Istri mana yang tidak bahagia bila suaminya naik jabatan. Yang semula hidup pas-pasan, tiba-tiba memiliki segalanya. Namun, itu semua tidak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang akhirnya mengangkat derajat keluarga nyatanya justru melenyapkan kebahagiaan Jihan.
Suami yang setia akhirnya mendua, ibu mertua yang penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya.
Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula Fahmi hadir kembali bersamaan dengan wanita masa lalu Aidan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15~ SAMPAI BERTEMU KEMBALI DALAM VERSI TERBAIK KITA
'Setelah begitu banyak melalui gelombang ujian dan rintangan dalam hidup. Ternyata tetap menjadi waras itu adalah satu kesyukuran yang paling cukup bagiku. Betapa tidak? Disaat orang lain masih berperang dengan pikirannya sendiri. Aku di sini masih Allah beri rasa sadar yang cukup bahwa hidup di dunia ini tidak selalu sejalan dengan ekspektasi. Di saat orang lain masih mencari cara bagaimana untuk pulih. Aku di sini masih Allah beri rasa sabar dalam menghadapi badai luka itu walaupun selama prosesnya hatiku masih sangat perih. Ternyata, menjadi waras itu memang perlu. Sebab, hanya dengan inilah aku selalu yakin bahwa pertolongan-Nya selalu ada.' Gumam Jihan dalam hati.
"Kamu harus kuat, Jihan. Tunjukkan padanya bahwa kamu juga bisa bahagia tanpanya." Di depan cermin, ia tersenyum menatap pantulan dirinya yang terbalut gamis lengkap dengan kerudung berwarna senada.
Setelah melewati beberapa tahap mediasi, hari ini adalah hari putusan sidang perceraiannya dengan Fahmi.
"Bunda," panggil Dafa yang berdiri di ambang pintu kamar.
Jihan pun berbalik, ia tersenyum menatap putranya. "Dafa mau titip salam gak sama Ayah?" Tanyanya setelah bersimpuh di hadapan putranya itu.
Dafa menggeleng pelan, "Gak usah, Bunda. Ayah juga gak sayang lagi sama Dafa." Ujarnya lirih.
"Kenapa Dafa ngomong gitu, Nak? Memangnya Ayah pernah bilang, kalau Ayah udah gak sayang lagi sama Dafa? Enggak, kan?" Tanya Jihan sembari mengusap pucuk kepala putranya.
"Tapi buktinya, Ayah udah gak pernah mau main lagi sama Dafa. Sekarang Ayah juga suka marah-marah sama Dafa, sama Bunda juga."
Jihan tersenyum tipis, "Marah-marah bukan berarti udah gak sayang lagi, Nak. Ya udah, sekarang Dafa mau di rumah aja atau main di rumah Rega?" Tanyanya kemudian. Rega adalah anak tetangga kontrakan sebelah.
"Di rumah aja deh, Bunda juga gak akan lama, kan?"
"Iya, kalau sidangnya udah selesai, Bunda langsung pulang kok." Jawab Jihan, terdiam sebentar menatap putranya. Setiap melihat wajah Dafa, mengingatnya pada Fahmi. Dafa memiliki potongan wajah peris seperti ayahnya.
"Beneran, gak mau titip salam untuk Ayah?" Tanyanya sekali lagi.
"Enggak, Bunda."
"Ya udah, Dafa baik-baik di rumah ya. Bunda pergi dulu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Bunda."
.
.
.
Tak membutuhkan waktu lama, taksi yang ditumpangi Jihan telah terparkir di depan kantor pengadilan agama. Ia lekas turun turun setelah membayar ongkos taksi.
Jihan menatap nanar bangunan di depannya, sekali ia melangkah masuk kedalam sana maka semuanya akan benar-benar berakhir.
Sebuah mobil yang singgah tak jauh dari tempat Jihan berdiri, membuat wanita itu segera mengayun langkahnya masuk ke pengadilan. Ia kenal betul mobil itu adalah milik Fahmi, dan ia tidak ingin bertemu pria itu disini yang mungkin akan melontarkan kalimat penghinaan padanya. Biarlah mereka bertemu di dalam ruang sidang dan mengakhiri semuanya di dalam sana.
"Fahmi, apa kamu tidak mau merubah keputusan kamu? Coba tolong pikirkan lagi, setidaknya pikirkan Dafa jika kamu dan Jihan benar-benar bercerai." Ucap bu Neny yang turut datang menemani anaknya.
Fahmi berdecak kesal mendengarnya, akhir-akhir ini ibunya justru terkesan berbalik membela Jihan. Dan ini bukan yang pertama kalinya sang ibu memintanya untuk kembali rujuk dengan Jihan. "Ada apa sih sebenarnya sama Ibu, huh? Bukannya dari awal Ibu yang udah kasih restu aku sama Windi, lalu kenapa sekarang malah memintaku untuk rujuk kembali dengan Jihan? Akhir-akhir ini Ibu juga kayak udah gak respect sama Windi, ada apa sih, Bu?"
Bu Neny menghela nafas panjang, percuma ia mengatakan tentang Windi yang sebenarnya pada Fahmi, sebab putranya itu juga tak akan percaya. Terakhir kali ia terancam diusir oleh anaknya sendiri karena ulah Windi yang mengadukannya yang tidak-tidak pada Fahmi.
"Udahlah, percuma Ibu ngomong, toh kamu juga gak akan percaya. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Ibu menyesal telah memperlakukan Jihan dengan semena-mena, padahal selama ini dia sangat tulus pada kita. Semoga kamu gak menyesal nantinya," ucap bu Neny lalu mengayun langkah memasuki pengadilan.
Fahmi menghempaskan sebelah tangannya ke udara, benar-benar kesal dengan tingkah ibunya akhir-akhir ini. Ia pun bergegas masuk menuju ruang sidang.
Melihat ibunya menghampiri Jihan, ia pun segera mendekati dan langsung menarik tangan sang ibu. "Apa-apaan sih, Bu? Ngapain nyamperin dia?"
"Kamu yang apa-apaan? Ibu cuma mau nanya kabarnya Dafa!" Balas bu Neny.
"Alhamdulillah Dafa baik-baik saja kok, Bu." Ucap Jihan.
Bu Neny tampak menghela nafas lega, jujur saja sekarang ia sangat merindukan cucunya itu. Menyesal rasanya telah mengabaikannya, sekarang ia merasa kesepian tidak ada Dafa dan Jihan.
"Awas saja kalau sampai terjadi apa-apa sama Dafa, kamu akan aku tuntut!" Tukas Fahmi.
Jihan tersenyum tipis, "Insyaallah aku bisa menjadi ibu sekaligus ayah untuk anakku."
"Sombong! Kita lihat saja, seberapa lama kamu bisa bertahan diluar naunganku."
Jihan memilih diam. Tak berselang lama para majelis hakim memasuki ruangan sidang. Semuanya pun mengambil tempat duduk masing-masing. Fahmi dan Jihan duduk di kursi yang sudah tersedia khusus untuk selaku penggugat dan tergugat yang berada tepat didepan para majelis hakim.
"Hadirin sekalian, sidang hari ini dibuka," ucap hakim kemudian mengetuk palu sebanyak tiga kali sebagai tanda bahwa sidang resmi dibuka secara umum. "Kepada penggugat apakah benar Anda ingin bercerai?" Tanyanya.
Fahmi: "Benar Pak Hakim, saya sudah yakin untuk menceraikan Istri saya."
Hakim: "Apakah saudara benar-benar telah yakin atas semua keputusan yang sudah diambil?"
Fahmi: "Saya sudah sangat yakin, Pak!" Ujarnya mantap.
Hakim: "Apakah Anda tidak ada niat untuk rujuk kembali dengan pasangan Anda?"
Fahmi: "Sama sekali tidak, Pak Hakim." Ia melirik Jihan dengan keyakinan bahwa wanita itulah yang nanti akan datang meminta rujuk padanya.
Setelah mengajukan pertanyaan pada Fahmi selaku pihak penggugat, hakim pun berpindah memberi pertanyaan pada Jihan selaku pihak tergugat.
Hakim: "Kepada pihak Tergugat, apakah Anda setuju dengan keputusan pihak penggugat?"
Jihan: "Iya, Saya setuju Pak Hakim." Jawabnya tanpa keraguan sedikitpun.
Para hakim pun memusyawarahkan pengajuan tergugat dan penggugat. Disamping itu, semua yang ada di ruangan itu hening menunggu hasil keputusan hakim. Meskipun kedua belah pihak sama-sama sepakat untuk berpisah, tapi tetap saja hakim yang bisa memutuskan.
Hingga beberapa saat kemudian terdengar suara ketua hakim yang akan memutuskan hasil persidangan tersebut.
"Hadirin sekalian, kami sudah memutuskan bahwa hasil persidangan ini ... saudara Fahmi Fahrezy dan saudari Jihan Maharani, telah dinyatakan resmi bercerai."
Jihan menundukkan pandangan seiring suara ketukan palu hakim. Ia tidak tahu harus merasa senang atau sedih, sekarang ia benar-benar telah terbebas dari Fahmi, laki-laki pertama yang mengisi ruang dihatinya sekaligus laki-laki pertama yang menorehkan luka yang begitu dalam.
Setelah para majelis hakim meninggalkan ruang sidang, Jihan beranjak untuk menghampiri pria yang telah resmi menjadi mantan suaminya. Ini sungguh tidak mudah baginya, namun ia tetap harus berusaha kuat dan menunjukkan bahwa dirinya kuat dan baik-baik saja meski tanpa pria itu lagi disisinya.
"Sampai jumpa, Mas. Sampai bertemu lagi pada takdir terindah dalam versi terbaik kita masing-masing. Aku bahagia bisa mengenalmu, dan aku bahagia pernah sesayang ini padamu meskipun kini kita kembali menjadi dua orang asing. Semoga Mas selalu dilimpahkan kebahagiaan bersama Istri dan Anak-anak Mas nanti." Ujar Jihan dengan tulus. Namun, tetap saja hatinya merasa tercubit, mendoakan kebahagiaan laki-laki yang pernah mengisi seluruh ruang dihatinya.
"Tidak usah sok mendoakan kebahagiaanku, Jihan. Tanpa kau mendoakan, sudah jelas aku pasti bahagia bersama Windi dan anak kami nanti. Doakan saja dirimu itu yang tidak bisa apa-apa itu!" Cibir Fahmi.
Jihan hanya dapat tersenyum simpul mendengar ucapan mantan suaminya. Sungguh kalimat itu begitu menusuk di dasar hatinya. Tapi apa yang dikatakan Fahmi itu benar. Tanpa doanya, Fahmi pasti akan bahagia bersama Windi.
"Kalau begitu aku pamit, Mas." Sebelum pergi, Jihan melirik mantan ibu mertuanya yang tampak berkaca-kaca. Ia lantas dibuat bingung, sebab dapat merasakan aura kesedihan di raut renta itu. Bukankah seharusnya bu Neny senang kini ia telah berpisah dengan Fahmi, dan sekarang Windi lah satu-satunya menantu pilihannya.
hadech mama Kiara jangan galak2 dong bisa jantungan itu si Jihan papa Denis berasa Dejavu g tu anaknya mau mepet janda 🤭🤭🤭
ayo om dokter Pepet terus jangan kasih kendor dah pasti dibantuin nyomblangin kok ama bang Rian n Nayra 🤭🤭🤭