Akibat jebakan dari tunangan dan saudara sepupu perempuannya.Aurel terpaksa harus menikah dengan Pria miskin yang hanya bekerja di salah satu hotel sebagai Cleaning Service yang gajinya tidak sepadan dengan Aurel.
Cacian dan hinaan terus di dapat oleh Aurel dan keluarganya yang mempunyai menantu miskin selalu di banding-bandingkan dengan menantu-menantu saudaranya yang bekerja di kantoran.
Tanpa Mereka ketahui Suami Aurel memiliki sebuah rahasia besar yang di sembunyikan identitasnya.
Siapakah sebenarnya Suami Aurel itu?
Dan kenapa Identitasnya di sembunyikan?
Ada tragedi apa sebenarnya kenapa identitasnya harus di sembunyikan?
Ketika Ia ingin mengungkap kebenaran siapa dirinya,Tanpa di duga Ia mengetahui sebuah fakta yang mengejutkan dirinya.
Ikuti terus perjalan kisah Aurel dan Suaminya dalam novel Ternyata Suamiku Kaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SumarsihMarsih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30.
Wanita resepsionis itu menaruh kaca di meja dan mengambil ponselnya.
"Saya akan hubungi Bapak Manager," ucapnya sambil memencet beberapa tombol.
Aurel menatap sekeliling lobi hotel yang mewah dengan dekorasi yang elegan, mencoba menenangkan diri.
Beberapa menit kemudian, wanita itu menutup teleponnya dan menoleh kembali kepada Aurel. "Bapak Manager akan segera datang, silakan tunggu di sana," ujarnya, menunjuk ke sebuah sofa yang nyaman di sudut lobi.
Aurel mengangguk dan berjalan menuju tempat yang ditunjuk, duduk sambil menunggu dengan sabar.
Aurel menunggu dengan sabar kehadiran manager di kursi lobi hotel, matanya tak henti menatap pintu lift yang masih tertutup rapat.
Aurel berdiri dari duduknya saat melihat kedatangan sang manager, sang manager itu menyuruh Aurel untuk duduk kembali di kursinya. Aurel hanya mengangguk dan duduk kembali di kursinya, tangan Aurel gemetar sedikit.
Ia menyesuaikan duduknya, berusaha menunjukkan sikap yang tenang.
"Saya sudah mengetahui maksud kedatangan Nona Aurel untuk datang kemari, perihal proyek yang akan kami kerjakan bukan." Tebak sang manager sehingga membuat Aurel bertanya-tanya dari mana sang manager bisa tahu kalau dirinya akan menawarkan proyek itu.
"Benar sekali bapak.....," Aurel tidak tahu harus memanggil pria di depannya itu siapa.
"Panggil saja saya pak Doni nona Aurel." Pak Doni yang mengerti kebingungan Aurel untuk memanggil apa, langsung memperkenalkan namanya.
"Benar sekali pak Doni, maksud kedatangan saya ingin menawarkan proyek itu biar kami yang menghandel." Aurel menyerahkan map berwarna coklat ke tangan pak Doni.
Dengan senang hati pak Doni menerima map itu, pria itu membuka map itu satu persatu dan mengangguk-angguk kan kepalanya saat membaca poin-poin penting dalam berkas itu.
"Bagaimana pak Doni?" Tanya Aurel dengan penuh harap.
"Saya suka dengan berkas yang nona Aurel tawarkan." Jawab Doni setelah selesai membaca berkas dari perusahaan Aurel.
Aurel tersenyum dan merasa lega saat mendengar jika pak Doni menyukai berkas yang baru saja ia buat secara mendadak, namun ada satu hal yang mengganggu pikiran nya soal kebijakan perusahaan.
"Jadi, Nona Aurel, saya mendengar bahwa Anda memiliki beberapa pertanyaan yang ingin Anda sampaikan secara langsung kepada saya," ucap sang manager dengan suara yang tenang namun tegas.
Aurel mengambil napas dalam, matanya menatap langsung ke mata sang manager.
"Benar, Pak. Saya ingin mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan terbaru perusahaan yang akan segera diterapkan. Saya khawatir ini akan berdampak pada tim saya."Sang manager mengangguk-anggukkan kepalanya, memahami kecemasan yang dirasakan oleh Aurel.
"Saya mengerti kekhawatiran Anda. Mari kita bahas lebih lanjut tentang hal ini."
Pembicaraan berlangsung intens, dengan Aurel sesekali mencatat poin penting di bukunya. Ekspresi wajahnya berubah-ubah, menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam dan juga kecemasan yang ia rasakan.
Sang manager memberikan penjelasan dengan sabar, memberikan ruang bagi Aurel untuk mengemukakan pendapat dan pertanyaan.Saat pembicaraan berakhir, Aurel merasa lega namun masih ada benang keresahan yang tersisa.
Ia berterima kasih dan berjabat tangan dengan sang manager sebelum keduanya berpisah. Aurel berjalan keluar dari lobi dengan langkah yang lebih mantap, namun pikirannya masih melayang-layang mencoba mencerna semua informasi yang baru saja didapatkannya.
Langit biru cerah terbentang luas saat Aurel melangkah keluar dari hotel mewah tempat pertemuan itu berlangsung. Senyum lebar menghiasi wajahnya, mata cemerlang penuh kepuasan karena proyek kerja sama yang baru saja dia amankan.
Ia merasa seolah-olah semua tekanan dan kerja kerasnya selama ini berbuah manis.Di tempat lain, Pak Doni segera menghubungi Rex melalui telepon.
"Pak Rex, saya ingin memberitahu bahwa saya tidak membuat kesulitan bagi Nona Aurel," ujarnya dengan nada hormat.
"Saya sudah menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaannya. Semuanya berjalan lancar."
Mendengar kabar tersebut, Revan tidak bisa menyembunyikan kelegaannya. Ia berdiri di jendela kantornya, memandang ke luar sambil tersenyum tipis. Ada rasa bangga dan senang karena diam-diam ia telah berkontribusi membantu Aurel mendapatkan proyek itu, meskipun istrinya itu tidak mengetahui bahwa ada campur tangan darinya.
Revan berpikir, mungkin suatu hari nanti, ia akan memberitahu Aurel tentang perannya dalam kesuksesan ini, tapi untuk saat ini, ia puas hanya dengan melihat Aurel bahagia dan berhasil.
Radit yang melihat Aurel yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan wajah ceria tentu saja merasa penasaran, Radit takut jika Aurel berhasil mendapat proyek kerja sama itu.
"Aurel, bagaimana apa kau berhasil mendapat proyek kerja sama itu?" tanya Radit dengan rasa penasaran yang tinggi.
Aurel menghentikan langkahnya dan tersenyum menatap Radit yang tengah menatapnya dengan penasaran.
"Mau apa kau Aurel? Apa kau mau menggoda suamiku?" Tuduh Ema menatap tak suka pada Aurel yang berdiri di depan Radit. Dengan tenang, Aurel mengayunkan tas tangannya dan duduk di sofa tanpa mempedulikan tatapan tajam Ema.
"Tenang saja, Ema, aku tidak berniat menggoda siapa pun. Aku hanya ingin memberi tahu Radit bahwa proyek kerja sama itu berhasil kudapatkan. Jadi, bisa dibilang ini adalah kemenangan besar bagi kita semua," jelas Aurel sambil tersenyum lebar.
Ema mendengus, jelas tidak senang dengan kenyataan bahwa Aurel berhasil mendapat proyek itu, tapi dia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Radit, yang semula cemas, kini terlihat lega dan memberikan selamat kepada Aurel. Atmosfer ruangan itu terasa tegang namun juga dipenuhi rasa lega dan kebahagiaan karena keberhasilan Aurel.
****
Di dalam kamar terdapat pasangan ibu dan anak yang tengah membicarakan keberhasilan Aurel yang mendapat proyek kerja sama itu, wanita muda itu tidak suka dengan kabar Aurel yang berhasil mendapatkan proyek kerja sama itu dengan mudah.
"Aku yakin Aurel mendapat proyek kerja sama itu dengan sesuatu yang tidak seharusnya." Ema berkata dengan nada curiga, menopang dagunya dengan tangan sambil matanya menerawang jauh.
Ibu Ema hanya menghela napas, duduk di samping Ema dan mengusap punggungnya.
"Mungkin kita hanya perlu lebih berusaha lagi," kata Ibu Ema mencoba menenangkan.
Ema menggeleng, "Tapi bu, semua tahu Aurel itu licik. Dia pasti melakukan sesuatu yang curang. Aku tidak percaya dia bisa mendapatkan proyek besar itu hanya dengan kemampuannya saja." Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
Ibu Ema terdiam, ia tahu putrinya terlalu keras kepala untuk segera menerima keadaan.
"Ema, kita tidak bisa menuduh tanpa bukti," ujar Ibu Ema, berusaha mengingatkan.Ema bangkit dari duduknya, berjalan ke jendela dan memandang keluar.
"Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, bu. Aku tidak bisa membiarkan Aurel terus-terusan menang dan lebih unggul dari aku." Tekadnya terlihat jelas dari cara dia menggenggam erat bingkai jendela.
Ibu Ema hanya bisa menghela napas lagi, berharap semoga Ema tidak terlalu larut dalam kebenciannya terhadap Aurel sehingga melupakan hal-hal penting lain dalam hidupnya.
****
Aurel memasuki kamar tamu dengan langkah yang ringan, raut wajahnya berseri-seri. Sebelum sempat dia duduk, Nadin yang sudah berada di sana menyambutnya dengan pertanyaan yang penuh antusiasme,
"Bagaimana Aurel dengan proyek kerja sama itu?"
Tanpa menahan semangat, Aurel menjawab, "Aku berhasil mendapatkan proyek kerja sama itu."
Suaranya penuh dengan kegembiraan yang terpancar jelas dari sorot matanya yang berbinar.Siska, yang sedang menyeduh teh di sudut ruangan, mendengar kabar itu dan segera bergabung dalam percakapan.
"Wah selamat ya kak Aurel, tidak mudah loh mendapat proyek kerja sama dengan hotel itu. Kak Aurel hebat." Ucapnya, sambil menyodorkan cangkir teh hangat kepada Aurel.
"Terima kasih ya Siska," Aurel menanggapi dengan senyum lebar, sambil mengambil cangkir teh dari tangan Siska.
Kedua tangan mereka sebentar bersentuhan, menambah kehangatan di ruangan tersebut.
Nadin, yang duduk di seberang Aurel, ikut menumpahkan rasa senangnya,
"Selamat ya Rel, aku ikut senang mendengarnya." Matanya tidak lepas dari wajah Aurel yang tampak bahagia itu.
Aurel meneguk tehnya perlahan, merasakan kehangatan yang melingkupi ruangan tersebut. Kegembiraan dan dukungan dari teman-temannya memberikan energi tambahan bagi dirinya untuk menghadapi tantangan baru yang akan datang dengan proyek kerja sama tersebut.
****
Saat makan malam tiba, kedua orang tua Aurel merasa bangga atas pencapaian yang di raih oleh putrinya. Satu persatu yang ada di ruang makan mengucapkan selamat pada Aurel, karna wanita itu berhasil mendapat proyek kerja sama itu.
Tidak ketinggalan Nadin dan Siska mengucapkan selamat, begitu pun dengan Radit dan Ema walaupun mereka berdua terpaksa mengucapkan itu.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan proyek kerja sama ini Aurel? apa kau menukar proyek ini dengan tubuh mu itu, Benarkan yang aku katakan? tidak mungkin kau bisa mendapatkan proyek kerja sama ini dengan mudah kalau tidak ada imbalannya." Tuduh Ema sehingga membuat yang ada di ruang makan terkejut dengan tuduhan Ema yang tidak masuk akal.
Aurel memandang piringnya, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang mendalam akibat tuduhan Ema.
Tangan kanannya memegang garpu terhenti di udara, dan dia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Aku mendapatkannya dengan kerja keras, Ema. Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu." suaranya terdengar tegas namun ada sedikit getar yang menandakan dia terluka.
Ayahnya yang duduk di seberang meja, mengamati interaksi antara saudara sepupu dan anaknya itu dengan perasaan campur aduk.
Dia tahu betapa kerasnya Aurel bekerja, menghabiskan malam demi malam untuk menyiapkan presentasi dan proposal.
"Kami tahu kamu bekerja keras, Sayang." sahut Ayahnya, berusaha meredakan ketegangan.
"Kami sangat bangga padamu."
Ema, masih dengan pandangan yang tajam, menghela napas dan kembali ke makanannya, namun tetap dengan rasa tidak puas yang terpancar dari ekspresinya.
Aurel, meski hatinya masih bergetar, mencoba kembali makan malamnya, mencoba meredam luka di hatinya dengan kesuksesan yang telah ia raih.