuhnya, menyapu kulit wajahnya dengan lembut. Tanpa pikir panjang, ia keluar ke balkon kamar, membiarkan dirinya sepenuhnya tenggelam dalam suasana pagi yang damai. Sembari memejamkan mata, dia menghirup udara dalam-dalam, merasakan setiap partikel sejuk yang masuk ke dalam paru-parunya. Udara di dunia ini memang terasa berbeda—lebih bersih, lebih sejuk, lebih murni daripada yang ia hirup di dunia modern. Tidak ada polusi, tidak ada kesibukan kota yang menggangu. Hanya ada kedamaian yang mengalir perlahan, menenangkan jiwa dan raga.
"Di sini, semuanya terasa begitu tenang," pikir Sagara. Ia tersenyum kecil, menikmati setiap detik yang berlalu di dunia ini. Tidak seperti dunia modern yang penuh dengan kesibukan tanpa henti. Dunia sihir ini memberinya perasaan nyaman, seolah menjadi tempat pelarian sempurna dari segala keruwetan hidup.
Sagara terus menikmati pemandangan pagi yang indah dari balkon kamarnya. Di kejauhan, matahari mulai menampakan keagungannya, memancarkan sinar keemasan yang menyelimuti seluruh area kediaman Morgans. Saat Sagara sedang menikmati momen itu, matanya menangkap sosok yang menarik perhatiannya. Di halaman kediaman Morgans, seorang pria tampak berlari santai, melakukan putaran di sekitar mansion besar itu. Sagara memperhatikannya lebih dekat dari balkon kamarnya. Langkah kaki pria itu mantap, teratur, dan tubuhnya yang tinggi tampak bergerak dengan ringan. Namun, sebelum Sagara bisa mengamatinya lebih lama, pria itu menghilang di balik bangunan, melewati titik buta dari pandangannya.
Sagara mengerutkan kening, mencoba mengingat siapa pria itu. Seketika, ingatan masa lalu muncul di benaknya. "Diego," bisiknya pelan. Ia ingat sekarang. Diego adalah salah satu prajurit lama keluarga Morgans yang baru saja kembali setelah mendengar kebangkitan keluarga Morgans, dan terutama setelah mengetahui munculnya Sagara, sang pewaris baru keluarga.
Diego memiliki tubuh yang tinggi, meski agak ramping. Sedikit atletis, meskipun tidak sebesar para prajurit keluarga yang lain. Namun, apa yang paling mencolok dari Diego adalah parasnya yang sangat tampan. Wajahnya memiliki kesempurnaan yang jarang ditemukan, sebuah tampilan yang, jujur saja, pernah membuat Sagara merasa iri saat mereka pertama kali bertemu. Tak heran jika kehadiran Diego sering kali menarik perhatian banyak orang, terutama para pelayan wanita yang bekerja di kediaman.
Sagara kembali ke kursinya yang ada di balkon, menariknya sedikit ke depan agar bisa duduk sambil menikmati suasana pagi yang sejuk. Dari sana, ia melihat Diego melewati halaman untuk kedua kalinya, masih berlari dengan kecepatan yang stabil. Namun, ketika Diego lewat untuk ketiga kalinya, Sagara menyadari bahwa langkah-langkahnya mulai melambat, napasnya tampak lebih berat, dan kelelahan sudah mulai terlihat di wajahnya. Namun, semangatnya untuk terus berlari masih terpancar jelas.
Sagara menghela napas, lalu mendadak teringat pada pelatihannya bersama Max dan Hendrikus. Meskipun bagi orang-orang di dunia sihir, pelatihan itu baru terjadi kemarin, akan tetapi bagi Sagara yang sudah bolak-balik ke dunia modern, rasanya sudah berhari-hari ia tak melakukan aktivitas fisik. Tubuhnya mulai terasa kaku, dan keinginannya untuk kembali berlatih semakin kuat.
"Sudah terlalu lama aku beristirahat." Sagara merasa tubuhnya perlu kembali ditempa. "Mungkin, ini saatnya aku kembali berlatih."
Dengan semangat yang mulai menyala, Sagara berdiri dari kursinya dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Ia segera mengganti pakaiannya, mengenakan baju latihan yang biasa ia gunakan saat berlatih dengan Max dan Hendrikus. Setiap lipatan kain terasa pas di tubuhnya, memberikan kenyamanan dan kebebasan untuk bergerak.
Perasaan antusias bercampur dengan sedikit gugup menghampiri Sagara. Hatinya berdebar-debar, tapi bukan karena takut, melainkan karena semangat yang meluap-luap. Dia sudah tidak sabar ingin segera memulai pelatihannya. Ia merasa bahwa setiap kali ia menggenggam pedang, dirinya menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, sebuah pemahaman dan peran yang penuh dengan kebijaksanaan.
Setelah bersiap, Sagara pun melangkah keluar dari kamarnya, menuruni tangga, dan berjalan menuju halaman belakang—tempat latihan para prajurit keluarga Morgans. Setiap langkah yang ia ambil dipenuhi dengan perasaan penuh harapan dan antusiasme. Sagara tahu, meskipun dia masih seorang pemula, perasaan memegang pedang, mendengar suara besi beradu, dan merasakan beratnya ayunan bilah itu memberinya kepuasan tersendiri.