Petualangan seorang putri dengan kekuatan membuat portal sinar ungu yang berakhir dengan tanggung jawab sebagai pengguna batu bintang bersama kawan-kawan barunya.
Nama dan Tempat adalah fiksi belaka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tenth_Soldier, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raguda, Gumblin & Yu Ginah
Sambil menikmati sarapan pagi di rumah nenek Kaayat, semua orang tampak sangat bersemangat, bahkan si kecil Qeva, hari itu neneknya memberi kesempatan dia melihat dunia luar lagi, katanya mereka akan naik burung raksasa yang diberi nama Raguda.
Sudah terbayang betapa senangnya terbang diantara awan-awan di atas langit.
"Yaaaaw...!"tanpa sadar Qeva berseru kegirangan membayangkan itu semua.
Labosi yang memperhatikan hubungan antara pengguna batu bintang generasi lama menyadari bahwa mereka tampak seperti saudara satu keluarga tiada perseteruan yang serius namun terlihat mesra, dia harus bisa seperti mereka.
Dia memandang Qeva yang masih kecil dan dia anggap bagai adiknya sendiri.
" Baiklah nanti kita akan jemput Sundek dulu di lapangan Babut." Kaayat memberitahu Kaisiepo.
" Kemarin aku merasa gemas dengan anak-anak itu, membereskan satu ular saja lama sekali. " celoteh Kaisiepo.
" Tapi gagasan mereka sudah bagus kalau menurutku, Masiak membangun benteng kuat yang tak bisa di tembus ular itu sekaligus membuat lubang yang dalam dengan kedalaman hampir sama dengan ketinggian tembok pengawas, Putri Tihu menjebak ular itu sewaktu lengah dan Jaka memberi pukulan apinya di saat terakhir." Lamaraeng berpendapat.
" Seharusnya berikan mereka kesempatan lebih lama agar benar-benar merasa tuntas telah mengalahkan ular raksasa itu," Nenek Kaayat ikut berpendapat sambil tersenyum.
" Dulu kita juga kacau kan?" tambah Nenek Kaayat lagi.
" Nah sekarang mereka pergi ke pulau dengan gunung berapi yang mengepul-kepulkan asap hitamnya ya? "
"Mana laporan Yu Ginah? " tanya Kaayat
" Kehkehkeh.. Yu Ginah masih mau membantu kita dia merasa hutang budi sebab Sundek sudah menyelamatkan keluarganya dulu, " Lamaraeng menerangkan.
" Belum ada berita terbaru dari Yu Ginah, tapi sebentar coba kita periksa dulu, " Kaisiepo mengeluarkan segulung kain batik kecil lalu dia hamparkan di meja.
Tak lama kain batik itu pun berubah tampilan motifnya menjadi seperti jendela dan seorang wanita paruh baya menengok dan membalas dengan lambaian tangan.
Yu Ginah adalah pengguna batu bintang berwarna tembaga, dia mampu memperlihatkan kejadian yang sedang terjadi pada yang lainnya melalui media kain batik atau apapun yang terbuat dari kapas.
Saat itu dia memberitahu kalau dia akan ke lapangan Babut dulu menemui Resi Sundek, dengan mengendarai Najar kuda hitam milik Resi Sundek. Dan kain batik itu pun berubah kembali seperti semula.
" Mudah-mudahan anak-anak itu selamat di perjalanan di manapun juga, " Nenek Kaayat berharap yang terbaik untuk kelompok putri Tihu dan kawan-kawannya.
" Baiklah, ayo kita segera naik Raguda dan menjemput Sundek. " Kaisiepo sudah beranjak dari duduknya.
" Jangan lupa bekal kita juga, Qeva? "
" Sudah Nek, ini aku bawa ", Qeva mulai bersemangat kembali. Berlima mereka memasuki bilik kayu, dan nenek Kaayat mengetuk langit-langit bilik itu tiga kali.
" Tok, tok, tok"...
Bilik itupun bergerak naik secara perlahan sampai menuju puncak pohon di tempat Raguda menunggu mereka, sudah tak terlihat ular bakarnya, dan tempat itu terlihat sudah bersih seperti sedia kala. Para peri bunga yang telah membersihkan tempat itu semalaman.
Nenek Kaayat melihat Raguda yang gagah perkasa bagai burung tunggangan dewa,
" Sebentar, Kaisiepo aku buat dulu jalinan dari rotan agar kita bisa berada di punggung Raguda lebih nyaman."
Nenek Kaayat menumbuhkan sulur-sulur rotan dan menjalin nya seperti berbentuk keranjang dan sulur pengunci pada perut dan dada Raguda, agar Raguda tak merasa sakit.
Pagar keranjang yang tak terlalu tinggi itu dia batasi dengan dua sulur yang melintang sebagai sandaran ataupun pegangan yang aman bagi penumpangnya.
" Baiklah silahkan naik!" seru Kaisiepo yang sudah duduk di keranjang bagian depan.
Labosi meloncat sambil berpegangan pada tepian keranjang dan duduk bersila di atas punggung Raguda, dia mengulurkan tangannya menyambut Qeva dan menariknya untuk duduk di sampingnya.
Qeva tampak malu-malu dan memerah pipinya. Nenek Kaayat memunculkan tangga kayu menuju keranjang di punggung Raguda, diikuti Lamaraeng.
Akhirnya pekikan burung Raguda terdengar begitu nyaring dan dia pun melompat turun sembari mengepakkan sayapnya yang besar dan akhirnya terbang tinggi sekali menuju pulau Waja menjemput Resi Sundek.
" Yaaawwww!!" jerit kesenangan Qeva menggema.
Sensasi berada di atas punggung gajah, benar-benar sesuatu yang baru bagi Andiek apalagi gajah yang ditunggangi nya itu berenang, meski kepala gajah berada di bawah air tapi belalai gajah yang menyembul ke permukaan air laut digunakan untuk mengatur nafas.
Membutuhkan waktu agak lama ketika gajah-gajah itu mendarat di pulau yang di tuju.
Gajah yang ditunggangi Jaka yang paling pertama sampai di pulau dengan gunung berapi yang mengepulkan asap hitam itu. Disusul Mawinei, Andiek, Bahri dan terakhir Tihu. Mereka pun turun dari punggung gajah dengan cara mereka masing-masing, sama seperti ketika mereka naik ke punggung gajah-gajah itu. Gerombolan gajah itu tidak mempedulikan kelima anak itu, di pulau itu mereka kemudian sibuk mencari tanaman nanas, yang tumbuh subur di pulau itu.
Tanpa kelima anak itu sadari sepasang mata berwarna kuning berukuran sangat besar mengintai mereka dari balik semak-semak. Lalu sepasang mata yang besar itu, yang ternyata adalah bangsa Gumblin berlari menuju ke sarangnya dia hendak memberitahu pada kelompoknya.
Tihu kemudian bertanya pada Jaka.
" Lalu apa pesan dari gurumu setelah kita sudah berada di pulau ini? "
" Dia bilang kita harus mencari sebuah gua di kaki gunung berapi itu". jawab Jaka sambil menunjuk ke arah gunung yang masih mengepulkan asap hitamnya.
" Perasaanku sangat tidak enak, kita seperti diintai banyak makhluk jahat", tiba-tiba Mawinei bicara.
" Coba aku periksa dulu wilayah ini dari udara", sambungnya sambil melayang ke atas meneliti sekitar tempat itu.
Mungkin karena gumblin berwarna hijau jadi agak sulit bagi Mawinei membedakan mana warna kulit dan mana warna daun-daun tumbuhan.
Yu Ginah sudah bertemu dengan Resi Sundek, melaporkan yang terjadi di Rembuba. Resi Sundek berterima kasih pada Yu Ginah yang sudi membantu mereka.
Tapi kali ini Resi Sundek melarangnya pergi lagi dia menyuruh Yu Ginah pulang ke Pasar Gungca. Sampai akhirnya sebuah bayangan besar melingkupi mereka berdua.
Keduanya mendongak ke atas melihat Raguda yang mencoba mendarat di lapangan Babut itu.
" Baiklah, Resi. Kalau begitu aku kembali dulu ke Gungca," kata Yu Ginah.
" Nanti aku akan kabari kembali jika masih membutuhkan kemampuanmu," Resi Sundek memberi hormat pada Yu Ginah.
Yu Ginah pun bergegas memacu Najar kuda hitam milik Resi Sundek menuju Gungca.
Dan setelah kepergian Yu Ginah, Raguda pun sudah mendarat di lapangan Babut.
Sundek tertegun melihat betapa besarnya ukuran burung itu, mungkinkah itu memang tunggangan Dewa Sinuw? Batinnya tak henti-henti mengagumi burung raksasa itu.
" Sundek cepatlah kau naik, aku sudah tak sabar melihat aksi anak-anak di pulau dengan gunung berapi yang setiap saat bisa meletus itu." panggil Kaisiepo.
Sundek pun tersenyum menghampiri burung raksasa itu, Raguda memandang Sundek dan menciap-ciap bagaikan anak ayam.
Ayo Thor ini request aku pengen novel ini jangan di tamatin dulu