Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
"Ini.” Arya menunjukkan sebuah plester luka. “Mbaknya nyuruh aku beli ini. Tapi pas saya balik, mbaknya udah enggak ada di tempat. Aku mutar-mutar mencari di sekitar kompleks, ndak ketemu juga,” lanjutnya.
Harum menatap plester dan wajah Arya bergantian, mencoba mengingat apa yang baru saja diterangkan Arya.
“Terus bagaimana lukanya sekarang? Dan kakinya bagaimana? Waktu itu, kaki mbaknya juga keseleo ‘kan,” cecar Arya.
Harum akhirnya dapat mengingat pria berkulit putih dengan potongan rambut ala Keanu Reeves dan dialek Jawa yang kental.
Pria itu si penyuka warna hijau yang pernah menyerempetnya sepulang membeli ayam di warung kampung sebelah kompleks perumahan beberapa minggu yang lalu.
“Saya enggak apa-apa,” sahut Harum.
“Apa? Lu nabrak Harum?” tanya Hangga.
“Ndak nabrak, hanya nyerempet. Itu pun karena ndak sengaja,” jawab Arya.
“Kapan?” tanya Hangga lagi.
“Beberapa minggu yang lalu.”
Kemudian Hangga mengalihkan tatapannya pada Harum. “Benar apa yang dikatakan Arya? Kamu terserempet motor dia?”
Harum mengangguk menjawab pertanyaan Hangga.
“Kenapa kamu enggak cerita sama saya?” lontar Hangga lagi.
‘Memangnya kamu peduli, Mas.’ Ingin rasanya Harum menjawab seperti itu. Akan tetapi, alih-alih menjawab, gadis pendiam itu lebih memilih untuk menundukkan kepala.
“Mas Bro, jangan dimarahin adiknya. Ghue yang salah,” sela Arya.
“Harum. Benarkan tadi namanya Harum?” tanya Arya yang dijawab anggukan kepala oleh Harum.
“Harum, maafin aku ya,” ucap Arya selanjutnya.
“Udah, udah. Sekarang kita makan aja, yuk!” timpal Nata.
“Yuk!” sahut Arya.
Mereka pun mulai menyantap makanan sambil berbincang. Obrolan yang terjadi lebih banyak antara Nata dan Arya.
Arya yang katanya tengah menganggur, lebih banyak menanyakan informasi tentang lowongan pekerjaan.
Hingga kemudian, di tengah aktivitas makan, Arya yang memang setiap saat melirik Harum, mendapati ada noda saus di bibir mungil perempuan cantik berjilbab tersebut.
“Harum,” panggil Arya.
“Ya.”
“Di sini.” Arya menunjuk bibirnya sendiri, tepat di posisi noda saus pada bibir Harum. Kening Harum mengerut karena tidak memahami maksud Arya.
“Maaf,” ucap Arya. Tangannya terulur hendak menyeka noda saus di bibir Harum. Namun, kemudian ....
“Hey, jangan pegang-pegang!” Hangga refleks menepis tangan Arya yang sudah terulur dan hampir menyentuh bibir Harum. “Jaga tangan lu!” sentaknya.
*
“Yang, kenapa sih?” Sepulang dari mal, Hangga merasakan perubahan sikap Nata. Istri keduanya itu tampak cemberut.
Nata tidak menggubris pertanyaan Hangga, malah masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
“Yang, buka dong pintunya! Aku juga mau bersih-bersih nih.” Hangga menggedor pintu kamar mandi, tetapi Nata tetap mengabaikannya.
Menarik napas panjang, Hangga menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Hatinya tengah menerka-nerka apa yang terjadi dengan Nata. Ia tahu wanita yang dicintainya itu tengah merajuk. Akan tetapi, ia belum tahu apa yang membuat istrinya merajuk.
Lima belas menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Nata sudah mengganti pakaiannya dengan dress tidur bertali tipis di bagian bahu. Hangga yang tengah dalam posisi rebahan, langsung bangun saat terdengar pintu kamar mandi terbuka.
“Sayang.” Hangga menghampiri istri cantiknya. Tangannya meraih pinggang Nata dan memeluknya dari belakang.
“Aku mau tidur,” ucap Nata seraya melepas belitan tangan Hangga di pinggangnya, lalu naik ke tempat tidur.
Mengikuti Nata, Hangga duduk di bibir ranjang di dekat kepala Nata. Ia mengusap lembut kepala Nata yang membaringkan tubuh membelakangi Hangga. “Kenapa sih, Yang? Ada apa?”
Tidak mendapat jawaban dari sang istri, Hangga turut merebahkan tubuhnya di samping Nata. “Geser, Yang. Sempit tau,” katanya sembari memeluk Nata dari belakang.
“Gak usah peluk-peluk deh,” ketus Nata.
“Kenapa?”
Nata beringsut bangun dari posisinya, lalu duduk bersandar pada kepala ranjang seraya melipat tangan di dada. “Kamu jatuh cinta sama Harum, iya?” tukasnya.
Kening Hangga mengerut mendengar tuduhan Nata. “Kenapa kamu bilang begitu?”
“Udah jawab aja! Kamu cinta sama Harum ‘kan?”
“Enggak,” jawab Hangga seraya bangun dari posisinya, lalu duduk bersandar pada kepala ranjang seperti Nata.
“Tapi, kalau pun aku jatuh cinta sama Harum, enggak apa-apa dong. Dia juga istriku,” sambungnya.
“Kalau kamu sampai jatuh cinta sama Harum, aku yang akan pergi ninggalin kamu,” ancam Nata.
Ia mungkin masih bisa berbagi rumah atau berbagi materi bersama Harum. Namun, jika berbagi hati dan berbagi cinta, rasanya ia tidak sanggup menerima.
“Aku cuma cinta sama kamu, Nat.”
“Bohong! Aku lihat kamu begitu perhatian sama dia. Terus kamu juga marah waktu Arya mau nyentuh Harum. Kamu cemburu ‘kan?” cecar Nata.
“Aku mencemaskan dia itu karena Ibu. Ibu menitipkan dia sama aku, jadi aku harus menjaganya. Aku enggak mau Ibu marah kalau sampai terjadi apa-apa dengan dia. Ibu itu sangat menyayangi Harum, itu juga salah satu alasan kenapa Ibu menjodohkan aku dengan dia. Karena Ibu enggak mau kehilangan Harum,” tutur Hangga.
“Kalau soal aku yang melarang Arya menyentuh Harum, karena memang si Arya itu keterlaluan. Dia enggak tahu apa, Harum itu perempuan seperti apa. Padahal dari pakaiannya saja, seharusnya si Arya itu paham, bahwa Harum adalah perempuan yang menjaga marwahnya sebagai wanita muslimah. Bersalaman aja, dia enggak mau bersentuhan, si Arya malah main mau pegang-pegang aja. Dasar memang dodol si Arya itu.” Nata terdiam mendengar penjelasan Hangga.
“Bukan karena kamu cemburu?” selidik Nata.
“Aku enggak ada perasaan sama dia, jadi enggak mungkin cemburu.”
“Hangga, aku enggak mau hati dan cintamu terbagi.”
“Iya,” jawab Hangga singkat.
“Janji?”
“Janji.” Tidak ada jawaban yang lebih baik selain menuruti kemauan Nata.
Lagi pula memang saat ini ia tidak memiliki perasaan istimewa pada Harum.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Nata sembari memeluk Hangga. Penjelasan Hangga membuat hatinya yang tadi dirundung cemburu menjadi lega.
Setelah berpelukan selama beberapa saat, Hangga melepaskan pelukannya, lalu beralih mengecup kening Nata, turun ke pipi kanan dan kiri.
“Stop!” Tangan Nata menghalau bibir Hangga yang hendak mencium bibirnya. “Bersihkan diri dulu, gosok gigi terus ganti baju. Baru nanti ....”
“Baru nanti apa?” goda Hangga sembari menjawil hidung Nata.
“Udah sana cepetan bersih-bersih dulu!” Nata mendorong manja tubuh Hangga agar menjauh.
“Awas ya, jangan tidur dulu!” sahut Hangga sembari mengedipkan sebelah matanya.
Nata tersenyum menatap langkah suaminya yang penuh semangat menuju kamar mandi.
Setelah Hangga masuk ke kamar mandi, Nata meraih ponselnya. Membuka aplikasi pesan berwarna hijau, ia mulai mengetikkan sebuah kalimat.
[Arya, lu suka ya sama Harum? Mau gue comblangin?]
Tidak menunggu lama, pesan itu langsung dikirim ke nomor Arya.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu