Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ³⁰
Maha Prabu Airlangga pernah mengajarkan kepada Dewi Kili Suci—putrinya bahwa setiap perbuatan baik dan keinginan yang suci selalu mendapatkan tantangan dari roh jahat, sebab roh jahat tidak ingin manusia bersatu dengan pencipta-Nya. Bahkan tantangan dan musuh terbesar adalah diri sendiri, keegoisan, dan ketamakan. Itulah tantangan dan musuh yang harus di kalahkan manusia dengan cara melatih diri untuk hidup sederhana dan melawan keinginan nafsunya dengan menguatkan karakter diri dan membimbing diri menuju pedoman sang Ilahi.
-
Arik tersenyum simpul sambil menunggu parang yang di pegang oleh Condro Wongso dilepasnya.
“Aku hanya membela kebaikan yang dipilih Kak Mira, Paman. Bukan untuk durhaka kepadamu. Bukan juga untuk menghibur putrimu yang sedang terluka.”
Condro Wongso melepas parangnya selagi Miranda merespon ucapan Arik dengan lirikan tajam. Dari matanya Miranda tampak tak suka dengan ungkapan itu.
‘Aku tidak butuh badut sepertimu, Arik. Kamu terlalu tampan untuk dijadikan penghibur. Segitunya kamu ini.’ Miranda memanyunkan bibirnya.
Condro Wongso mengenali perangai putrinya di saat-saat seperti ini pun, dan atas nama karma buruk yang sedang menimpanya dia hanya dapat berkomentar, “Selagi kamu tidak menggunakan perasaanmu terlalu banyak, kamu dan Gio akan baik-baik saja, Mira!”
Miranda menggelengkan kepala untuk mengenyahkan ucapan itu. Dan anehnya dia tersenyum kemudian. “Perasaan itu mutlak adanya, Papa. Tidak bisa di kurangi, apalagi di cegah. Tapi sepertinya memang sampai di pengadilan negeri agama nasib kami.”
Condro Wongso mengembuskan napasnya. “Kekejamanku kepada musuh-musuh sudah menjadi cerita horor dan aku tidak bisa mengampuni semua yang menentangku sekalipun itu anakku sendiri!”
Miranda mengamatinya dengan hati mencelus. Wanita itu tahu, sepanjang karir Condro Wongso di dunia bisnis dan ilmu hitam. Ayahnya seperti kadal, acap kali berubah-ubah, dan ia tidak pernah bercanda. Seperti apa yang terjadi malam ini adalah bagian dari pertengkaran pribadi yang mengerikan. Condro Wongso tidak bisa menyayangi siapapun, termasuk darah dagingnya sendiri. Jika iya, dia akan menjadi sosok yang menyebalkan.
Miranda mengangguk perlahan. “Jadi kita bukan lagi ayah dan anak, Papa? Kita adalah musuh sekarang?”
Untuk seseorang yang baru saja merasakan pemberontakan dari putri kesayangan, Condro Wongso merasa jantung hatinya seperti di tusuk ribuan jarum pentul. Sakit sekali. Wajahnya pun terbebani pertanyaan itu seolah kekuasaan atas hidup dan mati seseorang bukan beban yang berarti.
Condro Wongso mengalihkan perhatian dari Miranda, tak ingin matanya sayu dan berkaca-kaca selagi ingatan yang tersimpan sejak Miranda bayi hingga sebesar itu bersantai-santai di benaknya.
Condro Wongso sejatinya terluka, pilihan anaknya untuk menghentikan warisan keluarga dan menumpahkan darah di malam Jumat itu tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan itu semua gara-gara Gio! Kebodohan Gio telah mengacaukan semuanya. Dan kebaikan Arik memupuk semangat Miranda untuk menempuh perselisihan dengannya.
Condro Wongso bersumpah, kalau nanti pemuda desa itu dapat membunuhnya, tak akan pernah ada restu jika mereka menjalin hubungan istimewa.
“Kau lebih tahu apa yang kamu inginkan, Mira. Jadi selesaikan ini seperti keinginanmu itu!” Condro Wongso membuka diri, menunggu serangan dari Arik. Tetapi Miranda mengulurkan tangan kirinya ke samping, menahan Arik yang bersiap menyerang tanpa tapi.
“Papa harus tahu suatu hal, sampai kapanpun aku tetap akan menganggapmu Ayah bagiku, ayah yang hebat sekalipun aku memilih jalan ini. Pilihan ini jauh lebih baik untuk kita, Pa. Percayalah!”
Condro Wongso mendengar putrinya mengucapkan kalimat syahadat dengan takzim. Dirinya tersengat seakan-akan tersetrum dan jauh lebih buruk dari itu, dia terkesima. Sudah sejauh itu Miranda ingin bertobat? Sudah sejauh itu Arik mengajarinya? Kurang ajar. Dia tidak menyangka putrinya sanggup mengagungkan kebesaran Tuhan dan mengucapkan saksi bahwa tiada Tuhan selain Allah di hadapannya langsung.
Condro Wongso tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata, semuanya terlalu pekat dan nekat. Di saat itu pula, Arik menggunakan kelengahannya untuk menyerang tepat di dadanya dengan tendangan bebas.
Condro Wongso terjungkal beberapa meter sambil terbatuk-batuk. Dadanya sakit, punggungnya nyeri dan lebih sakit lagi waktu Arik menindihnya seraya mencengkeram lehernya. Dia kesulitan bernapas.
Arik mengeratkan cengkeramannya hingga Condro Wongso melotot, giginya menggertak dan cuping hidungnya melebar.
“Sejatinya aku tidak ingin membunuh Paman. Aku lebih ingin Paman bertobat sebelum ajal menjemputmu!”
“Cerewet!” ucap Condro Wongso serak. “Kematianku bukan di tanganmu!”
Arik tersenyum simpul. “Memang bukan di tanganku, Paman. Tapi di tangan putrimu, putrimu yang memintaku. Dan aku...”
Miranda menjerit. Lelembut bermahkota tanduk rusa menyeruduknya dari belakang. Amarah tampak mengkilat-kilat di matanya melihat junjungannya tersiksa.
“Kau berhenti atau Miranda yang mati?” ucap Condro Wongso.
Arik menoleh, Miranda kesulitan menghindari amukan si lelembut bermahkota tanduk rusa yang terus menyeruduknya dengan tanduk ke bagian punggung wanita itu.
Arik segera bangkit dan berlari mendekat. Kakinya maju ke depan, menendang pinggang berisi otot dan kegelapan dengan sepenuh tenaga. Tubuh lelembut itu tidak bergerak sedikitpun, meski perhatiannya yang teralih dapat membuat Miranda sekonyong-konyong pindah ke belakang tubuh Arik.
“Aman?” tanya Arik.
Miranda memegangi kedua pinggang Arik sambil menahan errangan kesakitan, “Semua tidak aman, Arik. Di tempat lain pertarungan masih terjadi, belum terlihat siapa yang menang dan kalah,” katanya dalam hati, sementara Condro Wongso segera menarik napas panjang begitu tangan Arik yang menghimpit lehernya terlepas.
“Anak itu cukup berani dan kuat.” gumam Condro Wongso sambil meraba lehernya. Namun hanya sebentar kelegaan itu, dia memandangi tatapan sengit Arik kepada lelembut bermahkota tanduk rusa seolah tidak terima putrinya terluka.
“Iblis memang tidak pandang bulu saat menghasut manusia. Siapa saja diembat, digoda. Tapi di sini, tidak bisakah matamu melihat jika wanita bukan musuh yang tepat untukmu?” ucap Arik dengan ketus.
Dengusan kasar lolos dari moncong lelembut itu. Bukan soal Condro Wongso saja yang mengawali kemarahannya kepada Miranda. Tapi kecemburuannya telah melapisi kecantikan wanita itu, menjadikan dia tidak pandang bulu menyerang siapapun yang membelot dari junjungannya.
“Dia penjaga rumahku, Arik. Bodyguard Papa. Jangan lawan dia. Kamu gak kuat!” bisik Miranda cemas.
Arik tidak mengalihkan perhatian dari lelembut di depannya. Tapi dia terusik oleh ungkapan itu.
“Dengan kata lain, kakak mau kasih tahu aku kalau punggungmu sakit dan aku terlalu cemen?” tukas Arik.
Miranda menggelengkan kepala. “Kamu nggak cemen, aku cuma khawatir sama kondisimu nanti. Kamu berhak selamat dari sini.”
“Kalau gitu kakak banyak-banyak berdoa saja sekarang, gak perlu khawatir, percuma!” Arik tiba-tiba menahan kepala lelembut bermahkota tanduk rusa yang hendak menerjangnya dengan sekuat tenaga. Tapi saking kuatnya lelembut itu, tak memakan waktu lama. Tubuh Arik bergerak mundur.
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.