"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 34
Carlton tidak bereaksi.
"Sangkar emas jauh lebih baik daripada rimba kematian, bukan?
"Aku tidak akan menandatangani kontrak itu," kata Ariella akhirnya. "Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Aku tidak mau menikah dengan orang jahat sepertimu!"
Carlton menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
"Kita lihat saja, kau pasti akan setuju."
Dia berdiri, mengisyaratkan pelayan untuk membersihkan meja. "Nikmati harimu, Ariella.
Kita akan berbicara lagi nanti."
Ketika Carlton pergi, Ariella merasa beban di dadanya semakin berat.
Ia tahu satu hal pasti.
Carlton tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya, tetapi Ariella juga tidak berniat menyerah begitu saja.
Ia kembali ke kamar dengan pikiran berputar-putar mencari cara untuk melawan.
Jika Carlton ingin permainan, maka Ariella akan bermain, hanya saja Ariella tidak tahu apakah ia mampu menghadapi pria itu di antara rasa takutnya.
**
Sepanjang hari Ariella berada di kamar, ia beristirahat, mencoba merencanakan pelarian sambil mengumpulkan energi.
Makan siangnya sangat mewah dan enak, Ariella pernah makan makanan enak ketika menikah dengan Ruben, tetapi tidak setiap hari, dan sajian yang Ariella makan di mansion itu nyaris seperti makanan yang Ariella santap sebulan sekali ketika ia masih menjadi istri Ruben.
"Hari ini sangat cerah. Bagaimana jika Nona pergi keluar sambil minum teh?"
"Tidak."
"Kenapa tidak? Apakah Nona tidak bosan?"
Pelayan yang lebih tua, yang Ariella yakini adalah kepala pelayan di mansion itu, berbicara lembut padanya. Mencoba membujuk Ariella agar bersedia pergi keluar mencari udara segar.
"Aku takut."
"Takut?"
Ariella menggigit bibir, lalu menoleh ke arah wanita kepala pelayan.
"Bibi, bolehkan aku bertanya sesuatu?"
"Tentu saja, Nona. Kau ingin bertanya apa?"
"Apa di sini ada harimau?"
Wanita itu ketawa.
"Siapa yang mengatakan itu, Nona?"
"Carlton."
"Kalau yang Anda maksud di lingkungan mansion, tentu saja tidak, tetapi harimau ada di tempat lain."
Dalam hati, Ariella mengumpat, "Dasar pia sialan. Dia menipuku!"
"Mereka berada cukup jauh di area kebun belakang. Khusus tempat penangkaran binatang buas. Masih satu area dengan mansion ini."
"Pria itu benar-benar memelihara hewan buas?"
"Ayolah! Nona. Mansion ini sangat besar.
Puluhan hektar luasnya. Bahkan di danau belakang tuan memelihara buaya, yang jelas jaraknya lumayan kalau Anda berjalan kaki."
Mendengar itu, Ariella semakin ngeri. Apakah Carlton sengaja memelihara hewan buas sebagai alat penghilang barang bukti? Sungguh? Misalnya jika dia membunuh seseorang. Carlton akan melemparkan orang itu untuk menjadi makanan dari hewan peliharaannya?
Sangat cerdik.
Astaga!
Kejam sekali.
Keputusan Ariella menolak kontrak itu sudah tepat!
Carlton memang berbahaya.
"Kalau Nona ingin melihat harimau, pergilah ke belakang. Di sana Nona juga bisa melihat tuan menaiki kuda-kuda besarnya. Kadang dia bermain dengan Tom dan juga Brian."
"Siapa itu Tom dan Brian?
"Harimau peliharaannya."
Saat mendengarnya, kening Ariella langsung mengerut dengan bibir bawah yang tergigit.
"T-tidak, sebaiknya aku di sini saja."
"Sungguh? Nona yakin ingin tetap tinggal?
Tuan juga memiliki burung unta, angsa dan berang-berang."
"Apakah tempat ini kebun binatang?"
Pelayan itu tertawa.
"Tuan memang senang sekali dengan hewan-hewan."
"Biar kutebak, dia pasti punya koleksi ular?"
"Sepaket dengan laba-laba dan kalajengking beracun. Sepertinya Nona mulai memahami gaya hidup Tuan."
Saat mendengar itu, Ariella semakin yakin bahwa Carlton memang orang aneh dan tidak masuk akal.
"Apa Nona takut?"
Harga diri Ariella tidak membiarkannya menunjukkan ketakutan.
"Tentu saja tidak! Aku tidak takut laba-laba dan ular. Hanya saja, aku ingin dijauhkan dari harimau dan buaya."
"Baiklah, Nona akan pergi?"
"Ya!"
Maka, Ariella pun bersiap untuk pergi. Ia dipakaikan cardigan dan juga topi lebar dengan pita merah muda. Ariella sama sekali tidak terlihat kampungan atau aneh, ia justru terlihat seperti gadis-gadis kelas atas yang sering Ariella temui ketika bekerja dulu.
"Apakah tidak masalah aku berjalan-jalan di luar? Apa kau tidak takut aku mencoba melarikan diri?"
"Penjagaan di tempat ini cukup ketat, Nona. Akan sulit bagi Anda untuk lolos dari sini."
"Bagaimana jika aku pergi melarikan diri ke hutan di ujung sana?"
"Silakan saja, jika Nona siap bertemu hewan-hewan milik tuan yang lainnya." Ada ancaman di dalam ucapan sang pelayan
"Kau tidak serius kan?"
Wanita itu menyeringai lebar.
"Aku serius, jadi berhati-hatilah, Nona."
Mereka berjalan melintasi taman yang indah, mengitari sekitar mansion yang luas itu, dan
rupanya tidak seburuk yang Ariella pikirkan.
"Apakah kau yakin harimau-harimau itu berada di kandang mereka?"
"Tentu saja, Nona."
"Apakah mereka pernah melukai tuannya?"
"Mereka jinak dengan tuan Rutherford."
Oh, bahkan harimau pun takut pada Carlton.
Mereka tunduk pada Carlton karena pria itu monster.
Mereka terus berjalan, gaun Ariella berkibar
karena angin, sampailah mereka di halaman hijau yang jaraknya lebih jauh dari mansion.
Ariella melihat banyak kelinci merumput di sekitar sana, dan ia segera kehilangan kendali.
"Aku ingin menangkap mereka!"
"Silakan saja, jika Anda suka."
Ariella mengejar kelinci-kelinci itu, yang membuat hewan-hewan berbulu itu berhamburan untuk melarikan diri. Ariella bahkan meninggalkan pelayannya di belakang, ia terus berlari mengejar seekor kelinci yang masih kecil, dan Ariella berhasil menangkapnya.
Saat itu, Ariella baru menyadari bahwa ia tengah berada di area menembak.
Di ujung sana, terlihat Carlton baru saja akan memulai latihan. Pria itu mengangkat senapan di bahunya dan Ariella akan menjadi sasaran pertamanya.
Ariella bahkan bisa melihat seringai dan kepuasan di mata hijau lelaki itu.
"Lari!" teriak Ariella pada diri sendiri, tetapi sebelum Ariella berlari, suara tembakan pertama yang keras mengejutkannya dan tahu-tahu saja Ariella sudah ambruk di atas rumput.
Dia pingsan!
Dari jauh, Carlton mengumpat, "Sial."
Ariella membuka matanya perlahan.
Kepalanya terasa berdenyut, dan suara riuh burung-burung yang beterbangan terdengar samar di telinganya.
Aroma tanah menyeruak masuk, bercampur dengan aroma khas rerumputan hijau yang ia kenali.
"Apa yang terjadi tadi?" pikirnya, mencoba mengingat apa yang baru saja menimpa dirinya.
Kelinci kecil yang tadi ditangkapnya sudah tidak ada, yang tersisa hanyalah rasa nyeri di lututnya, meski tak ada tanda-tanda luka serius dan ia berada di sana, di atas rumput.
Rupanya ia tidak sendirian.
Pria itu ada di sana-Carlton, membungkuk di atasnya dengan wajah datar.
Tak jauh, pelayan yang tadi menemaninya berdiri dengan tubuh tegang, tak berani mendekat karena takut menghadapi kemarahan sang tuan.
"Apa kau sengaja mencoba membuatku marah, Nona?"
Suara Carlton terdengar dingin, seperti lapisan es yang tajam menusuk.
Ariella mencoba bangkit, namun lututnya gemetar. Carlton meraih lengannya, menariknya gemetar. Carlton meraih lengannya, menariknya agar duduk tegak.