Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29 Meminta Maaf
Inara tampak diam saat menyiapkan pakaian ganti untuk Argha, memasukkannya ke dalam tas. Sebentar lagi suaminya itu akan pergi untuk bermain golf.
“Kita—“
“Sudah selesai. Aku akan turun untuk membantu Mama Della merangkai bunga,” ucap Inara yang bergegas pergi.
Namun, tertahan karena Argha mencekal pergelangan tangannya. “Maaf. Besok saja kita perginya ya?”
Inara melebarkan senyuman, meski sebenarnya ia telah kecewa pada suaminya. “Gak apa-apa. Kapan-kapan saja, Mas. Enggak penting juga, kan. Aku harus pergi. Mama Della menungguku.”
Entahlah, Argha merasa tidak enak sendiri. Tepatnya, ia merasa bersalah karena tidak bisa menepati janjinya sendiri.
Pria bertubuh tinggi itu meraih tasnya. Lantas, keluar dari kamar.
“Ma, kami berangkat,” pamit Alan yang sudah siap dengan outfitnya. Pakaian serba putih. Kali ini mereka akan bermain golf di cuaca yang sangat terik.
“Hati-hati, Pa.” Argha sendiri diam. Ia sudah muak bersikap baik dengan Della. Namun, ia tak bisa menunjukkan ketidak sukaannya di depan Inara, kan.
“Argha, hati-hati ya nyetirnya,” titah Della dengan lembut.
“Tante tidak usah khawatir, saya akan menyetir dengan baik.”
Inara masih tak menyangka, jika Argha masih sekaku itu pada Della. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut. Mereka berdua mengantarkan para suami sampai depan pintu.
“Nara, aku berusaha pulang cepat,” ucap Argha mengusap bahu istrinya dengan lembut.
Inara memberikan anggukan. Ia juga tak mau berekspektasi lebih pada suaminya yang super sibuk. Bukannya begini resikonya menikahi seorang CEO yang sangat sibuk?
“Sampai jumpa.”
Argha masuk ke dalam mobil, Inara sendiri pergi sebelum mobil itu pergi. Ia akan memotong bunga Mawar dan menatanya di setiap vas penjuru rumah.
Inara duduk dengan tenang di bantu. Beberapa bunga sudah dipetik oleh para pelayan. Inara akan memotong dan merangkainya dengan bunga lain.
“Inara,” panggil Della yang kemudian duduk di depan menantunya itu. Inara mengangkat wajah, senyumnya tampak tulus. “Mama mau minta maaf soal kejadian tadi.”
Inara memahami perasaan Della. Ia memberikan anggukan kecil. “Nara yang harusnya meminta maaf, Ma. Harusnya, Nara tak harus menjadi bagian dari keluarga ini, jika—“
“Nara, kamu jangan salah paham. Bukan begitu. Mungkin ini sudah takdir. Kamu dan Artha memang tidak berjodoh. Jujur, awalnya saya takut kamu menjalin hubungan dengan Artha, mengingat semua gadis yang ia kencani rata-rata bukan gadis yang baik. Saya salah menilai kamu.”
Inara mencoba mendengar. Tentu sambil memotong tangkai bunga.
“Namun, saya salah sangka. Justru Artha adalah pria bodoh yang membuang berlian. Saya sudah menyelidiki kamu, Nara. Kamu gadis baik-baik. Meski keadaan ekonomi keluarga kamu tidak stabil. Orang tuamu orang yang jujur.”
Inara jadi teringat oleh kedua orang tuanya. Ah, ia merasa terharu. Meski Susi adalah wanita yang ceplas-ceplos, wanita itu selalu menjunjung tinggi nilai-nilai yang baik.
“Tolong maafkan Artha. Dia masih belum dewasa dalam menyikapi hidup. Dia seperti itu karena kurang perhatian dari kami. Semua keinginannya hanya terpenuhi dengan uang, tanpa perhatian dari kami. Kamu tahu kan, mama ini dokter yang jarang sekali di rumah, sementara papanya Artha sibuk bekerja. Setiap ada kesempatan, mama memperhatikan Argha, demi bisa mengambil hati anak itu. Tapi nyatanya ….”
Inara tertegun. Ia merasa begitu banyak luka di dalam diri Della. Ia menyentuh tangan Della dan menggenggamnya lembut.
“Aku yakin, Mas Argha akan luluh. Mama Della orang yang baik. Bahkan, Mama tidak pernah pilih kasih sama Mas Argha.”
Della tersenyum kecil. Tatapannya menerawang jauh. Begitu bayangan masa lalu terlintas, dadanya terasa sesak.
“Ma, sebenarnya, kenapa Mas Argha membenci Mama?” tanya Inara hati-hati.
Dela menarik napas dalam-dalam. Tangan kanannya meletakkan guntingnya di atas meja. Ia berusaha untuk tersenyum, meski hatinya rapuh.
“Dulu, Mama dan Argha sangat dekat. Begitu dekat. Bahkan, Argha selalu mengandalkan Mama. Bergantung pada Mama.” Air mata Della mengalir begitu saja.
Rasa penasaran semakin menyeruak di dalam diri Inara. Jiwa keponya meronta-ronta. Namun, ia tak mau memaksakan diri, meminta mertuanya itu lekas cerita tentang masalah mereka selama ini.
Inara hanya diam, menunggu kelanjutannya.
“Ceritanya panjang. Intinya, Argha menyalahkan mama atas meninggalnya mama kandungnya Argha. Mama tidak bisa cerita ini, Nara.”
Inara mengerti. Ia tidak akan memaksa.
“Suatu saat, Mas Argha bakalan mengerti, kok, Ma. Mama jangan khawatir ya.”
Sekitar satu jam Inara dan Della duduk merangkai bunga sambil berbincang, hingga ada telepon masuk yang meminta Della harus ke rumah sakit karena ada pasien dengan kondisi kritis.
Sebagai dokter, Della langsung bangkit dan pergi untuk bertugas.
“Mama harus pergi, Nara. Kamu tidak apa-apa, kan ditinggal?”
Inara menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-pa, Ma. Santai saja.”
Della masuk ke kamarnya untuk mengambil pakaian dinas dan tasnya. Lantas pergi dengan diantarkan oleh supir.
Inara sendirian di sana.
Saat sibuk merangkai bunga, Inara tak menyadari, jika Artha duduk di depannya. Bahkan, ia tak mendengar langkah kaki pria itu.
“Nara.”
Inara berlonjak. Hampir saja ia salah potong. “Mas Artha? Mas Artha mau ngapain?!”
“Aku minta maaf atas kelakuanku kemarin, Nara. Aku tidak sopan. Harusnya aku sadar diri,” ucap Artha dengan wajah memelas. Tampak tulus dan menderita. Bahkan, rambutnya berantakan, tampak sangat frustasi.
“Tolong jangan jauhi aku, Nara. Aku janji, aku tidak akan berbuat tidak sopan lagi sama kamu.”
Jujur, Inara begitu benci dengan Artha, namun melihat penampilan pria itu sekarang, ia merasa iba. Bukankah Artha sudah mendapatkan balasannya? Pria itu selalu menganggap, tidak dicintai oleh Della. Ah, entahlah … Inara memang gampang luluh.
“Maafin aku, Nara.”
Inara menghela napas. Mencoba untuk mendamaikan perasaannya. “Aku akan maafin Mas Artha, kalau Mas Artha janji tidak akan kurang ajar lagi.”
Artha mengangguk dengan cepat. “Selama pacaran, bahkan aku sama sekali tidak pernah kurang ajar sama kamu, kan, Nar?”
Ya. Inara tahu itu. Artha tak pernah menyentuh tanpa izinnya. Artha menghormatinya. Hanya saja, pria itu selingkuh dengan wanita lain.
“Oke, aku maafin kamu. Tapi, aku harap, kita lupain masa lalu kita, Mas. Karena aku sekarang istri kakak kamu.”
Meski berat, Artha mengangguk. Jujur, ia tak akan pernah bisa melupakan Inara. Gadis itu yang banyak mengubahnya.
Pria berambut pirang cokelat itu mengeluarkan sesuatu dari tas karton yang ia bawa. Sebuah jepit rambut yang sangat lucu. Beserta dengan sepatu wedges dengan warna senada. “Ini hadiah untuk kamu, itung-itung hadiah pernikahan. Tolong diterima ya.”
Inara melongo. Hampir tak percaya. Secepat itukah Artha move on? Atau memang, pria itu sudah menyadari, jika kelakuannya selama ini benar-benar salah?
“”U-untukku?”
Artha mengangguk. “Ambillah.”
Inara menerima pemberian Artha, senyumnya merekah. Ia berharap, Artha benar-benar berubah, tak seperti kemarin yang menakutkan. “Makasih, Mas Artha.”
“Sama-sama. Aku bantu ya?” izin Artha dengan lembut.
Inara menganggukkan kepala. “Silakan.”