Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Shanum berdiri di balkon, mengenakan daster lembut berwarna biru muda. Angin berembus pelan, membuat sebagian helaian rambutnya menari.
“Masih belum tidur?” Suara berat itu muncul dari belakang.
Sagara mendekat, tubuhnya masih beraroma parfum yang lembut dan memberi kehangatan. Ia berdiri tepat di belakang Shanum, jarak mereka nyaris tak ada. Dia memeluk dengan posesif, seakan takut ada yang mengambilnya.
Shanum menunduk, menatap tangan Sagara yang melingkar di perutnya. “Aku nggak bisa tidur, Mas. Kepikiran sama Mami.”
Sagara menghela napas panjang. Dia semakin erat memeluk pinggang istrinya dari belakang. “Kamu nggak salah, Shanum. Jangan pikir kamu yang bikin Mami berubah. Mami cuma butuh waktu.”
Shanum diam. Pelukan itu terasa seperti tempat berlindung yang sudah lama ia rindukan.
“Mas, kalau nanti Mami nggak pernah bisa menerima aku?” tanya Shanum pelan, suaranya nyaris bergetar. Dia teringat kepada Bu Elia yang tidak pernah bisa menerima dirinya sebagai menantu.
Sagara mempererat pelukan. “Aku yang akan melindungi kamu. Apa pun yang terjadi, kamu nggak akan sendiri lagi.” Nada suara Sagara begitu dalam, tulus, membuat dada Shanum sesak oleh perasaan yang tak bisa dijelaskan.
Shanum menoleh, menatap wajah suaminya di bawah sinar bulan. “Mas nggak menyesal sudah menikahi aku?”
Sagara menatap balik, matanya hangat. “Kamu pikir aku bisa menyesal, setelah tahu rasanya dicintai begini?”
Shanum terdiam, wajahnya memanas. “Mas suka bicara manis terus,” gumamnya malu.
“Bukan manis,” bisik Sagara, menunduk sedikit, napasnya menyentuh kulit leher Shanum. “Aku cuma jujur.”
Jantung Shanum berdetak cepat. Ia mencoba menahan diri, tapi tangan Sagara sudah menelusuri jemarinya perlahan.
“Mas …,” bisik Shanum dengan nada menegur tapi tanpa kekuatan.
Sagara menatap dalam ke matanya. “Kamu tahu, setiap hari aku berterima kasih sama Tuhan karena aku sudah dikasih kamu. Aku nggak pernah merasa seutuh dan sebahagia ini.”
Shanum menunduk, air matanya menetes diam-diam. “Aku cuma takut, Mas. Takut kalau semua ini cuma sementara.”
Sagara mengangkat wajah Shanum dengan lembut, menghapus air mata itu dengan ibu jarinya. “Kita nggak tahu masa depan, tapi malam ini aku tahu satu hal, aku cinta kamu, Shanum. Bukan karena keadaan, tapi karena kamu bikin aku hidup lagi.”
Kalimat itu membuat dinding pertahanan Shanum runtuh. Ia menutup jarak di antara mereka, memeluk Sagara erat seolah takut kehilangan.
Di bawah cahaya bulan yang lembut, dua hati itu saling melebur. Bukan hanya dalam kehangatan tubuh, tetapi juga ketulusan jiwa yang saling menyembuhkan luka.
Cinta mereka terasa sederhana, tetapi terasa sempurna. Tak ada janji muluk, tak ada rencana jauh ke depan. Hanya dua manusia yang memilih untuk saling menjaga, di tengah dunia yang tak sepenuhnya berpihak.
“Terima kasih sudah bertahan,” bisik Sagara pelan.
Shanum memejamkan mata, menikmati kehangatan itu. “Aku hanya ingin terus di sampingmu, Mas. Apa pun yang terjadi.”
Sagara menunduk, mengecup pundaknya dengan lembut. “Dan Mas akan pastikan, dunia ini tahu kamu bukan bayangan siapa pun. Kamu adalah cintaku yang baru.”
Malam itu, mereka kembali menyatu dalam keheningan yang syahdu, bukan karena hasrat semata, tetapi karena cinta yang sudah melewati badai penolakan dan luka.
Di antara napas yang menyatu, Shanum tahu satu hal pasti, meski restu belum sepenuhnya berpihak, ia sudah menemukan rumahnya di dalam pelukan Sagara.
***
Suara bel di pintu depan memecah keheningan pagi yang hangat itu. Rumah Sagara terasa damai, hanya terdengar tawa kecil Arsyla dan Abyasa yang sedang bermain di karpet ruang keluarga. Mami Kartika yang duduk di lantai bersama mereka, sedang sibuk menumpuk balok warna-warni sambil sesekali mengelus kepala cucu-cucunya yang berebut perhatian.
Denting bel kembali berbunyi, kali ini lebih lama.
“Mbok, tolong bukakan pintunya,” seru Mami Kartika sambil menepuk lututnya, berdiri perlahan.
Dari arah dapur, Mbok Iyem bergegas menuju pintu depan. Suara engsel berdecit pelan saat pintu dibuka, disusul dengan aroma parfum mewah yang langsung menguar lembut.
“Selamat siang, Mbok. Tante Kartika ada di rumah, kan?” Suara seorang perempuan muda terdengar, manja tapi berkelas.
Begitu langkahnya masuk, Mami Kartika langsung mengenali sosok itu. Rambut panjang bergelombang rapi, bibir merah muda, dandanan mahal yang pas, Soraya. Putri dari almarhum Harry dan Nirmala, sekaligus adik kandung dari Sonia.
“Halo, Tante!” sapa Soraya ceria sambil memeluk Mami Kartika. “Apa kabar?”
Pelukan itu terasa hangat, tapi ada sesuatu di balik senyum Soraya, sesuatu yang sulit dijelaskan. Sorot matanya tampak lembut, namun ada sinar samar seperti menakar keadaan.
“Baik,” jawab Mami Kartika ramah, meski ada keraguan yang terbit di balik senyumnya. “Kamu baru kembali dari Inggris?”
Soraya mengangguk, meletakkan beberapa paper bag di meja tamu. “Iya, Tante. Biasa, Mommy drop lagi kesehatannya,” ucapnya ringan, seolah itu hal biasa.
Shanum datang sambil membawa makanan untuk si kembar. Mereka suka sekali dengan agar rasa buah-buahan.
Soraya kemudian mengeluarkan mainan dari dalam paper bag. Satu robot untuk Abyasa, satu boneka Barbie dengan gaun merah muda untuk Arsyla. “Nih, buat kalian, mainan dari Tante,” katanya lembut sambil tersenyum.
Arsyla menatap boneka itu dengan mata berbinar, sementara Abyasa langsung menekan tombol di punggung robot yang mengeluarkan suara berisik. Ruangan tiba-tiba terasa riuh oleh tawa anak-anak.
Namun di sela suasana hangat itu, kata-kata Soraya berikutnya membuat udara di ruang tamu sedikit berubah.
“Sejak Daddy kalian meninggal, Mommy sering jatuh sakit, Tante. Apalagi ditambah kepergian Sonia yang entah ke mana ....”
Nada suara Soraya menurun pelan, seolah setiap kata membawa luka lama yang belum sembuh.
Mami Kartika ikut menghela napas panjang. “Ya… Tante tahu. Tante sering khawatir juga. Tapi kenapa, ya, sekarang Tante susah sekali menghubungi Mommy kamu? Apakah dia masih marah pada kami karena perginya Sonia?”
Soraya terdiam sesaat. Wajahnya yang biasanya selalu tenang tiba-tiba berubah sendu. Ia menatap lantai, seolah mencari kata yang tepat untuk menjawab.
“Mommy itu terlalu sayang sama Sonia, Tante,” ucap Soraya lirih. “Dia seperti kehilangan separuh hidupnya waktu dengar Sonia menghilang. Selama ini, apa pun yang terjadi, Sonia selalu jadi alasan Mommy bertahan. Dan sejak dia hilang, Mommy bukan cuma sakit di tubuh, tapi juga di hati.”
Mami Kartika menatapnya penuh iba. “Tante paham, Sayang. Tante pun merasa kehilangan.”
Nada suaranya melembut, namun di dalam dada ada gemuruh aneh, rasa bersalah, sedih, dan mungkin sedikit takut.
Soraya tersenyum pahit. “Yang paling parah, Mommy malah menyalahkan aku. Katanya aku saudara yang gagal karena tidak bisa menemukan kakakku sendiri.”
Mata Soraya berkaca-kaca, tapi tidak setetes pun air mata jatuh. Hanya senyum tipis yang bertahan. Senyum yang seolah menahan luka agar tidak tampak.
Shanum duduk sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain. Dari tadi ia tak berani memotong pembicaraan, tapi setiap kata tentang Sonia membuat hatinya mencubit.
“Jadi, ibu kandung Bu Sonia masih hidup? Dan selama ini tinggal di luar negeri?”
Pikiran itu berputar-putar, membuat Shanum semakin menunduk.
“Tante juga berharap Sonia segera ditemukan,” ucap Mami Kartika lembut, menatap Soraya dengan mata yang memancarkan keletihan. “Agar hati semua orang yang mencintainya bisa tenang.”
Soraya menarik napas panjang. “Kalau pun sudah meninggal, setidaknya kita tahu di mana kuburnya,” katanya lirih.
Ucapan itu membuat udara di ruangan menegang sesaat. Bahkan tawa kecil Abyasa dan Arsyla pun mendadak berhenti, seolah ikut merasakan perubahan suasana.
Mami Kartika terdiam lama. “Iya, Tante mengerti,” ujarnya pelan sambil mengusap dada.
Namun sebelum keheningan itu benar-benar memudar, Soraya melanjutkan kalimatnya dengan nada yang terdengar ringan, tapi menyimpan sesuatu yang menekan dada setiap orang di ruangan itu.
“Kemarin Mommy sempat bilang,” kata Soraya sambil menatap Shanum sekilas, senyum samar di bibirnya. “Kalau Sonia tidak kembali juga, aku diminta untuk menjadi ibu bagi si kembar.”
Brak!
Mainan di tangan Shanum jatuh. Suara mainan yang saling berbenturan bergema kecil, tetapi cukup membuat semua kepala menoleh ke arahnya.
Wajah Shanum seketika memucat. Jantungnya berdegup cepat, dan tangan yang gemetar mencoba meraih mainan yang terjatuh. Tapi suaranya serak ketika ia berusaha bicara, “Ma-maaf, aku kaget.”
Mami Kartika menatap Soraya dengan ekspresi campuran antara terkejut dan tidak percaya.
“Soraya, maksud kamu apa?” tanya Mamu Kartika dengan suara sedikit meninggi, meski tetap berusaha terdengar tenang.
Soraya menatapnya polos, seolah tak menyadari betapa dalam arti kalimatnya barusan.
“Iya, Tante. Mommy hanya berpikir, kalau Sonia memang tidak bisa kembali, setidaknya aku bisa mengisi tempat itu. Mommy tidak mau anak-anak ini tumbuh tanpa sosok ibu.”
Mami Kartika menggigit bibirnya. Kata-kata Soraya itu seperti belati tajam yang menancap di antara dua sisi hatinya, antara rasa iba dan kecemasan.
Shanum diam membeku. Di balik senyum tipis yang ia paksakan, dadanya terasa nyeri seperti diremas. Ia tahu posisinya bukan siapa-siapa di mata keluarga besar ini, apalagi setelah pernikahan sirinya dengan Sagara belum diketahui publik secara luas. Namun, mendengar ucapan itu langsung dari mulut Soraya, seolah dunia berputar lebih cepat dan meninggalkannya di tempat paling sunyi.
Sagara sedang tidak di rumah. Jika ada, mungkin situasinya akan meledak. Tapi sekarang, Shanum hanya bisa menahan air mata yang mulai menggenang.
Soraya, memasang wajah tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Ia menatap si kembar yang sedang memeluk mainan mereka.
“Mereka lucu, ya,” ucap Soraya lembut. “Mirip banget sama Sonia waktu kecil.”
Kalimat itu membuat Mami Kartika kembali bungkam. Ia menatap dua bocah kecil itu, lalu menatap Shanum. Hatinya mendadak gundah. Ia sadar, perasaan di antara mereka semua kini sudah tidak sederhana lagi.
Di balik senyum ramah dan tutur kata manis Soraya, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Sesuatu yang halus, tetapi menekan.
Mami Kartika merasakan satu hal. Kehadiran Soraya bukan sekadar kunjungan keluarga biasa. Ada sesuatu di balik senyumnya itu.
apakah abyasa anak shanum