Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 29
“jelaskan!” ucap Dean sambil melemparkan dompet Bimo yang terbuka menampilkan foto Ara di dalamnya. Dean mengepalkan tangan dengan rahangnya yang ikut mengeras.
David yang sedari tadi duduk bersandar sambil menutup matapun seketika membuka mata dan membelalak kaget, laki-laki itu memandang wajah Dean dan Bimo bergantian.
Sedangkan Bimo yang juga terkejut, segera menguasai keterkejutannya. Laki-laki itu menatap Dean datar, mungkin sudah saatnya Dean tau fikirnya.
Dengan berjalan pelan Bimo duduk kembali di tempatnya lalu meraih dompetnya mengeluarkan satu-satunya foto dalam dompet itu. membuka lipatan pada foto tersebut lalu meletakkannya di meja persis di depan Dean. Dean menatap Bimo dengan tajam, foto itu menampilkan seorang Ara dalam balutan seragam pelayan cafe persis seperti rupa Ara dalam foto yang beberapa hari yang lalu dilihat oleh Dean. Dean melonggarkan lilitan dasinya yang terasa semakin mencekik lehernya. Gurat marah terlihat jelas di wajahnya.
David juga ikut melihat, laki-laki itu bahkan meraih foto tersebut, ia memerhatikan dengan seksama.
“kapan foto ini diambil?” tanya David sembari kembali meletakkan foto itu di atas meja.
“sekitar lima tahun yang lalu,” jawab Bimo.
David menatapnya tak percaya, namun melihat wajah serius Bimo ia menjadi yakin, laki-laki itu sedang tidak main-main. David meraih gelasnya, di sampingnya Dean masih terdiam memandang tajam pada foto yang tadi ia letakkan.
“aku pertama kali bertemu Ara lima tahun lalu,” Bimo mulai bercerita. Bola matanya bergerak ke atas, seolah ia mencoba membayangkannya kembali pertemuan itu.
“mungkin kalian lupa tapi aku pertama kali datang ke cafe itu bersama kalian. Waktu itu aku ingat sekali kau menyukai americano di cafe itu” ucap Bimo sembari melihat David yang terlihat sedang mengerutkan keningnya.
“hingga tidak lama kau mengetahui bahwa cafe itu adalah milik Alan, mantan pacar Mentari.”
David menepuk jidatnya, ia mengingat cafe itu. Dean juga sepertinya ingat, laki-laki itu kini memperhatikan Bimo yang hendak melanjutkan bercerita.
“Pelayan yang mengantarkan minuman kita hari itu adalah Ara.” Bimo tersenyum. Suasana yang sejak tadi tegang tak menyurutkan senyum Bimo.
“aku ingat jelas senyum Ara saat itu, hangat sekali, aku menyukainya mulai hari itu. Sejak saat itu aku sering datang ke cafe itu sendirian, setiap minggu aku selalu menyempatkan diri ke sana. Sekitar dua bulan, tapi saat itu aku terlalu pengecut, aku terlalu takut untuk mengajaknya berkenalan, aku hanya tau namanya, Diara, dari name tag seragam kerja yang dia pakai. Hingga suatu hari saat aku berhasil mengumpulkan keberanian, aku datang ke cafe itu dengan tekat akan mengajaknya berkenalan dan menanyakan nomor ponselnya, tapi kemudian aku mengetahui Ara tidak ada di sana, dia tidak bekerja lagi di sana, beberapa hari sebelum aku datang dia sudah mengundurkan diri. Saat itu merasa sangat menyesal, sejak saat itu aku tidak pernah melihat Ara lagi sampai aku melihatnya di altar pernikahan bersamamu Dean.”
Dean terdiam, menatap Bimo yang juga tengah menatapnya. Dia sengaja hanya diam dari tadi, membiarkan Bimo menyelesaikan ceritanya.
Sama halnya dengan Dean, David pun terdiam, terlalu tercengang dengan pengakuan Bimo barusan.
“kenapa kau tidak pernah mengatakannya selama ini?” tanya Dean.
“bagaimana aku harus mengatakannya, apakah aku harus mengatakan ‘Dean aku mencintai istrimu, bisakah kau menceraikannya untukku’ begitu? Lalu apa-”
Kalimat Bimo terpotong, Dean bangkit dari duduknya dan dengan cepat menghantam pipi kanan Bimo dengan keras. Badan Bimo terlempar ke samping. Ia lalu meraih kerah kemeja Bimo, mata mereka saling menatap tajam.
“dasar bajing*n!” maki Dean. Tangannya terangkat hendak menghantam lagi wajah Bimo, namun David melerai, ia menahan tangan Dean yang mengepal.
“kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah Dean, itu hanya akan memperburuknya,” ucap David.
Mendengar itu Dean melepaskan kerah kemeja Bimo dengan kasar, tubuh Bimo terhempas di sandaran sofa. Laki-laki itu memperbaiki kembali pakaiannya, ia terlihat tenang bahkan tak membalas pukulan keras Dean, pipi bagian dalamnya terasa perih, ia kemudian mengambil tisu, menyeka sudut bibirnya yang berdarah.
Dean kembali duduk, wajahnya memerah, dadanya naik turun, urat lehernya menonjol, amarahnya masih menggebu. Bimo sepertinya tidak merasa bersalah atas perkataannya kepada Dean, dan itu semakin membuat Dean murka. Laki-laki itu hendak meraih gelasnya untuk minum.
“aku mencintai Ara.”
Pengakuan dari Bimo semakin menyulut amarah Dean, laki-laki itu meremas gelas di tangannya hingga pecah, darah menetes di lantai.
“apa yang kau lakukan? Apa kau gila?” ucap David yang terkejut melihat tangan Dean berlumuran darah, ia lalu mengambil tisu di atas meja, menyeka tangan Dean, setelah merasa darah sudah berhenti keluar laki-laki itu kemudian melepaskan dasi Dean lalu melilitkannya di tangan laki-laki itu.
“nanti jangan lupa bersihkan di rumah, ganti pakai perban,” kata David setelah selesai. Dean tidak menjawab, pandangannya masih mengarah tajam ke arah Bimo.
“aku tidak berniat berselisih denganmu Dean, kau sahabatku, meskipun setiap melihat dan mendengar perlakuanmu kepada Ara membuatku marah. Ara tidak bahagia, dia menderita, tapi aku berusaha menahan diri. Aku tau, aku tidak berhak marah, kemudian perlahan-lahan aku sadar, bahwa pernikahanmu dengan Ara memang tidak ada masa depan seperti katamu.” ucap Bimo lemah, dia tau Dean mungkin akan menghantamnya lagi, tapi dia tidak masalah, dia malah bersyukur kesempatan ini akhirnya dia dapatkan, di mana dia dapat mengakui perasaanya yang selama ini dia sembunyikan dari sahabat-sahabatnya.
“aku akan menunggu kalian bercerai, aku tidak perduli kau akan marah padaku atau bahkan memukuliku hingga mati, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan lagi. Aku tidak perduli bagaimana penilaianmu tentang Ara, mau dia kaki-tangan tante Ayana atau apa-pun itu aku tidak perduli, aku harap kau mengerti perasaanku, lagi pula kau memang membencinyakan?” sambung Bimo. Dia menatap Dean sungguh-sungguh.
Dean yang mendengar itu membuang nafasnya kasar, lalu ia tertawa keras,membuat David dan Bimo menatapnya heran. Dean kemudian meraih botol minuman di depannya yang isinya sudah berkurang setengah lalu menenggaknya langsung hingga habis. Dean mengusap dagunya yang basah oleh tetesan minuman dari botol itu. Ia kemudian menyeringai ke arah Bimo.
David yang melihat itu hanya bisa memijat pelipisnya, ia bingung harus bagaimana. Yang dapat ia lakukan hanyalah memastikan dua sahabatnya itu tidak saling membunuh. Dean beberapa waktu lalu baru saja mengakui perasaannya kepada Ara dan sekarang Bimo mengakui perasaannya dengan gamblang di hadapan Dean. Jika ia ada di posisi Dean sudah pasti ia akan marah seperti Dean, tapi jika ia membayangkan berada di posisi Bimo yang notabenenya sudah lebih dulu mencintai Ara ia juga merasa kasihan.
“kau berharap aku memahami perasaanmu? Baikah Bim jika kau memang sangat ingin memilikinya silahkan, yakinkan dia untuk mengajukan gugatan perceraian. Aku memang ingin bercerai darinya, perempuan itu tidak berarti apa-apa untukku.” David memutar bola matanya mendengar kalimat Dean, egonya yang besar mengalahkan laki-laki itu.
Setelah mengatakan itu Dean langsung bangkit, menyambar ponsel dan jasnya di sandaran sofa lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tangannya menggengam jasnya erat, melampiaskan emosi yang semakin ingin meledak.
Sesampainya di parkiran ia kemudian segera masuk ke dalam mobil, menutup pintu mobil dengan keras hingga mengagetkan beberapa orang yang sedang berada di parkiran. Tangan Dean menghantam setir berkali-kali hingga lilitan dasi di tangannya mengendur.
“sial*n!... Bajing*n!....” umpatnya.
Masih dengan emosi yang menggebu, Dean menghidupkan mesin mobil lalu menjalankannya, mobil Dean melaju kencang membelah jalanan yang sudah lenggang menuju ke rumah di mana Ara masih terjaga menunggu kepulangannya.