Sensasi Duda Seksi

Ombak tampak terus menghampiri ku seakan ingin menyampaikan pesan tersembunyi. Sementara Hana terlihat menyegel sesuatu dalam pikirannya. Aku melihat matanya penuh dengan rahasia, dia tampak sedikit gelisah. Dan akhirnya dia bicara.

"Jade. Beberapa hari yang lalu, aku melihat paman Rhine dan mantan istrinya," katanya pelan, seakan hampir tenggelam oleh suara ombak yang berada di kejauhan.

Aku terdiam sejenak, merenungkan ucapan yang baru saja keluar dari mulutnya. "Kau melihat mereka? Dimana?" tanyaku, ingin menjawab rasa penasaran ku yang mendalam.

"Disini, meja di belakangmu. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu, tapi aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Aku ingin mengatakannya padamu sebelum pulang saat itu, tapi kudengar dia mengajak mu makan malam dan besoknya dia ada di pantai. Aku juga tidak tahu bagaimana mengatakannya. Tapi.. Aku juga tidak tenang menyembunyikan nya darimu," jawab Hana sejelas mungkin, wajahnya menunjukkan penyesalan yang jelas.

Matanya seolah meminta pengertian, namun juga menahan sesuatu yang lebih dalam.

Rhine dan mantan istrinya, lagi lagi tentang mereka. "Tidak apa, aku tahu," suara ku terasa sedikit berat. Aku bisa merasakan ketegangan yang perlahan menyiksaku.

Hana terkejut, dia langsung mendekat dan menggenggam tanganku. "Serius? Kau tau? Kau baik-baik saja dengan itu?"

"Aku baik-baik saja, lagipula mereka sudah selesai, Rhine sudah menjelaskan semuanya padaku," Aku memegang tangan Hana seakan menyampaikan perasaan melalui sentuhan kulitku, berusaha menutupi kebohongan ku.

"Ah, dia pasti mejelaskan semuanya saat kalian makan malam waktu itu, kan. Syukurlah kalau begitu." Hana bernafas lega dan aku hanya mengangguk.

Kami terdiam sejenak, membiarkan gelombang ombak dan angin pagi menyapu kekhawatiran Hana yang sudah lenyap.

Bagiku, pagi ini yang awalnya penuh keindahan, kini terasa seperti sebuah jigsaw puzzle yang belum lengkap—aku harus menemukan potongan-potongan itu agar bisa menghubungkan nya satu sama lain untuk menjawab teka-teki nya. Aku menjadi penasaran tentang apa yang sebenarnya di selesaikan Rhine dan mantan istrinya. Aku ingin tahu. Semua orang membicarakannya.

Aku dan Hana langsung ke Cafe untuk bekerja setelah sarapan. Aku mencoba menyibukkan diri agar tidak memikirkan apapun terkait dengan Rhine, sebisa mungkin menghapus tentang nya meskipun sebentar.

Sepulang dari Cafe, aku tidak langsung kembali ke Villa. Aku memilih untuk duduk di pantai, di atas pasir. Aku tak peduli jika itu akan mengotori celana jeans yang ku pakai, aku hanya butuh sesuatu yang lembut dan hangat daripada duduk di bebatuan. Aku memandang jauh ke ujung laut, berusaha mencari dimana airnya akan berakhir.

Aku menikmati malam ini, tepat sebelum ponsel ku berbunyi karena sebuah pesan masuk. Aku menerima pesan dari Rhine tertulis singkat namun penuh makna: "Kapan kau akan pulang?"

Pesan yang ku baca barusan membuatku berpikir panjang lebar. Aku tak menghiraukannya sejenak dan kembali menikmati pemandangan malam.

Aku terjebak dalam kisah seorang duda yang sekarang menjadi suamiku. Aku menikah karna ingin hidup tenang tapi malah di pusingkan oleh mantan istrinya. Aku harus tahu, malam ini juga.

Angin malam serasa berhembus kencang saat aku meninggalkan pantai dan berjalan di jalan beraspal, aku menyeberang karna berniat akan pulang. Ke Villa.

Aku membuka pintu, tak di kunci. Kedatangan ku disambut oleh suasana yang sunyi. Villa tampak sama seperti sebelumnya, tetapi aku merasakan sesuatu yang berbeda. Rhine tiba-tiba muncul di tangga, dia berdiri dengan senyuman yang tampaknya menyimpan rahasia.

"Kau sudah pulang, aku baru saja ingin menjemput mu" katanya, suaranya lembut. Dia mendekatiku dan memegang tanganku, Rhine memandu ku untuk mengikutinya "Ada sesuatu yang ingin ku tunjukkan padamu," lanjutnya saat aku masih tersesat dalam pikiranku tanpa berkata apapun.

Kami masuk ke dalam kamar, tempat yang kini terasa lebih dari sekadar ruang tidur. Rhine melepas tangan ku dan mengambil sesuatu dari dalam laci.

Rhine tersenyum, matanya berbinar begitu dia berbalik dan berdiri di hadapanku. Dia menarik ku lagi, duduk di tepi ranjang yang empuk. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari genggamannya. Kotak itu berlapiskan beludru halus yang membuatnya tampak cantik.

"Aku ingin memberikan ini padamu," katanya sambil membuka kotak itu, "aku berharap ini pas di jarimu."

Di dalam kotak, terdapat dua buah cincin. Yang satu dengan batu permata berkilau di tengahnya sedangkan yang satu lagi polos namun elegan. Kilauan cincin itu membuatku terpana sekejap.

"Apa ini?" Tanyaku, hampir berbisik, merasa seolah aku baru saja menemukan sebuah potongan dari puzzle yang ingin kucari.

"Cincin pernikahan kita," Rhine menjelaskan, "Aku sudah mendapat banyak hal dari Lea, aku tak ingin pernikahan ku berakhir lagi karena diriku. Aku ingin mengajak mu bertemu dengannya tapi takut kau akan merasa tidak nyaman."

Mataku membesar, jadi alasan pertemuan mereka adalah aku. "Jadi kau mencarinya untuk ini?" Aku bertanya, rasa penasaran di benakku membakar lebih kuat daripada sebelumnya.

"Ya, banyak hal yang ku lewatkan dalam pernikahan kami. Aku ingin mencoba menjalani pernikahan yang baik, dan aku juga ingin kau menjadi yang terakhir di hidupku."

Kami terdiam sejenak, kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rhine memandangku, dan aku bisa melihat tekad di matanya—sebuah ambisi yang tak terbantahkan. Sementara aku sedang memikirkan gambaran besar dari potongan puzzle yang mulai kutemukan.

"Jade. Aku mencintaimu," katanya akhirnya, suaranya penuh dengan kehangatan dan harapan. "Apa kau juga mencintaiku?"

Aku terdiam, aku menyadari bahwa apa yang akan ku katakan setelah ini mungkin akan berpengaruh pada masa depan ku. Dia mencintai ku, dia mengatakannya seolah sedang mengucapkan janji suci di altar pernikahan.

Tapi aku.. aku tidak tahu perasaan apa yang sedang menggeliat di hatiku. Mungkin aku menyukainya, tapi cinta.. Aku—tak tahu. Karena menurutku sensasi aneh yang kurasakan saat bercinta dengannya bukanlah cinta. Aku berbohong jika mengatakan aku mencintainya, tapi aku mungkin akan menyakitinya jika bilang tidak.

Aku menatap kotak beludru yang menyimpan sepasang cincin di dalamnya. Dia pasti sudah menyiapkan banyak hal untuk hubungan kami kedepannya, dia bahkan mendatangi wanita yang sudah mengkhianati nya hanya untuk meminta saran. Aku juga harus melakukan sesuatu, aku yang memulainya. Aku harus bertanggung jawab.

"Rhine.. Aku tak tahu arti cinta dalam sebuah pernikahan. Pernyataan mu terdengar seperti sebuah janji bagiku. Kupikir kau hanya mendaftarkan pernikahan kita karena kau sembuh saat tinggal denganku. Meskipun aku tak yakin apa yang sudah kulakukan untukmu. Rasanya salah jika kita saling berjanji seperti ini, kau juga menyiapkan cincin. Aku tak ingin terikat karena perasaan yang akan menyakitiku dan aku juga tak ingin menyakitimu."

Aku menatapnya, Rhine tampak terdiam sejenak mendengar penjelasan ku, aku berdiri karena tak ingin terjebak terlalu lama dalam bayangan keinginannya. Tapi dia tiba-tiba menahan ku, dia menggenggam pergelangan tanganku dan berdiri di sampingku.

Rhine membelai tanganku, membuat semua jariku berada dalam pelukan tangannya. "Aku tak peduli kau disini hanya karena ingin hidup nyaman atau semacamnya." Rhine meraih jari manisku dan memasangkan cincin yang dia ambil dari kotak beludru disana. "Tapi bagiku kau adalah istriku. Di kertas atau dalam hidupku. Jade, istriku."

Aku sungguh hanyut dalam kata-kata manis yang dia katakan. Aku membiarkannya melingkarkan cincin itu di jariku, dan aku juga membiarkannya memelukku.

...----------------...