Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Luna
"Mbak Vivi terima kasih untuk kiriman makanannya, kami satu kantor suka sekali rasanya lezat."
Vivi
"Syukurlah kalau kalian suka. Luna hari ini sibuk di kantor?"
Luna
"Tidak, Mbak. Ada yang bisa aku bantu?"
Dret!
Vvi melakukan panggilan suara pada Luna.
Begitulah percakapan mereka sebelum akhirnya Luna menawarkan diri untuk menemani Vivi apabila dia ingin pergi jalan-jalan. Ternyata tawaran Luna langsung mendapat persetujuan dari Vivi, justru dia yang terlihat sangat antusias.
Pertemuan yang berat bagi Luna, dia harus terlihat profesional disaat hatinya merasa ada yang aneh dengan perilaku klientnya.
.
Mall sore itu cukup ramai, dengan lampu-lampu butik mewah berpendar indah. Luna melangkah masuk ke sebuah store high-end, sementara Vivi berjalan di sampingnya, tampak anggun dengan setelan kasual namun tetap elegan.
"Kamu yakin, Mbak, aku harus beli ini?" Luna memandangi dress warna champagne di tangannya.
Vivi tersenyum manis. "Tentu saja. Warna ini cocok dengan kulitmu, Luna."
Luna menghela napas kecil sebelum akhirnya mengangguk dan membawa dress itu ke kasir. Namun, saat ia menoleh ke arah Vivi, matanya membulat. Vivi juga membawa dress yang sama.
Berjalan penuh percaya diri ke kasir.
"Eh? Mbak Vivi juga beli dress yang sama?"
Vivi terkekeh pelan. "Iya. Selera kita ternyata sama. Aku juga suka dressnya, nggak masalah kan kita punya pakaian yang sama?"
Luna hanya tersenyum tipis, mencoba berpikir positif. Tapi keanehan itu tidak berhenti di situ. Ketika mereka menuju konter makeup, Vivi memilih lipstik dengan shade yang sama, foundation yang sama, bahkan parfum yang sama dengan yang dipilih Luna.
"Duh, kenapa aku merasa kesal ya?! Apa ini hanya firasatku saja, mungkin memang semuanya kebetulan sama." batin Luna.
Saat di kasir, Luna menatap belanjaan Vivi yang mirip dengannya, hatinya mulai bertanya-tanya. Meencoba memberanikan diri mengungkapkan pertanyaan yang sedari tadi tertahan di mulutnya.
"Ternyata sebagian besar barang yang kita beli sama semua ya?" ucap Luna berusaha tertawa kecil.
Vivi tersenyum sambil memainkan rambutnya. "Ya, aku hanya merasa kita punya banyak kesamaan. Apa salahnya juga jika kita tampil mirip? Toh, kita jadi seperti kakak adik, bukan?"
Luna tersenyum tipis. "Iya... tapi mana mungkin aku bisa di samakan dengan kamu, Mbak. Kamu lebih cantik dan hebat. Aku tidak ada apa-apanya."
Vivi mengusap lengan Luna halus sembari tersenyum sebagai bentuk responnya.
Seluruh belanjaan yang seharusnya Luna bayar dan akan menjadi tanggungan kantor sebagai biaya entertait, ternyata salah. Vivi tanpa ragu menggunakan black card nya setiap kali membayar belanjaan di kasir.
.
Setelah berbelanja, mereka duduk di sebuah kafe yang nyaman. Vivi mengaduk kopinya dengan tenang sebelum akhirnya berbicara. Luna juga terlihat lelah mengitari mall itu, belanjaan mereka bisa dibilang sangat banyak.
"Luna, aku penasaran... seberapa besar kamu percaya pada pasangan kamu?"
Luna menatapnya heran. "Kenapa bertanya hal seperti itu tiba-tiba?"
"Ya, karena aku sudah lama sekali tidak merasakan memiliki pasangan. Bahkan di usiaku sekarang seharusnya aku sudah menikah, tapi kalau Luna nggak berkenan jawab juga nggak masalah, kok." Vivi mengulum bibirnya untuk tidak bertanya lebih lanjut.
Luna mengernyit. "Apa ya, jika di katakan percaya atau tidak, sepertinya aku lebih mempercayai dia daripada siapapun."
Vivi tersenyum samar. "Maaf... aku hanya penasaran saja, bagaimana pandangan seseorang tentang pasangannya. Terkadang, pria seperti itu punya banyak sisi yang tidak mudah ditebak. Mungkin dia juga punya rahasia yang belum kamu tahu."
Luna mengaduk minumannya perlahan, lalu tersenyum. "Aku percaya pada pasanganku. Kalau pun ada sesuatu yang dia sembunyikan, aku yakin bukan sesuatu yang bisa mengubah perasaanku."
"Benarkah?" tanyanya yang mendapat respon anggukan oleh Luna.
Luna menatap Vivi dalam-dalam. Ada sesuatu yang terasa aneh. Bukan hanya soal pembelian barang yang sama, tapi juga kata-katanya.
Sore itu berakhir dengan obrolan ringan, tapi jauh di lubuk hati Luna, ia tahu ada sesuatu yang tidak biasa.
.
.
Vivi mengantar Luna kembali ke kantornya, karena saat bertemu tadi Luna memilih menggunakan taksi online dan mobilnya masih berada di kantor.
Baru saja mobil Vivi tiba di halaman parkir depan kantor Luna, sosok Renzo dari kejauhan sudah terlihat jelas.
Rambutnya yang lurus dan selalu tertara rapi tertiup angin, tubuh tinggi dan kaki jenjangnya sangat pantas memakai setelan apapun. Seolah seluruh setelan jas di dunia ini cocok sekali pada dirinya.
"Renzo.... " gumam Luna sebelum turun dari mobil.
Vivi menatap Renzo dengan tatapan kesal namun berusaha ia sembunyikan. Luna sempat menangkap momen itu, tapi dia memilih diam.
"Oh itukah pacarmu? Aku seperti pernah melihatnya tapi di mana ya?" Vivi memutar bola matanya berusaha mengingat.
Tapi Luna memilih diam kemudian membuka pintu mobil dan hendak keluar, tapi dengan cepat juga Vivi melakukan hal yang sama.
Awalnya Luna akan berpamitan serta mengucapkan terima kasih pada Vivi, tapi lagi-lagi dia melakukan hal yang seharusnya tidak perlu dia lakukan. Vivi memilih mengikuti Luna berjalan mendekat ke arah Renzo, perasaan Luna merasa tidak enak.
Renzo dan Vivi berjabat tangan. "Oh jadi kamu pacar Luna, sempit sekali dunia ini ya."
Dengan tatapan dingin dan tanpa ekspresi Renzo hanya membalas berjabat tangan dengan Vivi. Luna yang merasa keadaan tersebut sangatlah canggung, dan apa yang sebenarnya terjadi?
"Oke Luna, terima kasih untuk hari ini. Sampai ketemu lagi ya, jaga kesehatanmu." titah Vivi, tangannya tak henti mengusap lengan Luna dengan halus.
Luna membalas dengan sedikit membungkukan badannya sambil tersenyum.
Suara langkah kaki Vivi perlan mulai menghilang dari pendengaran mereka, bersamaan dengan mobilnya yang melaju kencang keluar dari kantor Luna.
.
"Jadi.... " tanya Luna sedikit mengintimidasi pacarnya yang tampan itu.
"Dia adalah seorang pelanggan malam itu yang mengajukan komplain terkait hasil lab." ucap Renzo datar.
Hampir saja Luna berburuk sangka, dia malah di kejutkan dia pengakuan Renzo dari mana dia mengenal Vivi.
"Hah... Mana mungkin semuanya bisa kebetulan seperti ini?!" jawab Luna seraya menutup mulutnya karena kaget. "Apa dia merencanakan semua ini? Jujur aku sedikit merasa ngeri setelah kejadi Ivan kala itu." imbuhnya lagi.
Renzo segera menarik halus tangan Luna dan menatap matanya.
"I have something news.... " kata Renzo. "Berita ini lebih penting dari sekedar wanita tidak jelas tadi."