Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Tiket ke Neraka Kesabaran
Akay menyunggingkan senyum misterius. "Tipe wanitaku? Jelas bukan gadis bau kencur yang hobinya bikin onar sepertimu."
Aylin pura-pura menghela napas. "Kasihan sekali kau, suamiku. Sudah tua, menikah dengan gadis muda seperti aku, tapi tetap tidak bisa menikmati masa pernikahan yang indah."
Akay mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Sudah, keluar dari ruang kerjaku. Aku sibuk."
Tapi, Aylin justru makin menempel ke meja kerja, bertopang dagu sambil menatap Akay penuh rasa ingin tahu. "Hmm… atau jangan-jangan kau takut akhirnya benar-benar jatuh cinta padaku?"
Akay terdiam sejenak sebelum tertawa sinis. "Mimpi saja terus, Bau Kencur."
"Kalau tahu aku bau kencur kenapa kamu nikahi?" tanya Aylin tersenyum sinis menaikkan kakinya di atas meja kerja Akay.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Akay tajam, matanya langsung tertuju pada kaki Aylin yang dengan santainya bertengger di mejanya. Rahangnya mengencang, jemarinya mencengkeram erat dokumen di tangannya. "Turunkan kakimu dari mejaku sebelum aku benar-benar melemparmu keluar!"
Aylin mendengus, lalu mengerucutkan bibir. "Aku lapar. Suami macam apa yang nggak ngasih makan istrinya?" Nada suaranya terdengar menantang, tapi matanya sekilas memancarkan keraguan. Aura kemarahan pria di depannya terasa menekan, membuat dadanya sedikit berdebar, namun ia buru-buru menepis rasa takut itu dan tetap berlagak santai.
Akay menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. Sekilas, ia menangkap kilatan ketakutan di mata istrinya, meskipun gadis itu mati-matian mencoba menyembunyikannya. Ia menghempaskan dokumen ke meja, lalu menatap Aylin dengan ekspresi lelah. "Sudah kubilang, kalau lapar, masak sendiri."
Aylin berdecak kesal. "Zaman udah maju gini, tapi masih aja ada yang bikin hidup kayak zaman batu. Kan bisa dilevery food?"
Akay mendengus, jelas kesabarannya mulai menipis. "Dengar, kalau lapar masak sendiri. Kalau nggak mau, ya udah! Jangan ganggu aku!"
Ia lantas kembali fokus pada dokumennya, sementara Aylin mendelik kesal, merutuki nasibnya yang punya suami tanpa rasa belas kasihan.
Aylin tiba-tiba menurunkan kakinya dari meja dan bangkit dari kursi. "Baiklah, kalau begitu aku akan bersenang-senang sendiri."
"Jangan bikin masalah." Akay mengingatkan dengan nada waspada.
"Tentu saja tidak," jawab Aylin dengan senyum penuh misteri sebelum keluar dari ruang kerja.
Akay mengerutkan dahi, merasa firasatnya tidak enak. "Sial, dia pasti berencana melakukan sesuatu yang menyebalkan lagi."
Dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara keras dari dapur. Akay langsung bangkit dengan kesal. "AYLIN! Apa lagi yang kau lakukan sekarang?!"
Akay buru-buru keluar dari ruang kerja dan menemukan Aylin di dapur dengan ekspresi tak bersalah, sementara panci di kompor mengeluarkan asap tipis.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!" Akay langsung berjalan cepat ke arah kompor dan mematikan api.
Aylin hanya mengedipkan mata dengan polos. "Masak mie instan, karena suamiku pelit."
Akay menatap dapur yang sudah berantakan. Ada bungkus mie yang tercabik, telur yang pecah di lantai, dan entah bagaimana, ada sendok yang nyangkut di ventilasi dapur.
"INI KENAPA DAPURNYA JADI MEDAN PERANG?!"
Aylin mengangkat bahu. "Biasa saja, 'kan? Kau belum pernah lihat dapur setelah wanita cantik memasak?"
Akay memijit pelipisnya. "Aku baru tahu ada orang yang bisa bikin mie instan seberantakan ini."
Aylin cemberut. "Habisnya, tadi aku mau masak telur ceplok, tapi telurnya malah jatuh. Aku coba pecahin yang lain, eh malah terlalu keras. Lalu aku mau aduk mie-nya, tapi sumpitnya licin, jadi sendoknya yang masuk duluan…"
Akay menghela napas dalam-dalam. "Kau benar-benar bocah bau kencur yang tidak bisa diandalkan."
Aylin mendengus. "Huh! Kalau tak suka, jangan makan!"
Akay memandang panci yang isinya nyaris jadi bubur karena terlalu lama direbus. Lalu, dia menatap Aylin yang memasang ekspresi menantang.
"Aku lapar," kata Akay akhirnya.
Aylin tersenyum lebar. "Bagus! Kalau begitu, kau yang masak!"
Akay mengerutkan dahi. "Tunggu. Bukannya seharusnya kau yang masak untuk suamimu?"
"Ya, tapi kau bilang aku tidak bisa diandalkan," balas Aylin dengan senyum jail.
Akay menatap istri kecilnya dengan tatapan tajam, sementara Aylin justru menatap balik dengan penuh kepuasan. Setelah beberapa detik perang tatapan, Akay mendengus dan akhirnya mengambil alih dapur.
"Dasar menyebalkan."
"Terima kasih, suamiku SAYANGG!" Aylin tertawa senang, lalu dengan santai duduk di atas meja dapur, mengayunkan kakinya sambil menonton Akay memasak. Matanya berbinar penuh antusias, seperti anak kecil yang menemukan tontonan menarik.
"Dia jago juga ternyata," pikirnya, tanpa sadar memerhatikan gerakan lincah suaminya mengolah bahan makanan. "Siapa sangka pria menyebalkan ini bisa masak?" Matanya mengikuti setiap gerakan Akay—dari cara dia memotong bahan dengan presisi, menuangkan bumbu dengan takaran sempurna, hingga bagaimana lengan berototnya terlihat saat mengaduk masakan di wajan.
"Astaga… ototnya…" Aylin menggigit bibir, mendadak teringat bagaimana pria itu menumbangkan beberapa siswa hanya dalam hitungan detik. "Secepat dan sekuat itu..."
Akay, yang sejak tadi merasa diawasi, melirik sekilas sebelum menyeringai iseng. "Kenapa? Terpesona, ya?" tanyanya dengan nada menggoda, lalu menyendok kuah untuk mencicipinya. "Aku tampan 'kan?"
Aylin tersentak dari lamunannya. "Sial! Kenapa aku malah ngelihatin dia?!" Wajahnya seketika memanas, tapi tentu saja gengsinya lebih besar. Dengan cepat, dia melipat tangan di dada dan mendelik.
"Najis!" serunya, berusaha terdengar setenang mungkin, meskipun dia tahu telinganya mulai memerah.
Akay terkekeh pelan, seolah bisa membaca pikirannya.
Tanpa berkata lagi, Aylin melompat turun dari meja dapur, lalu berjalan ke meja makan dengan wajah cemberut. "Dasar pria menyebalkan!" gumamnya dalam hati, berusaha mengabaikan debar aneh di dadanya.
Di Meja Makan. Akay
Akay meletakkan dua piring di atas meja makan dengan wajah datar. Ia sudah cukup lelah menghadapi istrinya yang penuh drama sepanjang hari ini.
"Makan."
Aylin mendengus sebelum menyeret kursinya dengan santai, lalu duduk tanpa beban. Begitu melihat makanan yang disajikan, ia menaikkan satu alis. "Cuma ini? Kau nggak punya menu lain?"
Akay melipat tangan di dada. "Itu makanan, bukan dekorasi. Kalau nggak suka, silakan kelaparan."
Aylin mendecih. "Pelit banget." Tapi akhirnya ia mengambil sendok dan mulai makan.
Baru beberapa suapan, Aylin dengan santainya menaikkan satu kakinya ke kursi, duduk dengan posisi seenaknya.
Akay yang baru saja akan menyendok makanannya langsung berhenti. Tatapannya tajam ke arah Aylin. "Turunkan kakimu!"
Aylin hanya mengunyah makanannya tanpa dosa. "Kenapa? Ini lebih nyaman."
Rahang Akay mengatup rapat. "Aylin, ini meja makan, bukan warung pinggir jalan."
Aylin tersenyum penuh tantangan. "Oh, maaf, suamiku SAYANGG. Aku lupa kau orangnya rapi dan beretika tinggi."
Akay menutup mata sejenak, menahan diri agar tidak menyumpahi istrinya sendiri. "Turunkan. Kakimu. Sekarang!"
Aylin justru menaikkan kaki satunya lagi, bersedekap dengan ekspresi menyebalkan. "Nggak mau. Kau bisa apa?"
Akay menghela napas panjang sebelum menatap Aylin tajam. "Kalau begitu, makan di lantai sana. Itu tempat yang pas buat yang nggak tahu sopan santun."
Aylin terkekeh. "Wah, kau tega sekali mengusir istrimu sendiri."
"Istri macam apa yang ikut tawuran, berpakaian nggak bener, nggak bisa masak dan makan kayak preman?" balas Akay cepat.
Aylin menjulurkan lidah. "Istri yang tidak bisa kau ceraikan."
Akay menggeram, sudah hampir kehilangan kesabaran. "Kau sengaja, 'kan, Aylin?"
Aylin mengangkat bahu, mengambil satu sendok nasi dan mengunyahnya dengan puas. "Tentu saja. Aku suka melihat wajah kesalmu."
Akay akhirnya menjatuhkan sendoknya, menyerah. "Ya Tuhan, kenapa kau memberikan cobaan sebesar ini dalam hidupku? Dulu aku pikir istri itu pasangan hidup, bukan tiket menuju neraka kesabaran."
Aylin tertawa kecil, puas karena berhasil membuat suaminya stres sendiri.
Setelah makan malam yang penuh drama, Akay menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi puas. "Sekarang, bereskan meja makannya," perintahnya santai, menatap Aylin yang masih sibuk menyedot sisa minumannya dengan sedotan hingga menimbulkan suara.
Aylin meliriknya sekilas lalu mengangkat bahu. "Ngapain aku yang beresin? Bukan tugas istri," katanya enteng, menaruh gelasnya di atas meja tanpa niat sedikit pun untuk bergerak.
Akay mengangkat alis, tertarik. "Oh, gitu?" tanyanya, menyeringai jail. "Terus, menurutmu tugas istri itu apa?"
...🌟...
..."Sabar itu bukan berarti lemah apalagi kalah, karena sabar membuktikan kekuatan dan kemenangan atas kendali diri." ...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Akay merasa dijebak nenek ros menikahi cucunya...
Darah Akay sudah mendidih si Jordi ngajak balapan lagi sama Aylin...benar² cari mati kamu Jordi..ayo Akay bilang saja ke semua teman² Aylin kalo kalian sudah menikah
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍