Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sahabat Sejati
Jam dinding di ruang CEO Zamora Company menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika pintu kayu besar terbuka dengan bunyi yang cukup keras... tidak sopan untuk ruang CEO, tapi orang yang membuka pintu itu jelas tidak peduli dengan etiket kantor.
Rani masuk dengan langkah santai... mengenakan blazer merah menyala dengan celana hitam dan heels yang berbunyi tegas di lantai marmer. Rambutnya diikat ponytail tinggi, kacamata hitam bertengger di kepala, dan yang paling penting... senyum lebar tanpa rasa bersalah sama sekali di wajahnya.
Di tangannya, kunci mobil Rolls Royce bergoyang-goyang dengan gesture yang sengaja dibuat provokatif.
Indira yang sedang duduk di balik meja kayu mahoni besar dengan laptop terbuka dan tumpukan dokumen... langsung mengangkat kepalanya. Matanya menyipit. Tatapannya... tatapan yang bisa membunuh.
"Halo, CEO tercinta!" sapa Rani dengan ceria... terlalu ceria untuk seseorang yang tahu ia dalam bahaya. "Selamat pagi! Aku kembalikan kunci mobilmu!"
Indira tidak menjawab. Ia hanya menatap dengan tatapan yang membuat beberapa karyawan senior yang pernah lihat tatapan itu langsung berlari ketakutan.
Tapi Rani? Rani justru tertawa dan berjalan santai mendekat, meletakkan kunci mobil di atas meja dengan bunyi *clink* yang nyaring.
"Nah, sudah dikembalikan," ucapnya sambil duduk di kursi tamu dengan postur santai... bahkan menyilangkan kaki dengan santai. "Mobilmu masih utuh. Tidak ada lecet. Bensin sudah aku isi penuh sebagai tanda terima kasih."
"Kamu," Indira akhirnya berbicara... suara yang sangat tenang, terlalu tenang, "kamu SENGAJA menjebak aku semalam."
"Menjebak?" Rani memasang wajah innocent... wajah yang sangat dibuat-buat. "Aku tidak mengerti apa yang kamu maksud, Dira sayang."
"JANGAN PURA-PURA TIDAK TAHU!" Indira berdiri dari kursinya... membuat kursi bergeser ke belakang dengan bunyi keras. "Kamu sengaja bilang ada urusan mendadak! Kamu sengaja pinjam mobilku! Kamu sengaja buat aku terpaksa pulang sama Adrian!"
Rani tertawa lepas, yang tidak ada penyesalan sama sekali. "Oke, oke. Aku akui. Aku MEMANG sengaja."
"RAN!"
"Apa?" Rani masih tertawa sambil berdiri, berjalan mengelilingi meja untuk mendekat ke Indira. "Kamu marah? CEO sekeren kamu marah karena dijebak buat pulang bareng sama mantan pacar yang masih cinta sama kamu? Come on, Dira. Kamu harusnya terima kasih!"
"Terima kasih?" Indira menatapnya dengan tidak percaya. "Aku malu setengah mati semalam!"
"Malu kenapa? Kalian kan cuma pulang bareng. Bukan ngapa-ngapain," Rani menyeringai. "Atau... kalian ngapa-ngapain?"
"TIDAK!" wajah Indira langsung memerah. "Kami hanya... ngobrol di mobil! Ngobrol biasa! Tidak ada yang... tidak ada apapun!"
"Sayang sekali," Rani berpura-pura kecewa. "Aku pikir setidaknya ada kiss goodnight atau kissmark gitu..."
"RAN!" Indira mencubit lengan sahabatnya dengan kencang... cukup kencang untuk membuat Rani meringis.
"Aduh! Sakit!" Rani tertawa sambil mengusap lengannya yang dicubit. "Oke, oke. Maaf. Tapi seriously, Dira, kamu memang cocok jadi CEO Zamora Company. Pintar banget bisa langsung tebak niat jahatku."
Indira menatap sahabatnya dengan mata yang menyipit... masih kesal tapi mulai mereda. Ia kembali duduk di kursinya dengan helaan napas panjang.
"Kamu menyebalkan," gumamnya.
"Aku tahu," Rani juga duduk... kali ini di kursi yang lebih dekat dengan meja Indira. "Tapi aku menyebalkan karena aku peduli."
Nada suara Rani berubah dari jahil menjadi serius. Perubahan yang membuat Indira langsung menatapnya dengan perhatian penuh.
"Dira," Rani melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, "aku serius. Tidak ada salahnya kalau kamu dan Adrian kembali dekat."
"Ran..."
"Dengarkan aku dulu," Rani mengangkat tangannya. "Adrian itu... dia bukan hanya cocok jadi pasanganmu. Dia juga cocok jadi temanmu. Dia orang yang baik, yang peduli, yang bisa kamu andalkan. Dan aku lihat kemarin... cara dia lindungi kamu dari Rangga, cara dia ada untukmu... itu genuine, Dira. Itu tulus."
Indira terdiam tidak tahu harus berkata apa.
"Dan kamu," Rani melanjutkan sambil menatap mata sahabatnya dengan serius, "kamu yang sekarang ini... kamu yang selalu terlihat tegar dan kuat... sebenarnya tidak sekuat itu, kan?"
"Aku kuat," Indira menjawab cepat...terlalu cepat.
"Dira," Rani memanggil dengan lembut. "Lihat mataku."
"Ran..."
"Lihat mataku," Rani mengulangi dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Indira mencoba... benar-benar mencoba untuk menatap mata Rani. Tapi tidak bisa. Matanya menghindar, menatap ke meja, ke laptop, ke jendela, ke mana saja kecuali mata sahabatnya.
Karena Rani benar. Rani selalu benar tentang dirinya.
"Kamu tidak bisa," Rani berkata dengan lembut bukan menghakimi, tapi menyatakan fakta. "Karena kamu tahu aku benar. Kamu terlihat kuat di luar. Kamu jadi CEO yang ditakuti dan dihormati. Kamu bisa berdiri tegak di hadapan Rangga dan bilang kamu tidak butuh dia. Tapi jauh di dalam... kamu lelah, Dira. Kamu terluka. Dan kamu butuh seseorang."
"Aku punya kamu," Indira berbisik, suara yang mulai bergetar.
"Ya, kamu punya aku," Rani tersenyum hangat tapi juga sedih. "Tapi Dira, aku tidak bisa selalu ada untukmu. Aku punya pekerjaanku sendiri. Aku punya hidupku sendiri. Dan kamu tidak bisa hanya berteman denganku saja. Kamu butuh lebih. Kamu butuh seseorang yang bisa ada untukmu saat aku tidak bisa. Seseorang yang bisa kamu andalkan. Seseorang yang... mencintaimu."
"Ran.."
"Dan Adrian mencintaimu," Rani memotong dengan tegas. "Aku lihat itu di matanya. Cara dia menatapmu kemarin, itu bukan tatapan teman lama atau mantan yang sudah move on. Itu tatapan seseorang yang masih sangat, sangat mencintaimu. Yang sudah menunggumu selama sepuluh tahun. Dan yang akan terus menunggu kalau kamu mau."
Indira merasakan matanya mulai memanas. "Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, Ran. Aku baru saja keluar dari pernikahan yang menghancurkan. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk... untuk membuka hati lagi."
"Aku tidak bilang kamu harus langsung pacaran dengannya," Rani menjawab dengan lembut. "Aku hanya bilang... dekatlah dengannya. Biarkan dia jadi temanmu. Biarkan dia ada untukmu. Dan kalau nanti... suatu hari nanti kamu merasa siap untuk lebih... setidaknya kamu tahu ada seseorang yang tulus menunggumu."
Indira terdiam, memproses kata-kata itu. Lalu air mata pertama jatuh... hanya satu, turun perlahan di pipi.
Rani langsung berdiri, berjalan mengelilingi meja, dan memeluk Indira dengan erat. Pelukan yang hangat, yang protektif, yang mengatakan "aku ada di sini."
"Dira," Rani berbisik di telinga sahabatnya, "kebahagiaanmu itu selalu... SELALU... berada di atas kebahagiaanku sendiri. Kamu tahu itu, kan?"
Indira mengangguk di pelukan Rani... tidak bisa berbicara karena tenggorokannya tercekat.
"Kamu sudah banyak melakukan untukku," Rani melanjutkan dengan suara yang mulai bergetar. "Dulu... dulu saat orangtuaku kecelakaan dan kami butuh biaya besar untuk operasi... keluargaku cuma pas-pasan. Kami tidak punya apa-apa. Dan kamu... kamu yang waktu itu masih SMA langsung bantu kami. Kamu keluarkan uang dari tabunganmu, dari warisan kakekmu, untuk bantu orangtuaku."
Indira melepaskan pelukan, menatap Rani dengan mata berkaca-kaca. "Ran, itu sudah lama..."
"Tapi aku tidak akan pernah lupa," Rani memotong dengan air mata yang mulai turun. "Meskipun pada akhirnya orangtuaku tidak bisa diselamatkan... meskipun mereka tetap pergi... kamu ada untukku. Kamu tidak pernah sekalipun meninggalkanku. Kamu jaga aku. Kamu support aku. Kamu bahkan bantu aku dapat pekerjaan yang sekarang... pekerjaan yang bagus, yang memberiku kehidupan yang layak."
"Karena kamu sahabat terbaikku," Indira menjawab dengan tulus. "Aku akan selalu ada untukmu."
"Dan aku juga akan selalu ada untukmu," Rani mengusap air mata Indira dengan lembut. "Makanya aku mau kamu bahagia. Aku mau kamu punya seseorang yang bisa jaga kamu seperti kamu jaga aku. Dan aku percaya Adrian adalah orang itu."
Indira tersenyum berlinang air mata tapi hangat. "Terima kasih, Ran. Terima kasih untuk segalanya."
"Sama-sama," Rani membalas senyum. "Sekarang stop nangis. Nanti makeup-mu rusak. CEO sekeren kamu tidak boleh terlihat nangis."
Indira tertawa yang tersendat oleh air mata tapi tulus. Ia mengusap matanya dengan tissue yang Rani sodorkan.
"Aku lapar," Indira akhirnya berkata setelah berhasil mengendalikan emosinya.
"Aku juga," Rani mengangguk. "Mau pesan makanan?"
"Tidak perlu," Indira berdiri, berjalan ke sudut ruangannya di mana ada kulkas kecil khusus untuk menyimpan bekal. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan lunch box berukuran besar...lunch box dua tingkat dengan motif yang lucu.
"Aku bawa bekal," Indira tersenyum sambil membawa lunch box ke meja kecil di sudut ruangannya, meja bundar dengan dua kursi yang biasa ia pakai untuk meeting informal atau makan siang sendirian.
"BEKAL?" Rani langsung berdiri dengan excited. "Dira, kamu masak?"
"Ya," Indira mengangguk sambil membuka lunch box. "Aku masak pagi-pagi tadi di apartemen. Tidak bisa tidur jadi aku masak."
"Oh my God," Rani sudah berjalan cepat mendekat, menatap isi lunch box dengan mata berbinar. "Ini... ayam teriyaki? Dan nasi goreng? Dan salad? Dan... astaga...ini dessert-nya puding cokelat?"
"Ya," Indira tertawa melihat reaksi sahabatnya. "Semuanya favorit kamu."
"Dira, aku cinta kamu," Rani langsung duduk di salah satu kursi. "Serius. Kalau kamu bukan sahabatku, aku mungkin akan coba rebut kamu dari Adrian."
Indira tertawa lepas, yang membuat beban di dadanya terasa ringan. Ia mengambil piring dan sendok dari laci kecil, lalu mulai menyajikan makanan untuk mereka berdua.
"Ini porsinya banyak banget," komentar Rani sambil menatap piring yang penuh dengan makanan. "Kamu masak untuk berapa orang?"
"Untuk berdua," jawab Indira. "Aku tahu kamu pasti akan datang hari ini. Jadi aku masak extra."
"Kamu kenal aku terlalu baik," Rani menyeringai sambil mengambil sendok dan langsung menyuap ayam teriyaki. Matanya langsung menutup dengan ekspresi bahagia. "Mmm... ini enak sekali. Serius, Dira. Masakanmu ini selalu jadi favorit ku. Aku tidak akan pernah bosan makan masakanmu."
"Makan yang banyak," Indira tersenyum sambil juga mulai makan. "Kamu kelihatan kurus akhir-akhir ini."
"Itu karena aku diet," Rani menjawab sambil terus makan... sangat bertentangan dengan pernyataannya tentang diet. "Tapi untuk masakanmu, diet bisa ditunda."
Mereka makan dalam keheningan yang nyaman... keheningan persahabatan yang sudah puluhan tahun, di mana tidak perlu banyak kata untuk merasa nyaman satu sama lain.
"Ran," Indira akhirnya berbicara setelah beberapa menit, "tentang Adrian..."
Rani langsung menatapnya dengan penuh perhatian. "Ya?"
"Aku... aku akan coba," Indira menjawab pelan. "Aku tidak janji akan langsung buka hati atau apapun. Tapi aku akan coba untuk dekat dengannya. Untuk lihat... apakah masih ada sesuatu di antara kami."
Rani tersenyum sangat lebar, yang sangat puas. "Itu sudah cukup. Itu sudah lebih dari cukup."
"Tapi kalau ternyata tidak cocok..."
"Kalau tidak cocok, ya sudah," Rani memotong dengan santai. "Setidaknya kamu sudah coba. Setidaknya kamu tidak akan menyesal karena tidak memberi kesempatan."
Indira mengangguk, merasa lebih ringan setelah mengakui itu. "Terima kasih, Ran. Untuk semuanya. Untuk peduli padaku. Untuk selalu ada untukku."
"Selalu," Rani mengulurkan tangannya di atas meja, memegang tangan Indira dengan erat. "Kita sahabat. Sampai tua nanti. Sampai kita nenek-nenek yang cerewet dan duduk di teras sambil ngomongin cucu-cucu kita."
Indira tertawa membayangkan pemandangan itu. "Aku suka gambaran itu."
"Aku juga," Rani tersenyum. "Sekarang makan lagi. Nasi gorengnya dingin nanti."
Mereka melanjutkan makan dengan obrolan ringan... tentang pekerjaan, tentang gossip kantor, tentang rencana weekend. Tidak ada lagi pembicaraan berat. Hanya dua sahabat yang menikmati makan siang bersama, dengan makanan yang dibuat dengan cinta, di ruangan yang hangat meskipun di gedung pencakar langit yang dingin.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Indira merasa... damai. Merasa bahwa meskipun hidupnya kacau, meskipun pernikahannya hancur, meskipun ia harus berjuang sendiri... ia tidak sendirian.
Ia punya Rani. Ia punya sahabat yang akan selalu ada.
Dan mungkin... hanya mungkin, ia juga punya Adrian. Yang menunggu dengan sabar. Yang siap ada untuknya kapanpun ia siap.
Dan itu sudah lebih dari cukup.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.