NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sikap Aneh Kevin

 

Seminggu sebelum tahun baru 2001.

Hari itu libur Natal. Raga main ke rumah, berdua dengan Kevin. Aku pun kaget melihat kedatangan mereka, sebab tidak janjian sebelumnya.

Kami berbincang seperti biasa, membahas banyak hal. Tentang film, sepak bola, hingga pelajaran sekolah. Obrolan kami random sehingga aku tidak dapat mengingat secara detail. Yang aku ingat justru sikap Kevin yang janggal.

Awalnya, dia membaca majalah remaja—Aneka yess!—milikku. Sepertinya dia membaca rubrik tanya jawab psikolog. Tiba-tiba, seraya menaruh majalah di meja, cowok itu menyeletuk, “PDKT dilama-lamain. Kalau incerannya diembat orang aja, ngamuk!”

Wajah Raga langsung memerah. Jelas sekali perubahannya, seperti udang direbus. Sikapnya juga tampak panik, salah tingkah. Padahal, Kevin berkata demikian sambil lalu. Andai Raga tidak menunjukkan gelagat aneh, aku pun tidak akan notice terhadap ucapan Kevin.

“Lagian cewek tu aneh! Dalam hati suka, tapi lebih senang menikmatinya sendiri,” lanjut si Kevin yang entah kerasukan jin bawel dari mana. Kali ini dia ngomong sembari memainkan tamagotchi. Sama seperti sebelumnya, bersikap tak acuh juga.

Namun, kalimat sederhana tersebut sukses membuatku salah tingkah. Sama halnya seperti Raga, aku merasa kulit wajahku memanas. Kalau saja kulitku putih, mungkin perubahan pada wajahku juga akan sangat mencolok.

Bener-bener ya nih anak! Geramku dalam hati. Apa maksudnya coba, berkata demikian?

“Ehmmm,” dehem Raga berusaha menetralkan suasana yang sempat canggung. “Malam tahun baru enaknya ngapain, ya? Kamu sudah ada planing belum, Dek?”

“Aku pulang ke Ponorogo. Kayaknya.”

“Yaaah,” desahnya kecewa. “Kenapa harus pulang?”

“Belum pasti, sih. Cuma sepertinya akan begitu. Aku biasa melewatkan malam tahun baru dengan para sepupu di sana.”

“Tapi ini tahun baru pertama kita, loh.”

“Bisa kali, dolan rame-rame ke mana gitu!” Kevin menimpali ucapan Raga seraya mengangkat wajah, lalu menatapku seperti biasa. Datar. “Di Ponorogo ada acara apa?”

"Jalan-jalan doang, ke alun-alun. Biasanya kan ada kembang api tuh, pas jam 12. Kami nongkrong sambil nungguin kembang api."

“Nggak bosan lihat Alun-alun Ponorogo terus? Kan tiap hari lewat situ.”

“Tiap hari?” sela Raga.

“Gedung sekolah Nada tuh dekat alun-alun.”

“Kamu tahu dari mana, Nyo?”

“Ng....” Kevin gelagapan. “Yaaa, ya tahu aja!” kilahnya kemudian.

“Tahu dari mana?” cecar Raga yang mungkin merasa heran, kok Kevin bisa lebih tahu tentang aku daripada dirinya? Padahal, cowok itu tidak akrab denganku. Jangankan akrab, ketemu saja jarang.

Raga yang hampir setiap hari ketemu, hampir setiap hari berbincang saja tidak tahu akan hal tersebut. Sebab aku memang tidak pernah memberitahu mengenai profil sekolahku. Lantas, dari mana Kevin tahu lokasi gedung sekolahku?

Aku pun sama ingin tahunya dengan Raga.

“Kamu tahu dari siapa?” Raga masih mengejar rasa penasarannya, membuat Kevin semakin blingsatan.

“Dari... ya, pokoknya tahu!” sewot Kevin seakan tidak suka dicecar tentang hal tersebut. Dia kembali menyibukkan diri dengan tamagotchi di tangannya.

“Emang bener, Dek? Sekolah kamu dekat Alun-alun?” Raga beralih menatapku.

Aku mengangguk samar seraya melirik Kevin bersama kerut-kerut halus di kening.

Kadang Kevin tuh aneh. Pernah suatu hari, pagi-pagi buta saat hendak berangkat sekolah, aku memergokinya di depan rumah. Dia duduk di sadel sepeda federalnya, dengan satu kaki menopang ke aspal. Begitu aku keluar pagar dan tatapan kami bertemu, seolah mendapat komando, cowok itu bergegas mengayuh sepeda sekencang-kencangnya untuk meninggalkan tempat tersebut. Tingkahnya persis maling kepergok.

“Emangnya Alun-alun Ponorogo itu rame kalau tahun baru?” Pertanyaan Raga membuyarkan lamunan yang sesaat kepikiran Kevin dengan segala teka-tekinya. “Ayo sekali-kali ke sana.”

“Rame, Mas. Setiap malam ada Expo. Mulai kemarin, sampai nanti seminggu setelah tahun baru.”

“Apa tu Expo?”

“Pameran. Kayak pasar malam, gitu. Tahu, ‘kan?”

“Ada pertunjukan reog?”

“Nggak, lah!” sahut Kevin sebelum aku sempat mengeluarkan jawaban. “Malam suro baru ada.”

“Mas Raga pengen nonton reog?” sergahku.

“Nggak mau!” jawab Raga buru-buru seraya terkekeh lirih. “Aku takut sama reog.”

Tawaku meledak tak tertahan.

“Astaga Pit... Pit!” ledek Kevin sembari menahan senyum. “Malu-maluin aja.”

“Pit?” Aku bertanya keheranan seraya memandangi dua pemuda tanggung di hadapanku secara bergantian. Ternyata Raga memiliki nama panggilan khusus juga. Sebelumnya yang aku tahu hanya Kevin dan Ronald. Kevin kerap dipanggil ‘Sinyo’ karena Papi dan Maminya memang Cindo. Sedangkan Ronald, populer dengan nama Boy alias Boyo—Buaya dalam bahasa Jawa. “Pit itu maksudnya apa?”

“Sipit.” Kevin menjawab enteng. “Kalau Raga ketawa, matanya sisa segaris doang. Kita tinggal kabur juga dia nggak bakal tahu.”

“Kampret!” Raga menoyor kepala sahabatnya seraya tertawa lirih. Kevin ikut tertawa.

Ada haru menyeruak tanpa permisi ketika menyaksikan mereka bercanda sedemikian intim. Aku tahu Raga sangat peduli kepada Kevin. Raga dekat dengan semua sahabatnya, tapi terhadap Kevin dia seakan memiliki ikatan berbeda. Sebaliknya, Kevin pun demikian.

Sebuah fakta yang terkadang menyeretku menuju ujung rasa tak bernama.

 

🍁🍁

 

 

Tiga bulan setelah perkenalan, tahun baru pertama pun menjelang. Mungkin persahabatan kami masih seumur jagung ketika itu. Namun, jangan tanya mengenai solidaritas. Aku yang anak tunggal, merasa menemukan kakak dengan adanya mereka.

Waktu kecil, aku pernah memohon kepada Ibu supaya diberi seorang kakak lelaki. Aku iri pada teman-teman yang punya kakak, yang disayang oleh kakak-kakak mereka dan dilindungi saat di sekolah. Aku ingin seperti itu.

Tapi, itu permintaan konyol nggak sih? Lahir duluan kok minta kakak?

Ibu dan Bapak menertawakannya. Bahkan aku sempat menjadi olok-olokan para sepupu. Namun, Tuhan Maha baik. Alih-alih menertawakan, Dia bahkan mengabulkan keinginan sederhana gadis kecil itu. Meski setelah bertahun-tahun kemudian.

“Kita jadi ke mana nanti malam?” cetus Satria. Kami tengah mengobrol rame-rame di halaman rumahku. Hari itu merupakan hari terakhir tahun 2000. Kebetulan jatuh pada hari Minggu. “Kalau bisa yang seru. Jangan main lokalan.”

“Nggak usah jauh-jauh. Kasihan Nada,” sergah Raga.

Merasa namaku dibawa-bawa, aku pun antusias mengikuti diskusi mereka.

“Sarangan gimana?” usul Ronald.

“Gimana, Nad?” Taufik menatapku.

Aku diam sambil berpikir. Sarangan merupakan salah satu destinasi wisata yang sudah tak asing lagi di Jawa Timur, khususnya daerah Madiun dan Magetan.

“Aku bawa cewek,” ujar Ronald.

“Kirana juga ikut,” timpal Taufik.

“Tuh!” Satria mengarahkan tatapannya kepadaku. “Jadi kau nggak cewek sendiri.”

Aku masih diam. Jujur, aku belum pernah keluyuran malam-malam, terlebih bersama teman lelaki. Makanya, sedikit ragu ketika harus memutuskan. Soalnya aku yakin, Ibu pasti melarang.

Raga yang memang paling peka, tiba-tiba mengusulkan hal lain. “Kita nongkrong saja di sini, ngobrol sambil gitaran.”

Sepertinya dia tahu kebimbanganku.

“Gak mboys!” Ronald protes. Mboys itu istilah gaul untuk menyebut kata ‘keren’.

Aku paham pikiran tuh orang. Dia berencana membawa Tania, gebetan baru yang pernah diajak ke rumahku sebelumnya. Itulah sebab dia ngotot pengen ke Sarangan. Otak-otak buaya, lah. Apa lagi yang ada di pikirannya selain berusaha merusak anak gadis orang.

“Nggak mau ya udah. Jalan aja sendiri,” jawab Raga santai.

“Oke, kau yang nyuruh ya!”

“Aku hanya belajar memahami kondisi orang lain!”

“Harus banget ya, kayak gini? Mengorbankan persahabatan kita!” Ronald mulai tersulut emosi.

“Maksud kamu apa? Siapa yang ngorbanin persahabatan? Nggak usah berlebihan, deh!”

“Dengan menyuruh kita jalan masing-masing, itu artinya kau lebih berat ke perempuan daripada ke persahabatan!”

“Yang nyuruh jalan masing-masing teh saha?” Raga berusaha sabar, meski Ronald terus-terusan nyolot. “Aku cuma bilang, kita nggak perlu ke mana-mana. Di sini saja nongkrong, gitaran. Kalau memang nggak mau, silakan jalan sendiri. Lagi pula perempuan yang kamu maksud ini juga sahabat kita semua, yang mestinya kita jaga. Yang lain fine-fine aja. Kamu doang yang ribet!"

“Dasar budak cinta,” maki Ronald, yang meski diucapkan dengan pelan, dapat terdengar jelas di telinga kami semua.

Mendengar ucapan Ronald, Raga naik pitam. Dia menerobos badan kekar Satria yang menghalangi aksesnya terhadap Ronald. Sepertinya Satria sengaja, sebagai upaya untuk melerai keduanya. Mungkin dia paham situasi akan seperti apa, makanya lekas pasang badan di antara mereka.

“Minggir kau, Sat!” seru Raga seraya mendorong dada bidang Satria.

Tapi percuma! Satria badannya kekar. Apalah arti otot lembek di lengan Raga jika dibandingkan dengan tubuh Satria yang sekeras besi? Aku pernah coba meninju lengan cowok itu—atas suruhan dia. Setelahnya tanganku keram.

“Bacotnya Boyo sekali-kali harus dikasih pelajaran!”

“Lah, kau pikir aku takut? Jangan mentang-mentang kau yang paling di sini, lalu semua harus nurutin maunya kau!”

“Eh, jaga itu mulut!”

“Ck, udaaah....” Satria menghalau Raga, dan dengan entengnya merangkul tuh cowok, membawanya masuk rumah. Sementara Ronald ditenangkan oleh Taufik dan Kevin.

Aku sempat melirik Kevin. Ternyata dia tengah menatapku dengan sorot mata aneh yang sukar kuartikan maknanya. Tatapan yang membuatku merasa tak enak hati. Sorot matanya seakan berkata, ini semua salah kamu! Dua orang sahabat bertengkar gara-gara kamu!

Arrrgh, aku ini memang payah!

Tanpa banyak cakap, langkahku bergegas memburu Raga dan Satria.

“Kamu kan tau Pit, Boyo orangnya kayak apa? Kenapa juga masih diladeni?” Kudengar Satria bicara sangat pelan dan hati-hati kepada Raga yang wajahnya masih merah menahan amarah.

“Dia duluan yang mulai!”

“Sudahlah, Mas. Ngalah aja,” bisikku seraya menatap Raga takut-takut. “Minta maaf, gih!”

“Enak aja! Dia yang salah!”

“Minta maaf bukan berarti ngaku salah.”

“Nanti dia gede kepala, Dek.”

“Udah, kepala kalian sama-sama gede!” sentak Satria seraya menabok kepala Raga. “Yang Nada katakan itu benar. Minta maaf tidak akan membuatmu terlihat banci.”

“Sialan!” Senyum Raga melebar. Tangannya terulur menjambak rambut Satria yang sedikit gondrong. “Kamu yang banci!”

“Yang biasa jambak-jambak tuh, banci!”

“Banci itu yang dipakai untuk masak air, bukan?” Aku menyela sembari memandangi mereka dengan tatapan polos. “Yang kalo sekali jatuh langsung penyok.”

Secara bersamaan, tatapan dua orang di hadapanku beralih, menikamku tajam.

Aku yang salah tingkah dipandangi sedemikian rupa. “Nggak lucu, ya?”

Sedetik kemudian, tawa mereka meledak, membahana memenuhi ruang tamu.

 

🍁🍁

 

Kami berhasil mendamaikan Raga dan Ronald. Aku mengalah supaya keduanya bisa kembali akur. Ada rasa tidak nyaman dalam diriku. Baru gabung tiga bulan sudah merusak kekompakan. Terbayang sinar mata Kevin yang seakan menyalahkan kehadiranku.

“Aku mau ikut ke Sarangan,” ujarku tiba-tiba, dengan nekatnya.

“Hah?” Lima kepala sontak menoleh ke arahku dengan mata membelalak lebar.

“Memangnya Bapak sama Ibu kasih izin, Dek?” Raga terdengar sangsi.

“Aku usahakan.”

“Nggak usah maksain diri.”

“Kan aku bilang mengusahakan, bukan memaksakan.”

“Ah, kayaknya nggak mungkin,” tukas Kevin pesimis.

“Iya,” sambung Taufik. “Malam tahun baru tuh tinggal beberapa jam lagi, loh. Seharusnya siang ini sudah berangkat kalau memang mau ke sana.”

“Nggak mungkin, nggak mungkin!” sahut Kevin seraya tersenyum sinis. “Apalagi anak cewek. Minta izinnya pasti ribet!”

“Ya sudah, ayo berangkat!” sengitku. Aku merasa tersinggung dengan judgement yang Kevin lontarkan.

“Nadaaaa....” Satria menatapku teduh.

“Kenapa? Nggak percaya kalau aku bisa ikut? Memang cewek itu ribet! Tapi ribet bukan berarti nggak mungkin! Ayo berangkat sekarang! Asal tahu saja, nggak semua cewek itu ribet!”

“Kamu kenapa, sih?” Raga mengernyit keheranan.

Mungkin saat itu aku tampak aneh. Aku sendiri juga tidak paham, kenapa begitu emosi hanya gara-gara mendengar komentar sinis Kevin.

 

🍁🍁

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!