Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Aku tidak percaya apa yang kulihat di lembaran kertas itu. Tangan Dion ternyata menunjukkan masalah. Diagnosisnya... infertilitas pria. Keterbatasan Dion dalam menghasilkan keturunan sudah jelas tertulis di situ. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, menahan perasaan yang campur aduk—antara marah, kecewa, dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhku.
Bu Ningsih, masih dengan percaya dirinya berdiri di depanku seolah-olah dia sudah memenangi pertempuran besar. "Nah, Kirana. Apa kamu masih mau menyalahkanku? Ini bukan tentang kamu. Masalah ada pada Dion, dan selama ini aku yang berusaha menutupinya."
Dion tetap diam, duduk di kursinya dengan kepala tertunduk dalam. Aku bisa melihat betapa hancurnya dia, tapi rasa frustrasi dan sakit hatiku tak bisa lagi kutahan.
"Jadi, selama ini... kamu tahu?" tanyaku, suaraku bergetar.
Bu Ningsih menyahut dengan dingin, "Tentu saja ibu tahu. Sejak beberapa bulan lalu, kami sudah melakukan pemeriksaan ini. Tapi Dion terlalu pengecut untuk memberitahumu. Dan sekarang, kamu tahu alasan kenapa aku menentang pernikahan kalian. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Dion."
"Kamu..." Nafasku tersengal. "Kamu sengaja membuatku merasa seperti aku yang salah. Kamu biarkan aku terus merasa direndahkan, merasa tidak berguna!" Kulampiaskan amarahku pada Dion.
Bu Ningsih hanya mengangkat bahu. "Demi kebaikan Dion. Aku tidak peduli apa yang kamu rasakan. Yang penting anakku bahagia."
Kata-kata itu menamparku. Seperti semua kebenaran pahit yang berlapis-lapis, tiba-tiba semuanya jatuh dan menghancurkanku sekaligus. Jadi, selama ini aku bukan saja menjadi korban ketidaktahuan, tetapi juga kebohongan mereka. Dion, yang seharusnya menjadi pelindungku, memilih bungkam. Dan mertuaku... ah, betapa aku membencinya.
Aku menatap Dion, berharap dia akan mengatakan sesuatu—apapun untuk memperbaiki perasaan ini. Namun, dia tetap diam, seolah tenggelam dalam dunianya sendiri. "Dion..." bisikku, air mataku mulai mengalir deras. "Kenapa kamu tidak bilang apa-apa padaku? Kenapa kamu biarkan Ibumu mempermalukanku selama ini?"
Dion akhirnya mendongak, tetapi ekspresinya penuh dengan rasa bersalah yang mendalam. "Kirana... Aku... Aku takut. Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku tidak ingin kamu pergi. Aku... Aku terlalu lemah untuk menghadapi kenyataan ini."
Kata-katanya yang putus asa membuatku semakin hancur. "Lemah? Kamu biarkan aku diserang setiap hari, Dion! Kamu biarkan aku terus merasa bahwa aku yang salah, aku yang tidak mampu! Padahal semua ini... semua ini karena kamu!"
Aku tak bisa lagi menahan perasaan sakit yang memenuhi dadaku. Seperti aliran air yang tak terbendung, emosi itu meluap, membuat suaraku meninggi. "Kamu tahu betapa kerasnya aku berusaha untuk mempertahankan pernikahan ini, meskipun Ibumu terus menghancurkanku dari dalam! Dan sekarang kamu... kamu malah sembunyi di balik ketakutanmu sendiri? Apakah kamu tidak pernah memikirkan perasaanku?!"
Dion tidak menjawab. Wajahnya terlihat semakin lesu, seolah tidak mampu mengangkat dirinya dari beban yang begitu besar. Tapi aku tidak lagi peduli. Selama bertahun-tahun aku sudah cukup bersabar. Aku sudah menelan terlalu banyak kesedihan, terlalu banyak rasa sakit. Kali ini, aku harus memutuskan apa yang terbaik untuk diriku sendiri.
Aku berdiri dari kursiku dengan cepat, mataku mengarah tajam kepada Bu Ningsih. "Cukup," kataku, dengan suara yang bergetar penuh amarah. "Aku tidak akan lagi menjadi korban kebohongan ibu atau anakmu. Aku sudah cukup menderita."
Bu Ningsih tampak terkejut dengan keberanianku yang baru. "Kamu mau apa? Pergi dari rumah ini? Kamu tidak akan bisa hidup tanpa Dion!"
Aku tertawa sinis. "Benarkah? Ibu salah besar. Aku sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang Dion dan Ibu. Tapi aku sudah belajar satu hal—aku bisa berdiri sendiri. Uangku, pekerjaanku, semuanya. Aku tidak butuh Dion, dan aku lebih-lebih tidak butuh Ibu."
Aku berbalik, melangkah menuju kamar untuk mengemas barang-barangku. Dion tidak mengejarku, dan aku tahu, ini adalah akhir dari pernikahan kami. Aku sudah membuat keputusanku. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan di sini, tak ada lagi yang harus aku pertahankan. Aku akan pergi dan memulai hidupku sendiri, tanpa beban dari masa lalu ini.
Namun, saat aku membuka pintu kamar dan mulai mengambil koporku, suara Bu Ningsih terdengar lagi dari ruang tamu. “Kamu pikir kamu bisa lari dari semua ini, Kirana? Kamu pikir hanya kamu yang bisa menyelamatkan diri? Lihat saja nanti. Setelah kamu pergi, Dion akan menikah dengan seseorang yang lebih pantas. Seseorang yang bisa memberinya kebahagian melebihi dirimu.”
Aku terhenti sejenak, tangan masih menggenggam pakaian yang sudah siap dimasukkan ke dalam koper. Kata-katanya menyakitkan, tapi kali ini tidak ada yang bisa mengguncang keputusanku. Aku tahu bahwa hidupku tidak bisa terus bergantung pada anggapan orang lain—apalagi mertuaku.
Setelah beberapa menit, koperku siap. Aku berjalan keluar kamar dengan kepala tegak, siap meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Dion masih duduk di meja makan, terdiam dengan tatapan kosong. Bu Ningsih berdiri di sampingnya, masih dengan senyum sinis di wajahnya.
Aku tidak berkata apa-apa. Hanya ada keheningan saat aku melewati mereka. Namun, ketika tanganku sudah memegang gagang pintu, Bu Ningsih berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih dingin.
"Kamu mungkin pergi sekarang, Kirana," katanya pelan. "Tapi aku akan pastikan kamu tidak akan pernah bahagia. Kamu bukan siapa-siapa tanpa Dion. Kamu tidak akan pernah bisa berhasil tanpa keluarganya."
Aku menoleh, menatapnya sekali lagi. "Kita lihat saja nanti, Bu Ningsih. Saya sudah cukup hidup dalam bayangan Ibu. Sekarang giliran saya untuk menjalani hidup saya sendiri."
Dengan itu, aku membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan rumah yang selama ini menjadi penjara bagiku. Namun, di dalam dadaku, ada rasa sakit yang masih menusuk. Bukan hanya karena Dion, tapi juga karena kenyataan bahwa kehidupan yang kuharapkan selama ini runtuh di hadapanku.
Tapi aku tidak bisa lagi melihat ke belakang. Saat melangkah keluar dari gerbang rumah itu, aku tahu ini adalah awal dari sesuatu yang baru—sesuatu yang lebih baik.
Namun, ketika aku sudah di ambang jalan, tiba-tiba ponselku bergetar di dalam tas. Nomor tak dikenal. Aku berhenti sejenak, membuka pesan yang baru saja masuk.
"Kirana, aku tahu semua tentang Dion. Kita harus bicara. Ini penting."
Aku menatap layar ponsel itu dengan jantung yang berdebar-debar. Siapa ini? Dan apa yang dia tahu tentang Dion?