NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pengakuan

Suara klakson kendaraan terdengar bersahutan. Aku menatap beragam pemandangan yang tersaji di depan mata sembaru menunggu datangnya ojek pribadi yang selalu setia ke manapun tujuanku. Saat ini matahari sudah mulai menampakkan kegarangannya, karena memang sudah hampir tengah hari. Hari ini adalah hari terakhir sesi terapi yang ku jalani di rumah sakit ini.

Dengan kesadaran sendiri, aku memilih menjalani sesi konseling pada psikiater. Aku ingin bebas, dari beberapa perasaan yang tentunya sangat mengganggu, agar ke depan, tak ada lagi drama heboh yang terjadi. Aku berhasil melewati sesi setelah satu tahun menjalani terapi.

"Udah lama, Yang? Maaf, ya, Mas telat jemputnya." Mas Dwi menghampiri.

"Belum lama, Mas udah beres ngajarnya?"

"Hari ini udah, kita ke mana lagi?"

"Ga tahu, Mas ada kegiatan lain? Aku laper, tapi nanggung, ntar aja abis zuhuran, biar sekalian pulang. Gimana?"

"Iya, terserah Aya. Aya ngga ada yang mau dibeli dulu? Buat sekedar ganjal perut?" tawarnya.

"Mas mau juga? Ayo mampir ke minimarket di deket lampu merah depan."

"Iya, Schazt. Ayo pergi." Ia menggenggam jemariku dengan lembut.

Kami berlalu dari taman rindang itu. Mampir di minimarket dan lanjut ke masjid terdekat. Menghabiskan waktu di jalan adalah kegiatan baruku setelah menikah dengan lelaki ajaib ini. Karena tempat mengajarnya yang lumayan jauh dari rumah, dan ia yang selalu membawaku bersamanya.

"Sayang, gimana hari ini?" tanyanya setelah kami kembali ke mobil. Sebelum berangkat, ia tak lupa membuka roti dan air minum yang masih bersegel.

"Alhamdulillah, Mas, dokter Yusuf bilang sudah bisa di stop konselingnya. Aku harap, setelah ini ga ada drama lagi, hehe," cengirku.

Ia menoleh sebentar dengan tangan yang mampir ke kepalaku. "Alhamdulillah, Aya udah ngerasa lebih baik? Kalau ada apa-apa, jangan segan cerita sama Mas, walau mungkin Mas ga bisa bantu saat itu juga, tapi kita bisa cari solusi sama-sama."

Aku tersenyum dan mengangguk menanggapinya. Sesekali aku menyuapinya yang tengah mengemudi. Aku memandangnya, sungguh, hal yang paling ku syukuri saat ini adalah menyudahi permainan petak umpet konyol yang ku mulai sendiri itu.

"Kenapa, baby? Ada yang salah?" Ia bertanya setelah menyadari aku terdiam menatapnya.

"Ngga ada, Mas. Cuma bersyukur aja, sabar banget ngadepin mood anak kicik ini. Andai beneran ditinggal, kek mana pula nasibku."

"Nggaklah, dari masih make seragam putih merah udah ku tandai. Ye kali mau dituker sama yang lain. Bodoh kali keknya kalo sampe kejadian."

"Hasek, dibucinin tuh kek gini ternyata. Ada bangganya dikit aku tuh, tapi Mas, maaf ya, sampe sekarang aku nunda itu."

"Kamu sih, main kabur-kaburan ga jelas, padahal fakta udah seterang matahari siang ini, masih aja nyangkal. Kamu ngomongin apa? Masalah anak? Ya nggak ada masalah, Ay, kapan kamu siapnya, Mas ga maksa."

"Tapi aku ga enak sama bunda, sama ayah, beliau pasti pengen gendong cucu juga dari Mas," sahutku pelan.

"Cucunya udah ada, Ay, pelan-pelan aja."

"Aku takut kalo anak kita bakal ngerasain apa yang ku rasain, Mas. Jahat banget aku nyamain kamu sama pak Reza. Padahal kamu jauh lebih baik dan lebih segalanya dibanding dia. Maafin Aya, Mas. Kamu bener, kok bisa-bisanya aku egoisnya cuma sama kamu." Aku mendesah frustasi.

Mas Dwi tak menjawab, ia menepikan kendaraan yang kami tumpangi ini. Tanpa kata, ia membawaku ke pelukan hangatnya. Bisa ku rasakan ia mengecup kepalaku berulang, berharap bisa mengurai keresahan yang ku rasakan.

"Maafin Mas juga, Sayang. Demi Allaah, Mas ga maksud ngomong gitu sama kamu, padahal kamu kaya gitu aja udah nunjukin kalo Mas ini punya tempat berbeda di hati kamu di banding sama orang lain. Kamu pasti kepikiran terus, ya? Sampe seterusnya, kamu boleh keluarin sisi egoismu di depan Mas. Berat banget ya selama ini, kamu nahan semuanya sendirian."

"Nggak juga, Mas. Aku udah terbiasa, sampe ngga sadar kalo sebenernya beban itu ada. Waktu itu, aku juga mikir, ternyata bener, selama ini aku berlaku nggak adil sama kamu, bahkan sampai hari ini."

"Udah, ya, ga usah inget yang dulu, ya artinya yang jelek-jelek dulu, Yang. Jadiin pelajaran, biar ke depannya ngga terulang. Mas juga salah waktu itu, kebawa emosi, semoga nanti Mas bisa lebih sabar lagi, Aya juga ingetin Mas, andai nanti kelewat batas. Mas sayang sama kamu, sayang banget. Kita pulang, ya? Kamu kalo capek, tidur aja," ucapnya panjang.

Aku iyakan saja, karena perjalanan masih panjang. Dia benar, jadikan masa lalu sebagai pelajaran berharga, ambil baiknya dan buang buruknya. Aku memang pernah mengusulkan untuk menunda kehamilan, yang tentu saja akan selalu diaminkan olehnya. Alasanku? Aku dan ketakutan serta overthinking adalah paket tak terpisahkan.

Pola pikirku yang rumit, dan segala pikiran berlebihan itu memang tak bisa hilang. Karena itulah, memasuki tahun ke dua pernikahan kami, aku memutuskan untuk menjalani perawatan psikiater untuk memperbaiki mentalku sebelum semakin berpengaruh di kehidupan pernikahanku. Dan kali ini, aku siap, mungkin menjadi ibu adalah obat untukku.

Aku akan berusaha menjadi orang tua yang baik dan bertanggungjawab untuk anak-anak kami kelak. Takkan ku biarkan mereka merasakan sakit dan kekurangan kasih sayang. Biar aku saja yang merasakannya, bagaimana sakitnya terabai oleh ayah. Aku percaya, Mas Dwi tak akan abai pada anak kami.

"Mas," panggilku.

"Dalem, kok nggak jadi tidur, Yang?" sahutnya.

"Ngantuknya kabur, Mas. Mungkin takut kalo Mas ga ada temen ngobrol."

"Ada-ada aja, mau turun makan ga, Yang?"

"Aku kenyang sama roti tadi, Mas kalo laper ayo cari tempat makan."

"Nggak sih, ntar aja. Masih rada kenyang juga pake roti tadi. Kamu nggak bosen di rumah terus, Yang?"

"Kan ngga tiap hari di rumah terus, love. Aku sering ngintilin kamu, kenapa? Kamu capek liat aku ngebangke di rumah?"

"Aih, si ayang, sering-sering atuh manggil Masnya pake panggilan manis gitu. Ngga gitu, bebebnya Dwi, takutnya kamu bosen, karena Mas ga bolehin kamu kerja lagi. Kadang kepikiran juga, padahal dulunya kamu anaknya aktif banget, tapi pas udah nikah sama aku, kamu jadi jarang keluar rumah kalo ga sama aku."

"Aku mau ke mana juga, Mas, ga ada. Dulu sering keluar juga kan buat ketemu kalian, sekarang mau ketemu juga tinggal chat yang lain, sejam udah pada kumpul semua. Makanya, ga usah nunda lagi deh kayanya, Mas, biar ntar aku ada temennya kalo kamu lagi ngajar."

"Eh, beneran? Alhamdulillah, bismillah ya, Yang, semoga Allaah segera mengamanahkan sama kita. Mau berapa orang?"

"Se-dikasi-Nya aja, love, aku mau banyak aja, biar ga kesepian kaya aku. Semoga Allaah meridhoi," do'aku.

"Aamiin, atur aja, Yang. Kamu yang punya badan, kamu yang bakal ngerasain jadi ibu hamil. Aku ikut apa kata kamu aja, tahu sendiri, kamu itu tetep jadi prioritasku."

"Berasa jadi customer BCA, prioritas tanpa batas. Aku pernah ngomong ga sih, Mas?"

"Ngomong apa, baby? Ooh, pastinya lebih dari sekedar costumer sih, banyak plus-nya dong."

"Kamu tahu, Mas? Aku sebenarnya udah lama pengen bilang, kalo aku jatuh cinta sama kamu, bahkan sebelum aku sadar kalo aku cinta, bisa gitu? Bisa, karena dari dulu yang pertama ku cari kalo ada apa-apa itu, pasti kamu. Mau sedih, mau seneng, pasti lari ke kamu. Sabarmu yang seakan ga pernah habis itu bikin aku nyerah sama permainan ngumpet tiada akhir itu."

"Dari dulu, aku tahu kalo sebenarnya kamu bukan sekedar sahabat, tapi lebih seperti rumah. Tapi aku takut, kalo perasaan itu jadi beban buat kamu. Karena sebelum mama pergi, beliau pernah nitip aku ke kamu, Mas. Aku takut kamu ga bahagia karena ngelakuin semua itu dengan terpaksa," ucapku jujur.

"Astaga, kan, emang bener dah, pikirannya emang luar biasa. Dengan kepala sebesar itu, pikirannya ngalahin luas dunia. Mama emang kasi amanah buat Mas jagain kamu, Ay, tapi sebenarnya, tanpa mama ngomong juga Mas bakal lakuin itu. Makanya, Jul, lu kalo ada apa-apa, ngomong! Ini mendem sampe nyesek sendiri. Lain kali, tanya kalo mau info yang bener. Kalo aja tahu dari dulu, ga bakal lama pula gue jomlo, kesel banget asli, mana sampe berantem, mana ngambeknya bikin panik. Cium juga, nih!"

"Ahaha ... Ya kan membiasakan sadar diri, Mas Jen! Biar ga tengsin, udah mah ngarep, tahunya malah cuma jadi serep. Atuhlah, mending jomlo sekalian. Mas besok pas libur semester ada kegiatan apa?"

"Random banget bahasannya, tadi lagi confess sekarang udah lari ke yang lain. Belum ada planning sih, kamu mau ke mana, Yang?"

"Biarin ajalah, yang penting masih bisa ngomong ini. Aku pengen liburan, tapi berdua, ga pake dayang-dayang!"

Kali ini Mas Dwi yang tertawa. Yah, kalau diingat-ingat, kami tak pernah liburan berdua, selalu diikuti empat lelaki random beserta keluarga kecil mereka. Bukannya liburan, malah lebur karena jadi pengasuh anak-anak mereka yang rata-rata masih toddler. Dan sungguh, kelakuan ajaib bapak mereka bisa menurun ke balita itu.

"Iya, Sayang, sebelum pergi mending matiin ponsel, tutupin jejak. Demen banget emang ngintilin, atau kalo emang mau bebas dari mereka, jangan pilih waktu libur, Mas bisa aja ambil cuti seminggu, gimana?"

"Kalo emang ga ganggu waktu Mas, sih, hayu. Ke timur aja kali, ya?"

"Atur aja mau ke mana, kalo udah nemu destinasi, Mas tinggal ajuin cuti, kalo udah di approved, kita berangkat. Oke, by?"

Aku setuju, beristirahat sejenak dari berisiknya kehidupan itu perlu. Agar otak bisa melepaskan penatnya untuk sejenak. Dan hari yang bahagia akan tercipta, hingga hidup akan terus berwarna.

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!