Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 02
Malam itu berlalu dengan keheningan yang berat. Sang ibu duduk di sudut kasur, menatap dua sosok di hadapannya, Reyna, bayi yang baru saja ia selamatkan, dan Kamala, putrinya yang dulu ia besarkan dengan penuh kasih, tetapi kini berubah menjadi seseorang yang nyaris tak ia kenali.
Suara napas Kamala terdengar berat, sesekali bergumam tak jelas dalam tidurnya akibat mabuk. Sementara itu, Reyna tidur dengan damai, sesekali menggeliat kecil. Wanita itu menghela napas panjang.
"Hidup memang sulit, tapi bukan berarti kita harus menyerah pada kegelapan," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Keesokan paginya, sinar matahari menembus celah-celah jendela reyot rumah mereka. Reyna mulai menangis pelan, membuat wanita itu segera terbangun dan menggendongnya dengan lembut.
Di sisi lain, Kamala mengerang kesal. "Aduh… berisik banget!" keluhnya sambil menutup telinga dengan bantal.
Sang ibu tak menggubrisnya. Ia sibuk menenangkan Reyna, menggoyang-goyangkan tubuh mungil itu dengan lembut.
Kamala akhirnya bangkit, duduk dengan mata masih sembab akibat mabuk semalam. Ia melirik ibunya yang sibuk mengurus bayi itu, lalu mendengus. "Ibu serius mau merawat anak itu?" tanyanya, kali ini suaranya lebih datar, tanpa nada mengejek seperti semalam.
Wanita itu mengangguk mantap. "Ya, Nak. Aku tidak bisa membiarkannya mati begitu saja."
Kamala mengusap wajahnya, lalu bangkit berdiri. "Terserah Ibu, tapi jangan harap aku bantu. Aku mau keluar."
Tanpa menunggu jawaban, Kamala mengambil jaket lusuhnya dan melangkah keluar rumah. Sang ibu hanya bisa menatap punggung putrinya yang semakin jauh, lalu menghela napas panjang.
Ia menunduk menatap Reyna yang kini sudah lebih tenang. "Mungkin Ibumu meninggalkanmu, tapi aku tidak akan melakukan hal yang sama… Aku akan menjagamu, sayang."
Di luar, Kamala berjalan menyusuri gang sempit. Langkahnya cepat, menuju tempat tongkrongannya, sebuah sudut kumuh di belakang gedung tua, tempat ia dan teman-temannya biasa berkumpul. Bau asap rokok bercampur dengan alkohol menyambutnya saat ia tiba.
Beberapa pemuda sudah duduk santai di sana, merokok dan tertawa sembari membicarakan hal-hal tak jelas. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan jaket kulit hitam dan rambut gondrong bernama Jack, melirik Kamala dan menyeringai.
"Wah, Kamala akhirnya datang juga! Semalam lo ngilang ke mana?" tanyanya sambil menyodorkan sebotol minuman kepadanya.
Kamala mengambil botol itu tanpa berpikir panjang, meneguknya dalam-dalam. Rasa pahit dan panas segera memenuhi tenggorokannya, sedikit mengusir kegelisahan yang sejak tadi menghantuinya.
"Gue pulang," jawabnya singkat, duduk di antara mereka.
Seorang gadis bernama Sinta, yang duduk di samping Jack, menatapnya curiga. "Tumben lo pulang cepet. Biasanya lo yang paling betah di sini."
Kamala mendengus, menyandarkan kepalanya ke tembok. "Rumah gue makin ribet. Nyokap gue bawa pulang bayi dari jalanan, katanya mau dirawat."
Jack tertawa kecil. "Seriusan? Dia pikir hidupnya itu sinetron?"
Yang lain ikut tertawa, tapi Kamala hanya diam, menatap kosong ke lantai. "Gue juga nggak ngerti apa yang ada di otaknya," gumamnya.
Sinta menyipitkan mata, memperhatikan Kamala. "Tapi lo kepikiran, kan?" tanyanya pelan.
Kamala meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangan. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi Sinta benar. Bayi itu, Reyna, terus saja muncul di kepalanya sejak tadi malam.
Jack menepuk pundaknya dengan keras. "Udahlah, ngapain mikirin bayi buangan? Yang penting sekarang kita have fun!" katanya, menyodorkan sebatang rokok padanya.
Kamala menatap rokok itu sejenak, lalu mengambilnya. Ia menyalakan api, tapi sebelum sempat menghisapnya, entah kenapa bayangan Reyna menangis tadi pagi muncul di pikirannya.
Dengan kesal, ia menghembuskan napas kasar dan mematikan rokoknya.
"Gue harus pergi," katanya tiba-tiba, bangkit berdiri.
Raka menatapnya heran. "Lah, lo baru aja datang."
Kamala tak menjawab. Ia hanya memasukkan tangannya ke saku jaket dan berjalan pergi, tanpa tujuan di sepanjang trotoar kota yang bising. Langkahnya terasa ringan, tapi pikirannya berat. Ia merogoh saku jaketnya, kosong. Uang terakhirnya tadi malam habis untuk minuman.
Dengan menghela napas, ia berbelok menuju lampu merah, tempat biasanya para pengamen berkumpul. Ia melihat beberapa anak jalanan sudah lebih dulu beraksi, menyanyikan lagu dengan gitar tua yang senarnya hampir putus.
Tanpa banyak bicara, Kamala mengambil kaleng kosong dari pinggir jalan, lalu melangkah ke tengah trotoar. Ia berdeham sedikit, lalu mulai bernyanyi dengan suara seraknya yang khas.
"Hidup ini keras… tapi kita harus bertahan…"
Suara Kamala mengalun di tengah kebisingan kota, menarik perhatian beberapa orang. Beberapa pejalan kaki menoleh, ada yang tergerak untuk merogoh saku dan menjatuhkan recehan ke dalam kalengnya.
Ia terus bernyanyi, membiarkan suaranya menyatu dengan suara klakson kendaraan yang bersahutan. Setiap koin yang jatuh ke dalam kalengnya membuat hatinya sedikit lega.
Setelah beberapa lagu, ia menghitung uang recehan di tangannya. Tidak banyak, tapi cukup untuk membeli sesuatu.
Kamala menatap uang itu sejenak, lalu menghela napas panjang. Entah kenapa, pikirannya kembali ke rumah. Kembali ke ibunya. Kembali ke bayi kecil yang semalam menangis kelaparan.
Dan sebelum ia sadar, kakinya sudah melangkah menuju warung terdekat. Ia berdiri di depan etalase, melihat barisan susu sachet yang tergantung di rak kecil.
Ia menggigit bibirnya, lalu akhirnya mengambil satu bungkus.
"Buat bayi itu," gumamnya pada dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian, Kamala berjalan pulang dengan plastik kecil di tangannya. Ada sesuatu di dalam hatinya yang terasa asing, sesuatu yang selama ini ia hindari.
Perasaan peduli.
Kamala berjalan menyusuri gang sempit menuju rumah. Plastik berisi susu sachet tergenggam erat di tangannya. Dalam hati, ia masih bertanya-tanya kenapa ia repot-repot membeli ini. Toh, bayi itu bukan urusannya.
Tapi entah kenapa, langkahnya tak berhenti.
Begitu sampai di depan rumah, ia menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya terdiam.
Ibunya duduk di lantai, menggendong Reyna yang menangis pelan. Wajah wanita itu terlihat lelah, tapi tatapannya tetap lembut saat ia berusaha menenangkan bayi mungil itu.
Kamala berdiri di ambang pintu, ragu-ragu. Ibunya akhirnya menyadari kehadirannya dan menoleh.
"Kamu pulang," ucap sang ibu, nada suaranya datar, tidak menyalahkan tapi juga tidak hangat.
Kamala menelan ludah, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melangkah masuk dan meletakkan plastik kecil di dekat ibunya. "Ini… susu. Biar dia nggak kelaparan."
Sang ibu terkejut, matanya membulat saat melihat apa yang Kamala bawa. Namun, alih-alih bertanya atau menegur, ia hanya tersenyum kecil. Senyum yang penuh makna.
"Terima kasih, Nak," ucapnya pelan.
Kamala menggaruk kepalanya dengan canggung. "Yaudah, gue mau makan."
Kamala mengambil nasi bungkus yang tadi sempat ia beli di warung. Ia duduk di sudut ruangan, membuka bungkusan kertas minyak yang masih hangat. Aroma lauk sederhana itu menguar, mengisi perutnya yang sejak tadi terasa kosong.
Sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya, matanya sesekali melirik ke arah ibunya yang masih sibuk menyuapi Reyna dengan susu yang baru ia beli.
Bayi itu tampak lahap menghisap botolnya, seolah mengerti bahwa seseorang telah berusaha untuknya.
Kamala mendengus pelan. "Dasar bayi… gampang banget puasnya," gumamnya, meski ada sedikit kehangatan di dalam hatinya yang tak ia mengerti.
Ibunya meliriknya sekilas, lalu tersenyum samar. "Kadang, hal kecil pun sudah cukup untuk membuat seseorang merasa dicintai."
Kamala terdiam, tak tahu harus membalas apa. Ia hanya melanjutkan makannya, berpura-pura tak peduli.
Kamala baru saja meletakkan bungkus nasi kosongnya ketika ibunya menoleh padanya dengan wajah serius.
"Kamala, Ibu mau pergi kerja di rumah Bu Henny. Tolong jaga Reyna sementara Ibu pergi."
Kamala, yang sudah bersiap untuk keluar lagi, langsung menatap ibunya dengan ekspresi tak percaya. "Apa? Gue? Jaga bayi itu?"
Ibunya mengangguk mantap. "Iya. Ibu nggak bisa bawa dia ke rumah Bu Henny. Kalau kamu keluar lagi, siapa yang akan menjaganya?"
Kamala mendengus, melipat tangan di dadanya. "Ibu pikir gue cocok jadi babysitting? Gue bahkan nggak tahu cara gendong bayi!"
Ibunya menghela napas, lalu mendekati Kamala, menggenggam tangannya dengan lembut. "Nak, hanya untuk beberapa jam saja. Tolong, anggap ini sebagai permintaan dari Ibu."
Kamala menatap tangan ibunya, lalu mengalihkan pandangan. Ada perasaan tak nyaman menyusup di dadanya. Ia ingin menolak, ingin tetap pergi mencari uang, tapi wajah ibunya yang memohon membuatnya ragu.
Akhirnya, dengan berat hati, Kamala mengembuskan napas kasar. "Yaudah, tapi kalau dia nangis terus, gue nggak tanggung jawab!"
Ibunya tersenyum lega. "Terima kasih, Nak. Ibu nggak akan lama."
Setelah memastikan Reyna dalam posisi nyaman, ibunya segera mengambil tas dan bergegas pergi ke rumah Bu Henny.
Kini, Kamala duduk di sudut ruangan, menatap Reyna yang masih tertidur dengan damai di atas kain lusuh.
"Hah, jadi ini yang disebut babysitting?" gumamnya. "Gampang banget, tinggal tidur aja."
Namun, beberapa menit kemudian, dugaan Kamala salah besar.
Reyna mulai menggeliat, lalu tiba-tiba menangis kencang.
Kamala terlonjak panik. "Eh, eh! Kenapa lo nangis? Sstt! Udah, diem!"
Tapi tangisan Reyna justru semakin menjadi. Kamala menggigit bibirnya, bingung harus berbuat apa. Ia mencoba menggoyang-goyangkan tubuh bayi itu dengan canggung.
"Ssst… jangan nangis, dong! Aduh, bayi ini kenapa sih?!"
Tapi Reyna tak peduli. Tangisannya semakin keras, membuat Kamala semakin panik.
Ia mengacak rambutnya frustrasi. "Ya Tuhan, kenapa gue nurutin Ibu buat jaga anak ini?!"
Kamala semakin panik saat tangisan Reyna tak kunjung reda. Ia mencoba berbagai cara, menggendongnya dengan canggung, menggoyang-goyangkannya seperti yang sering ia lihat di film, bahkan mencoba bersenandung pelan. Namun, bayi itu tetap saja menangis, bahkan lebih kencang dari sebelumnya.
"Sial! Lo kenapa sih?!" geramnya, menatap bayi mungil itu dengan frustrasi.
Tangisan Reyna semakin menjadi, tubuh kecilnya mulai memerah karena terlalu lama menangis. Kamala menggigit bibirnya, otaknya berputar mencari solusi. Ia menepuk-nepuk punggung bayi itu asal-asalan, berharap ada keajaiban yang membuatnya diam.
"Gue harus ngapain, sih?! Jangan nangis, dong! Aduh, Ibu… kapan pulangnya?"
Ia menoleh ke pintu, berharap ibunya tiba-tiba muncul dan menyelamatkannya dari kekacauan ini. Namun, yang ada hanya keheningan di luar sana.
Kamala mengembuskan napas kasar. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Mungkin bayi ini lapar?
Dengan cepat, ia meraih botol susu yang tadi diberikan ibunya. Namun, begitu mendekatkannya ke bibir Reyna, bayi itu malah semakin menolak dan menangis lebih kencang.
"Aduh, kok nggak mau sih?! Bukannya lo lapar?"
Kamala semakin kewalahan. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi, lalu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan kecil itu sambil terus menggendong Reyna.
"Gimana sih cara nenangin bayi? Harus gue bawa ke dokter, atau gimana?"
Paniknya semakin menjadi ketika tetangga sebelah, seorang wanita tua bernama Bu Mirna, tiba-tiba mengetuk pintu dan berteriak. "Kamala! Kenapa tuh bayi nangis terus?! Berisik banget!"
Kamala menggigit bibirnya. Ia tahu kalau ia tak segera menenangkan Reyna, kemungkinan besar akan ada lebih banyak tetangga yang datang mengomel.
Ia kembali melihat botol susu itu dan berpikir. Mungkin susunya kurang hangat?
Dengan tangan gemetar, ia menuangkan susu itu ke dalam gelas, lalu menyentuhnya dengan jari. Masih dingin. Ia melirik termos kecil di sudut ruangan, lalu buru-buru mencampurkan sedikit air hangat ke dalamnya.
Setelah mencobanya lagi dengan punggung tangannya, ia mencoba memberi susu itu ke Reyna.
Awalnya, bayi itu tetap menolak, tapi setelah beberapa detik, Reyna mulai menghisap botolnya dengan lahap.
Kamala menghela napas panjang, bahunya yang tegang perlahan mengendur.
"Astaga… akhirnya!"
Ia duduk di lantai, masih menggendong Reyna yang kini mulai tenang. Napasnya tersengal, bukan karena lelah fisik, tapi lebih karena kelegaan luar biasa.
Matanya menatap bayi itu yang perlahan-lahan mulai tertidur kembali. Dadanya terasa aneh, ada sensasi asing yang menyusup ke dalamnya.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa telah melakukan sesuatu yang benar.