NovelToon NovelToon
Alice Celestia Dalian

Alice Celestia Dalian

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Beda Usia / Cinta Beda Dunia / Teen School/College / Identitas Tersembunyi / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:234
Nilai: 5
Nama Author: Umi Nurhuda

"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.

Jalanan licin membuat mobil tergelincir.

"Kyaaa!!!"

Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.

"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.

Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.

"Selamat datang, gadis berambut hitam."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

stop ngomong gitu,

Dalian masih sibuk dengan selimut di tangannya, berusaha mengalihkan perhatian dari situasi yang membuatnya sedikit canggung.

Dia membalikkan posisi selimut sekali lagi, meski sebenarnya sudah rapi sejak tadi. "Canggung banget, ih, nyebelin!" Gerutunya.

Sementara itu, Karel berdiri di depan cermin, memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri untuk memeriksa kondisi kacamatanya.

Dengan satu tangan, dia membenarkan posisi kacamata yang sebelumnya miring akibat terkena bola. Cukup satu gerakan sederhana, dan kacamata itu kembali sempurna seperti semula.

“Wah, udah bagus lagi,” gumam Karel lega, meski hidungnya masih terasa nyeri. Ia menoleh ke arah Dalian yang masih sibuk dengan selimut. “Eh, Dalian.”

Dalian menoleh setengah malas. “Apa lagi?” tanyanya dengan nada datar.

Karel menggaruk belakang kepalanya, tampak sedikit canggung. “Hmm... hidung gue masih sakit, nih. Lo bisa bantuin nggak? Mungkin kasih salep atau apa gitu?”

Dalian mengerutkan kening. “Hah? Gue? Emang gue suster, apa?” Dia melipat tangan di dada, pura-pura tidak peduli. Tapi jelas ada keraguan di wajahnya, seolah merasa tidak tega.

Karel mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. “Ya kan lo lagi di UKS. Lagian susternya pada gak ada, kemana sih mereka, hmm... Masa iya gue harus minta ke tembok?"

Dalian mendengus pelan. “Ya udah, tunggu bentar.” Dia bangkit dari tempat duduknya dan mulai membuka laci-laci meja di UKS, mencari kotak P3K. Dalam hati dia menggerutu, “Kenapa juga gue harus repot buat dia? Tapi kasihan juga kalau nggak diurus.”

Setelah beberapa saat, dia menemukan salep luka dan beberapa kapas. Dia kembali ke arah Karel, mengulurkan barang-barang itu tanpa berkata apa-apa.

Karel menerima salep dan kapas itu dengan senyum lebar. “Thanks, Dalian. Gue tau lo baik, kok, meski sering jutek.”

Dalian memutar bola matanya. “Cepet pake, terus cabut sana,” ucapnya, mencoba terdengar kesal, tapi suaranya kurang meyakinkan.

Karel membuka tutup salep dan mulai mencoba mengoleskan ke hidungnya. Tapi, begitu ia menyentuh hidungnya yang memar, ia meringis kesakitan. “Aduh, sakit banget kalau gue sendiri yang ngoles. Lo bantuin, dong.”

Dalian langsung mendelik. “Apa? Nggak, ah! Lo sendiri aja! Pake tangan gue malah tambah sakit lagi."

“Please, Dalian. Gue nggak bisa lihat sendiri hidung gue. Kalau gue maksa, malah makin sakit.” Karel memelas, tapi ada nada bercanda di suaranya.

"Ck, sengaja banget!" Dalian mendesah panjang, lalu meraih kapas di tangan Karel. “Ya udah, sini. Tapi lo diem, ya! Jangan gerak-gerak.”

Karel duduk di kursi dan menatap Dalian dengan senyum lebar, seolah menikmati momen itu. Dalian, di sisi lain, mencoba tetap fokus, meski tangan gemetar sedikit saat mengoleskan salep ke hidung Karel.

“Jangan senyum-senyum gitu, deh. Gue jadi risih,” ucap Dalian sambil melirik ke arah Karel.

Karel tertawa kecil. “Gimana gue nggak senyum? Lo kelihatan serius banget, kayak dokter beneran.”

“Duh, diem nggak, sih?” Dalian melotot. Tapi, Karel hanya tertawa pelan, membuat Dalian merasa semakin ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya.

Karel berkata, “Thanks, dokter Dalian. Gue nggak bakal lupa jasa lo.”

Ucapan itu, semakin membuat Dalian merasa canggung. Berat rasanya menahan rona pipinya yang hampir saja memerah.

"By the way, elo ngapain di UKS? Sakit? Tapi, gue lihat elo gak sakit." Selidik Karel.

"Elo diem aja deh!" Perintah Dalian.

“Iuh, galak bener cewek ini. Dalian, lo tuh unik banget, ya. Gue suka.” jawab Karel.

Dalian tertegun dengan wajah memerah lagi. “Gila, apa-apaan dia ngomong kayak gitu?” ucapnya di dalam pikiran.

"Pipimu tampak merah," usil Karel.

"Karel, stop!" Wajah Dalian semakin memerah, tapi ia segera berusaha menyembunyikannya dengan pura-pura sibuk membereskan kapas dan salep. “Udah, kan? Gue balik ke kelas dulu,” katanya cepat, lebih baik kabur dari situasi canggung ini.

Tapi sebelum dia sempat melangkah keluar, Karel berkata, “Eh, jangan buru-buru, dong. Gue serius tadi. Lo tuh unik banget. Kayaknya gue nggak bakal bosan deket sama lo.”

Dalian menghentikan langkahnya. Dia menoleh dengan tatapan setengah bingung, setengah jengkel. “Karel, Jangan bikin gue kesel. Ngelawak mulu, hih!"

Karel hanya tertawa kecil, suaranya renyah. “Bukan ngelawak. Gue cuma bilang apa yang gue pikirin. Lo beda dari cewek-cewek lain. Dan itu seru buat gue.”

Dalian menghela napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak terpancing lebih jauh. “Lo tuh suka banget ngomong sembarangan. Udah ah, gue balik.” Dengan langkah cepat, dia membuka pintu UKS dan pergi tanpa menunggu jawaban dari Karel.

Namun, rencananya untuk kabur mulus gagal total. Baru beberapa langkah keluar dari UKS, Dalian malah menabrak seseorang. “Aduh, maaf!” serunya sambil mengangkat kepala.

Tapi saat melihat siapa yang ditabraknya, ia langsung terpaku. “Pak Pandita?!”

Pak Pandita berdiri di depannya, alisnya terangkat tinggi. Dengan nada tegas, ia berkata, “Dalian, kamu kenapa ada di sini? Bukannya seharusnya kamu di kelas saya sekarang?”

Dalian menelan ludah, otaknya bekerja keras mencari alasan. “Eh, itu... saya lagi kurang enak badan, Pak. Jadi ke UKS dulu, tadi... sakit kepala.”

Pak Pandita menyipitkan matanya, seolah tak sepenuhnya percaya. “Sakit kepala? Tapi kenapa saya lihat kamu keluar dari UKS sambil tergesa-gesa seperti ini?”

Dalian mulai panik. “Eh, itu, Pak... saya—”

Namun sebelum dia sempat menyelesaikan alasannya, suara ceria dari belakangnya terdengar. “Pak Pandita! Halo!”

Dalian menoleh dengan ekspresi horor. “Karel?! Aduh, kenapa dia harus muncul sekarang?!” pikirnya.

Karel mendekat dengan langkah santai, masih memegang hidungnya yang terlihat memerah. “Dalian ini baik banget, lho, Pak. Dia tadi bantu saya di UKS karena hidung saya kena bola. Kalau bukan dia, mungkin saya masih kesakitan.”

Pak Pandita menatap Karel, lalu Dalian, yang terlihat bingung dan salah tingkah. “Benarkah? Tapi kenapa saya tidak melihat catatan izin atau laporan dari UKS tentang kejadian ini?”

Karel tersenyum lebar. “Yah, Pak, namanya juga mendadak. Kita kan harus bertindak cepat. Lagian, Dalian tuh orangnya penuh inisiatif. Keren, kan?”

Dalian ingin sekali menghilang saat itu juga. Wajahnya semakin memerah, tapi kali ini bukan karena pujian Karel, melainkan karena situasi ini semakin rumit.

Pak Pandita menghela napas panjang. “Baiklah, saya akan biarkan kali ini. Tapi lain kali, kalau ada masalah, kalian harus melapor dulu, mengerti?”

Dalian mengangguk cepat, “Iya, Pak. Maaf.”

Setelah Pak Pandita pergi, Karel menoleh ke Dalian dengan senyuman jahil. “Nah, gue udah bantuin lo, kan? Lo nggak dihukum. Gimana, hebat, kan?”

Dalian mendengus kesal. “Hebat apanya? Lo malah bikin situasi tambah ribet!” Dia melangkah cepat menjauh, tapi Karel mengikuti di belakangnya sambil terkikik.

“Serius, Dalian. Lo itu seru banget kalau lagi panik. Gue nggak bakal bosen deh.”

“Karel, stop ngomong gitu, atau gue lempar lo ke lapangan.” Ancaman Dalian hanya membuat Karel tertawa lebih keras.

1
Bu Kus
wah serem dan menegangkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!