Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang tak bisa tergantikan
"Tidak! Pokoknya kamar itu buat adik, bukan buat dia. Gak boleh, jangan!" Alan kenaikkan suaranya. Protes pada apa yang orang tuanya lakukan.
Adnan dan Lusy hanya saling pandang, lalu mereka memutuskan membawa bayi itu ke kamar mereka.
"Lebih baik kita buat kamar lain saja nanti. Sementara waktu kita biarkan Ara tidur bersama kita."
"Sampai kapan, Pah? Ini udah mau dua bulan. Kita berusaha membujuk Alan tapi dia bersikeras tidak mau menerima anak ini."
"Dia masih kecil untuk bisa menerima. Beda sama Bryan. Gak apa-apa, perlahan seiring bertambahnya usia, Alan pasti akan mengerti dan menerima."
Itulah harapan Adnan dan Lusy ketika mengangkatku sebagai putri mereka. Nenek bilang, saat itu Adnan datang setelah sepekan Sarif kembali ke kota. Awalnya Adnan hanya ingin mencoba merangsang Lusy yang seperti mayat hidup agar bisa kembali seperti manusia normal lainnya.
Ajaibnya, apa yang Adnan inginkan menjadi kenyataan. Nenek bilang, begitu aku dibawa masuk dan Lusy mendengar suara tangisanku, dia langsung merespon.
Begitulah kenapa aku berakhir di keluarga ini.
Namun, harapan Adnan dan Lusy untuk Alan bisa menerimaku, tidak bisa terwujud sampai usiaku yang kini sudah remaja. Dia menganggap ku seolah tidak pernah ada di rumah itu.
Tidak, dia tidak pernah marah, mencaci, ataupun melakukan kejahatan padaku. Dia hanya tidak peduli pada kehadiranku. Tidak pernah bicara bahkan menatap sekalipun.
Berbeda dengan Bryan. Dia hangat dan penuh perhatian. Aku benar-benar merasa kalau kami memang sodara kandung.
"pulang sekolah jam berapa?" tanyanya saat kami semua sedang sarapan.
"Hari ini aku ada ekskul, jadi pulang jam empat sore."
"Oke, kalau sempat nanti Abang jemput. Hari ini ada 3 operasi soalnya."
"Gak apa-apa, Bang. Aku bisa pulang sendiri kok. Bisa naik taksi ataupun angkot."
"Kamu sih, kenapa gak mau pakai supir aja, sayang?" tanya Adnan.
"Sekolahku bukan sekolah elit, Pah. Mana bisa datang pakai mobil pribadi."
Ya, sadar diri aku bukan anak kandung mereka. Aku mencoba membiasakan diri sebagai anak orang biasa. Tidak ingin terlalu menikmati semua fasilitas yang ada, toh ini memang bukan milikku.
Kok bisa aku tahu kalau aku bukan anak kandung mereka? Ya justru karena itu aku sadar diri dan tidak menikmati peran sebagai anak sesungguhnya di rumah ini. Sejak kecil Adnan dan Lusy sudah mengatakan bahwa aku bukan anak mereka. Mereka sering membawaku ke makam ibu agar aku tahu bahwa ya itulah ibuku yang sebenarnya.
Tujuan mereka memang baik, agar aku tidak melupakan siapa yang melahirkan aku ke dunia sampai dia harus kehilangan nyawa. Namun, ada beberapa hal yang membuat aku sendiri berpikir bahwa mereka pun tidak sepenuhnya menganggap aku putri kandung mereka. mungkinkah ini yang dinamakan tidak adanya ikatan batin? entahlah.
"Ayo habiskan sarapannya, Abang anter ke sekolah biar gak telat."
"oke, seperi biasa ya. Aku turun di depan halte aja."
"Terserah deh, senyamannya kamu aja."
Setelah menghabiskan sarapan, aku berpamitan pada Adnan dan Lusy, mencium punggung tangan dan cipika cipiki layaknya anak dan orang tua pada umumnya.
Entah kenapa pagi itu aku reflek mendekati Alan dan mengulurkan tangan hendak bersalaman, entah kenapa dengan otakku pagi itu. Aku lupa jika dia menganggap aku tidak pernah ada di dunia ini.
Aku yang terdiam karena masih heran dengan diri sendiri, ditarik oleh Bryan dan berjalan keluar menuju parkiran.
"uang jajan masih ada gak?" tanyanya mengalihkan kesadaranku.
Aku tersenyum seraya memeluk orang yang benar-benar seperti kakak kandung sendiri. Aku bahagia memiliki keluarga ini, setidaknya aku yatim piatu tapi nasibku lebih baik di antara anak-anak lainnya.
Bryan memang cerewet, tapi aku suka. Dia bisa menjadikan hal-hal sepele yang menjadi pembicaraan seru saat dia mengantar atau menjemputku.
"oke, kita udah sampai."
"Makasih, Abang."
"sama-sama, belajar yang rajin ya. Awas aja kalau pacar-pacaran dulu," pesannya saat aku turun dari mobil.
"kalau pacaran beneran berarti boleh dong?"
Dia langsung melotot sambil tangannya mengayun seolah hendak memukulku. Aku tertawa seraya menutup pintu mobil. Bryan melajukan mobilnya sambil melambaikan tangan padaku. Kepergian nya teriring doa dari mulut kecil ini agar dia selalu dilindungi tuhan dan selalu bahagia.
Di depan gerbang, kedua sahabatku sudah menunggu. Mereka melambaikan tangan dengan wajah sumringah melihatku datang. Ayumi dan Hilda.
"Kamu udah ngerjain sketsa yang diminta pak Hadi belum?" tanya Ayumi. Aku mengangguk sementara Hilda terlihat terkejut.
"Kenapa pula?"
"Lupa. Aku lupa ada tugaaaaaas," ujarnya sambil berlari menuju kelas. Aku yakin dia akan mengajarkan tugas itu di sana. Beruntung pelajaran pak Hadi ada di jam terakhir nanti.
"Dasar pikun!" Ayumi teriak.
"Gimana keadaan ibu kamu, Mi? Udah baikan?"
"Hmmm, lumayan. Setelah operasi Minggu lalu, dia udah mendingan tinggal nunggu pemulihan. Untung kamu merekomendasikan ke rumah sakit Mitra Asih, selain fasilitasnya lengkap, dokternya juga baik dan ganteng." ucap Ayumi tersipu.
Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ya, selain baik dan ramah, Bryan memang sangat tampan. Ahhhh, senang rasanya memiliki kakak yang dikagumi banyak orang. Bangga aja gitu meski mereka tidak tahu hubungan ku dengan Bryan.
"Dia udah punya pacar belum ya?"
"kenapa memangnya? Ngarep? Ya kali dokter sekelas dia mau sama kita?" ujarku.
"Ya enggak, cuma penasaran aja nanti ceweknya bakalan kayak gimana?"
"Yaaa pastinya cantik sih."
"Bukan masalah cantiknya, dokter Bryan kan baik dan ramah, harus dapet istri yang sama juga gak sih? Kalau dapet istri yang kebalikan, kan bisa menjatuhkan pamor dokternya sendiri."
"Dahlah, ngapain kita bahas jodoh orang pagi-pagi gini. Tugas kita itu cuma belajar yang giat dan rajin. Jangan kayak si onoh yang selalu lupa sama tugas."
Aku dan Ayumi tertawa. Hingga tawa kami terhenti saat seseorang menghampiri.
"Permisi."
Langkah dan tawaku terhenti bersamaan.
"Ya, ada apa ya, Mas?"
"Maaf mau tanya, ruang guru sebelah mana ya?"
"Oh, ruang guru?"
Pria yang bertubuh tinggi tegap itu mengangguk.
"Mas lurus aja dari ini mengikuti lapangan volley, nanti mas belok kanan. Di situ ada ruang kelas 2F, habi itu mas belok kiri, ada toilet dan dari toilet mas lurus aja."
Pria itu menganggukkan kepalanya.
"Terimakasih ya."
"sama-sama."
Setelah orang itu pergi, aku mencubit pinggang sahabatku.
"Awwww! Geli tau!"
"Lo kenapa sih ngasih rute rumit banget? Orang dari sini tinggal ke kiri doang."
"Gak apa-apa lah, toh gak akan ketemu lagi ini. Udahlah, ayo buruan kira temui Hilda, siapa tau dia lagi kesusahan di kelas."
Kami kembali tertawa sambil berlari kecil menuju kelas karena bel sebentar lagi akan berbunyi.