Ini adalah cerita tentang Lini, seorang gadis yang pergi merantau ke Jakarta dan tinggal di salah satu rumah kost. Hari-harinya dipenuhi warna ketika harus menghadapi trio emak-emak yang punya hobi ngejulidin tetangga. Naasnya salah satu anggota trio itu adalah ibu kost-nya sendiri.
Ga cuma di area kostan, ternyata gosip demi gosip juga harus dihadapi Lini di tempat kerjanya.
Layaknya arisan, ghibah dan julit akan berputar di sekitar hidup Lini. Entah di kostan atau dikerjaan. Entah itu gosip menerpa dirinya sendiri, atau teman dekatnya. Tiap hari ada aja bahan ghibah yang bikin resah. Kalau kamu mau ikut gabung ghibah sama mereka, ayok aja! Tapi tanggung sendiri resikonya, bisa-bisa nanti giliran kamu yang kena giliran di-ghibahin!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evichii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjauh
Badan gue semakin gemetar dan berkeringat hebat melihat tangan cowok itu masih berusaha memecahkan kaca jendela. Sambil duduk meringkuk memeluk bantal dan menyandar di tembok yang posisinya paling jauh dari jendela, gue berusaha mencoba menelfon siapapun.
Gorden kamar gue yang tertutup tiba-tiba tersingkap dan tangan itu menerobos masuk melalui kaca jendela yang sudah pecah. Tangan itu menggapai-gapai tak tentu arah mencari kunci pintu kamar gue. Gue bisa ngeliat tangan itu tergores beberapa kali oleh pecahan kaca yang masih menempel di jendela. Cowok itu nekat terus memaksa ingin masuk ke kamar gue meskipun tangannya sudah terluka akibat tergores oleh pecahan kaca.
"Berhentiiiiii! Bang Aldi please berhentiiiii...! Toloooonggg! Bu Sriiiiii!!! Toloooong.."
Bang Aldi mengintip melalui gorden kamar gue yang dia singkap dengan tangannya yang sudah penuh luka berdarah.
Bang Aldi menatap gue dengan pandangan memohon, "Lin, buka pintunya, Lin.. Tolong biarin gue masuk! Gue harus bicara sama lo!"
Kenapa dia tau nama gue?
Gue ga peduli dengan omongannya. Sambil berteriak histeris dan perasaan yang semakin ngeri, gue berlari menuju pintu dan secepat yang gue bisa, gue cabut kunci kamar kost gue dari tempatnya. Dengan tangan gemetar gue genggam kunci itu di tangan gue dan kembali meringkuk di sudut ruangan kamar gue. Sudut yang posisinya paling jauh dari jendela.
Gue coba menelfon Bu Sri dan Pak Mahmud tapi mereka ga angkat telfonnya. Gue telfon lagi Mas Abdan, tapi hasilnya juga sama.
Akhirnya dengan kengerian yang semakin memuncak, gue menelfon nomor darurat polisi.
"Pak.. Tolong pak, ada orang gila di kostan saya. Perumahan Sukasamadia, yang di belakang kawasan Pulogadung... Kostan Bu Sri No. 14.. Tolong pak.."
"Saya Lini.. Tolong pak..."
Setelah mengakhiri telfon itu, gue nekat melakukan panggilan video di grup WA anak kost.
"Guys, siapapun tolong gue.. Ada orang gila ngamuk di kostan!"
"Lin? Lo ga apa-apa?"
Gue sengaja mengarahkan kamera belakang gue biar temen-temen gue yang lain tau kondisi kaca jendela gue yang pecah dan Bang Aldi yang berusaha terus ingin masuk ke kamar gue.
"Yaa ampun, Lin.. gue otw pulang! Bawa benda apa aja yang bisa jadi senjata lo! Jangan tutup panggilan video ini!"
Suara Mbak Ajeng terdengar ikut-ikutan panik disusul oleh yang lain, mereka juga mencoba menenangkan gue dan berjanji akan secepat mungkin balik ke kostan.
Gue menangis sejadi-jadinya ketika Bang Aldi justru semakin nekat mencoba mendobrak pintu kamar gue.
"Siapapun... Tolooooonggg! Buuuuu.. Bu Sriiiii!" teriak gue berkali-kali hingga akhirnya gue putus asa.
Dan apa yang gue takutkan terjadi.. Bang Aldi berhasil mendobrak pintu kamar gue sampai terbuka!
Gue menangis sambil mengacungkan garpu ke arahnya. Sementara hp gue terjatuh entah kemana.
"Lin.. Liniii, lo aman kan Lin?" gue denger suara Maya berteriak-teriak di hp gue tapi gue ga bisa ngejawab sekarang.
Dengan tubuh yang gemetar hebat, gue memberanikan diri untuk menghadapi Bang Aldi. Air mata dan keringat jadi satu membasahi sekujur tubuh gue.
"Jangan ngedeket atau gue nekat nusuk lo!" gue mencoba menggertak Bang Aldi dengan suara yang sama bergetarnya dengan badan gue.
"Lin.. Gue ga akan ngelukain lo.. Gue cuma butuh bantuan lo!"
Gue ga percaya sama omongan Bang Aldi, karena dia berkata begitu sambil menyeringai mengerikan. Kalau butuh bantuan gue, kenapa dia dateng dengan membuat keributan kayak gini? Kenapa ga bicara baik-baik dan mengenalkan diri terlebih dulu sama gue?
"Keluar!!! Gue udah telfon polisi!" ancam gue lagi sambil tetap mengacungkan garpu ke Bang Aldi yang malah nekat berjalan mendekat ke arah gue.
"Gue udah ga tau harus gimana, Lin! Gue udah kehilangan akal karena si Abdan selingkuh dengan istri gue! Cuma elu yang bisa nolongin gue... Bantu gue balas dendam sama Abdan!"
"Ga usah ngomong sama gue! Gue ga peduli sama kehidupan kalian! Urus adek lo sendiri! Jangan libatin gue! Pergiii!!"
"Istri gue hamil anaknya Abdan! Dan gue harus bales dendam sama dia! Elu harus bantu gue! Kita bikin Abdan sakit hati juga.. Gue harus dapetin lo dan ngelakuin hal yang sama dengan yang dia perbuat sama Diana!!"
Tiba-tiba Bang Aldi tertawa sambil berlari ke arah gue. Spontan gue mengarahkan garpu yang gue pegang ke arahnya, dan berhasil melukai lehernya. Darah menetes dari leher Bang Aldi namun sepertinya garpu itu hanya meninggalkan luka goresan tipis.
Bang Aldi berhasil mencapai tubuh gue dan tangannya mengunci pinggang gue hingga menempelkan tubuhnya. Gue yang dalam posisi terkunci antara tembok dan tubuh Bang Aldi hanya bisa berteriak.
Bang Aldi tertawa puas melihat gue histeris ketakutan. "Bantu gue ngebales si Abdan!"
Salah satu tangan Bang Aldi mencengkeram pipi gue dengan kencang. Gue bisa merasakan rahang dan leher gue nyeri karena dipaksa mendongak.
Bang Aldi berusaha mendekatkan bibirnya ke bibir gue dan gue berhasil menghindar dengan membuang muka gue ke samping.
Tangan Bang Aldi semakin kuat mencengkeram muka gue dan mengembalikan posisi muka gue menghadap dia. Mata gue terpejam, ga sanggup menatap wajahnya dari jarak dekat.
Bang Aldi mendorong tubuh gue ke atas kasur dan menindihnya. Sambil terisak gue mencoba sekuat mungkin menyingkirkan tubuhnya tapi gagal. Akhirnya dengan tenaga yang hampir habis karena kelelahan dan ketakutan, gue coba menggigit jari telunjuk Bang Aldi yang mendarat di muka gue dengan sekuat yang gue bisa.
Bang Aldi yang hendak berniat buruk dan hampir membuka baju atasan gue dengan tangan yang satunya, mendadak berteriak karena kesakitan.
Reflek dia menampar pipi gue sekencang-kencangnya. Dan gue ga mau menyerah, dengan postur tubuh yang kalah besar dari Bang Aldi gue mencoba membalikkan tubuhnya dengan susah payah.
Bang Aldi mencekik leher gue sampai gue hampir kehabisan napas.
"Abdan harus bayar mahal, dan elu adalah cewek yang berharga buat dia! Gue akan menghancurkan elu seperti Abdan menghancurkan keluarga gue!"
Teriakan gue tertahan di tenggorokan karena Bang Aldi mencekik leher gue dengan kencang. Sumpah! Gue udah ga bisa napas sama sekali!! Jadi gue cuma bisa melotot menatap Bang Aldi yang mencoba melucuti pakaian gue dengan satu tangan.
Bukkkkk!!
Sebuah suara seperti pukulan yang amat keras mengejutkan gue. Dan seiring dengan suara itu, tubuh Bang Aldi ambruk ke depan dan menindih tubuh gue.
Gue cuma bisa menangis ketika leher gue akhirnya terlepas dari cengkeraman tangannya. Gue juga menangis karena ga sanggup menyingkirkan tubuh Bang Aldi dari atas tubuh gue saking kehabisan tenaga.
"Linii!"
Mas Abdan menyingkirkan tubuh Bang Aldi dari atas badan gue yang udah sangat lemas.
"Lo ga apa-apa, Lin?" Mas Abdan membantu gue untuk bangun dan memeluk gue. Gue cuma bisa diam dan pasrah dalam pelukannya karena tenaga gue emang bener-bener udah abis.
"Maaf gue terlambat.. Maaf!" Mas Abdan semakin erat memeluk gue.
"Restuuu..." gumam gue sambil terisak.
Mas Abdan melepaskan pelukannya. "Apa, Lin?" tanyanya sambil menatap gue dengan khawatir.
"Bawa pergi abang lo, Mas.. Gue butuh Restu!" gue menatap Mas Abdan dengan memohon.
"Maafin gue, Lin.. Lo pasti ketakutan!"
"Gue...gue... Ga mau liat lo!" gue menatap Mas Abdan dengan air mata yang berurai.
"Liniii!" Restu berlari ke arah gue dan langsung menyingkirkan tubuh Mas Abdan yang hendak memeluk gue.
Gue mencoba tersenyum ketika melihat Restu datang berbarengan dengan beberapa petugas dari kepolisian dan juga... Bu Sri!
"Kok bisa? Kok bisa? Neng Lini ada apa ini?" Bu Sri mendekat ke arah gue tapi Restu menghalanginya.
"Saya yang harusnya bertanya sama ibu, ada apa di sini? Sampai-sampai pacar saya babak belur didatengin sama orang gila!"
"Pacar?" Mas Abdan yang sedang membantu polisi memapah tubuh Bang Aldi langsung berbalik badan mendengar omongan Restu.
Gue menunduk, enggan menatap Mas Abdan karena emang saat ini yang tersisa untuk dia cuma rasa benci dan rasa takut. Gue ga mau lagi berurusan dengan Mas Abdan, apalagi Bang Aldi.
"Saya ga tau! Orang tadi saya lagi arisan di blok belakang! Tau-tau ada polisi masuk ke sini! Mana kaca pada pecah gini.. Saya minta ganti rugi ke siapa nih?"
Bu Sri ngedumel sambil memandangi kamar gue yang porak poranda. Seperti biasa beberapa detik kemudian, dia heboh sendiri turun ke lantai bawah, mungkin mau mengajak genk rumpi lainnya tapi justru malah mengundang banyak warga yang akhirnya kepo dan berkerumun di lantai bawah.
Pihak kepolisian melakukan pemeriksaan di sekeliling kamar kost gue, menanyakan beberapa pertanyaan yang gue jawab dengan emosional dan setelah beberapa saat akhirnya gue bisa sedikit tenang ketika mengetahui Bang Aldi sekarang sudah diurus oleh pihak berwajib.
Mas Abdan berdiri memandangi gue dan Restu dengan pandangan yang ga suka.
"Lo siapanya Lini?" tanya Mas Abdan dengan ketus.
"Gue pacarnya.." jawab Restu sambil terus menggenggam tangan gue. Mas Abdan menatap ke arah gue, mencoba mencari jawaban dari perkataan Restu barusan.
"Iya mas, gue udah jadian sama Restu.." jawab gue mencoba tegar meskipun suara gue masih terdengar bergetar.
"Lin, gue sama lo.. Gue pikir.. kita bakalan.."
"Maaf, mas.. Gue ga bisa! Gue sama Restu udah serius pacaran.." gue memotong ucapan Mas Abdan. "Gue mau kehidupan yang tenang setelah ini, dan gue percaya Restu bisa ngasih gue ketenangan itu...!"
Mas Abdan terdiam. Mungkin kecewa. Mungkin patah hati. Entahlah, gue sekarang ga mau peduli. Apalagi baru aja gue mengalami kejadian mengerikan yang ada hubungannya dengan Mas Abdan.
Temen-temen kost gue yang baru aja sampe, jadi urung untuk histeris mendekat, karena ada Restu di samping gue. Restu ga beranjak sedikit pun dari sisi gue, tapi malah terus memeluk dan memegangi tangan gue yang masih syok berat.
Temen-temen gue juga kayaknya syok ngedenger pengakuan gue barusan. Mereka saling berpandangan dengan heran. Lini jadian sama Restu? Kok bisa?? Terus Siska gimana?
Restu yang ga sedikitpun melepaskan pelukannya dari gue dengan tegas berbisik di telinga gue. "Lo pindah sekarang. Gue ga peduli, lo harus nurut sama gue! Gue ga mau lo kenapa-kenapa lagi.."
Gue mengangguk pasrah.
"Baru kali ini gue kecewa sama lo, Lin.." Mas Abdan pergi meninggalkan gue dan Restu dengan ekspresi yang belum pernah gue liat sebelumnya. Gue menatap kepergian Mas Abdan dengan hati yang sedikit hancur. Semoga apa yang gue denger dari Bang Aldi tadi hanya ocehan orang gila yang ga terbukti kebenarannya.
Meskipun gue udah ga punya perasaan apapun sama Mas Abdan, tapi gue bakalan jadi orang pertama yang bakal sedih kalau Mas Abdan terbukti punya kepribadian yang buruk. Mas Abdan yang gue kenal adalah Mas Abdan yang baik, bukan yang kurang ajar apalagi sampe berani ngehamilin istri kakaknya sendiri.
Gue berharap cerita itu cuma ocehan Bang Aldi yang ga waras, tapi kalau emang bener Mas Abdan melakukan itu... Gue cuma bisa bersyukur, karena Tuhan menjauhkan gue dari Mas Abdan sebelum semuanya terlambat!
***
Ah Restu kenapa selalu mempermainkan ketulusan Lini. 🥺
gandos