NovelToon NovelToon
Star Of Death Heavenly Destroyer

Star Of Death Heavenly Destroyer

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sistem / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Light Novel
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Dewa Leluhur

Update Sebulan Sekali (Opsional)
Local Galactic Group, dimensi yang menjadi ajang panggung pertarungan para dewa dalam siklus pengulangan abadi. Noah, Raja Iblis pertama harus menghadapi rivalitas abadinya, Arata, Dewa Kegilaan akan tetapi ia perlahan menemukan dirinya terjebak dalam kepingan-kepingan ingatan yang hilang bagaikan serpihan kaca. The LN dewa pembangkang yang telah terusir dari hierarki dewa. Mendapatkan kekuatan [Exchange the Dead] setelah mengalahkan dewa Absurd, memperoleh kitab ilahi Geyna sebagai sumber kekuatan utama.'Exchange the Dead' kemampuan untuk menukar eksistensi dan mencabut jiwa sesuka hati, mampu menukar kematian ribuan kali, menjadikannya praktis tak terkalahkan menguasai kitab ilahi Dathlem sebagai sumber kekuatan tambahan menciptakan makhluk-makhluk rendah dengan satu bakat sihir sebagai perpanjangan kekuasaannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fablohetra Kehidupan Kayu dan Porselen, Jiwa-jiwa Terbelenggu

Arata mengangkat wajahnya perlahan, matanya yang sempat berkabut oleh air mata kini berkilat dengan pemahaman baru — Tersenyum lembut.

"Kau benar tentang satu hal," dia bangkit berdiri, essence divine-nya mulai stabil dengan cara yang berbeda — lebih terkendali, lebih fokus. "Aku memang berlari. Tapi bukan dari diriku sendiri."

Sosok itu mengangkat alis, "Oh?"

"Aku berlari karena Noah tidak akan berhenti memburuku selama aku masih bernapas," Arata menggenggam Agroname lebih erat, tapi kali ini tanpa kegelisahan yang biasa. "Bukan kedamaian yang kutakuti — tapi fakta bahwa setiap kali aku berhenti, dia akan menemukanku."

Essence divine Arata mulai berputar dengan pola baru, lebih terstruktur namun tetap mematikan. "Dan kau tahu apa yang baru kusadari? Mungkin itu bisa menjadi keuntunganku."

"Maksudmu?"

"Jika Noah tidak akan berhenti mengejarku..." seringai tipis muncul di wajah Arata, "maka aku bisa membuatnya masuk ke dalam jebakanku sendiri. Membiarkan dia mengira bahwa dia yang memburu, padahal sebenarnya..."

Tiba-tiba Arata melesat ke depan, tapi kali ini gerakannya berbeda — tidak dikuasai amarah atau keputusasaan, melainkan perhitungan dingin. Agroname bergerak dalam pola yang tak terduga, menggabungkan teknik-teknik yang telah dia pelajari dari setiap dewa yang dia bunuh.

Sosok itu terkejut, untuk pertama kalinya kehilangan ketenangan sempurnanya.

"Kau benar, aku memang perlu berhenti berlari," Agroname Arata menembus pertahanan sosok itu, "tapi bukan untuk mencari kedamaian — melainkan untuk mempersiapkan perangkap."

Essence divine berkumpul di ujung Agroname, meledak dalam cahaya menyilaukan saat pedang itu menembus sosok tiruannya.

"Terima kasih," Arata berbisik saat sosok itu mulai memudar, "kau membuatku menyadari bahwa ada cara lain untuk menghadapi Noah. Bukan dengan terus berlari, bukan juga dengan mencari kedamaian..."

"Melainkan dengan membiarkan dia mengira bahwa dia masih memegang kendali," sosok itu tersenyum sebelum sepenuhnya menghilang, "kau akhirnya menemukan jalanmu sendiri."

Arata berdiri sendirian di tengah padang tandus Endignyu, Agroname bersinar redup di tangannya. "Tunggu aku, Noah. Kali ini, bukan aku yang akan masuk ke dalam perangkapmu..."

Rasa bersalah dari dalam diri Arata setelah membunuh adik Noah telah tenggelam oleh pemahamannya yang tidak pernah waras.

Arata melangkah meninggalkan padang tandus Endignyu. Dengan satu ayunan Agroname, portal dimensional kembali terbuka — kali ini menampakkan dunia yang sangat berbeda.

"Fablohetra," Arata berbisik saat kakinya melangkah memasuki portal. "Dunia para manekin berjiwa."

Pemandangan yang menyambutnya begitu kontras dengan kekosongan Endignyu. Di hadapannya terbentang kota yang dipenuhi manekin-manekin bergerak. Mereka berjalan, berbicara, tertawa — seolah benar-benar hidup. Tubuh mereka terbuat dari kayu dan porselen, tapi mata mereka... mata mereka memancarkan kehangatan jiwa yang tak bisa ditiru.

"Jiwa-jiwa yang terikat dalam tubuh boneka," Arata mengamati sambil melangkah di antara para manekin yang langsung menyingkir memberi jalan. "Kreasi yang begitu... unik."

Semakin dalam dia melangkah ke pusat kota, semakin megah bangunan-bangunan yang dia lewati. Semua struktur tampak seperti rumah boneka raksasa, dengan detail ornamen yang begitu rumit. Di setiap sudut, para manekin melakukan aktivitas mereka — ada yang berdagang, bermain musik, bahkan menari dengan gerakan yang begitu anggun meski terbuat dari kayu dan engsel.

"Dewi Eikahetra," Arata bergumam, merasakan essence divine yang semakin kuat. "Sang pencipta yang memberikan kehidupan pada yang tak bernyawa."

Langkahnya terhenti di depan sebuah kastil yang tampak seperti galeri boneka raksasa. Di dalamnya, dia bisa merasakan kehadiran yang begitu kuat — essence divine murni yang menjadi sumber kehidupan seluruh Fablohetra.

"Mari kita lihat," seringai tipis muncul di wajah Arata, "bagaimana rasanya membunuh dewi yang menciptakan kehidupan palsu."

Arata melangkah memasuki kastil, langkah kakinya bergema di lorong-lorong yang dihiasi manekin-manekin berpakaian mewah. Berbeda dengan manekin di luar, yang di dalam kastil ini tampak lebih... hidup. Gerakan mereka lebih halus, mata porselen mereka memancarkan kecerdasan yang lebih dalam.

"Selamat datang, kamu yang mana?" sebuah suara lembut bergema dari segala arah. Suara itu terdengar seperti dentingan lonceng kristal yang dipadukan dengan bisikan angin.

Arata menghentikan langkahnya. Di hadapannya, udara berpendar seperti kabut keemasan, membentuk sosok seorang wanita dengan rambut seputih porselen dan mata sewarna amber. Eikahetra, sang Dewi Pencipta Manekin.

"Aku sudah menunggumu," Eika tersenyum, tangannya yang seputih gading bergerak anggun membentuk gestur menyambut. "Pemburu yang kehilangan jiwanya sendiri, datang ke dunia jiwa-jiwa yang terbelenggu."

"Jiwa palsu," Arata mendesis, Agroname bergetar merespons essence divine yang menguar dari Eika. "Kau hanya menciptakan ilusi kehidupan."

Eika menggeleng pelan, senyumnya tidak memudar. "Apakah sesuatu menjadi palsu hanya karena berbeda bentuk? Lihat mereka," dia menunjuk para manekin di sekitar mereka. "Mereka merasakan. Mereka mencintai. Mereka hidup."

"Mereka boneka yang kau kendalikan!"

"Seperti kau yang dikendalikan akan ketidakmauan untuk mati ditangan Noah?"

Kata-kata itu membuat Arata membeku. Essence divine-nya bergejolak liar, tapi Eika tetap berdiri tenang, matanya yang sewarna amber menatap langsung ke dalam jiwa Arata.

"Kau datang ke sini untuk membunuhku, bukan? Untuk mengambil kekuatanku?" Eika melangkah maju. "Tapi tahukah kau apa yang sebenarnya kuberikan pada para manekin ini? Bukan hanya kehidupan... tapi kebebasan untuk memilih jalan mereka sendiri."

"Omong kosong," Arata mengangkat Agroname, essence divine dewa perang berkobar di sekitar pedangnya. "Kau hanya dewa yang bersembunyi di balik kata-kata indah."

Eika merentangkan tangannya, dan seketika semua manekin di ruangan itu bergerak mundur, membentuk lingkaran luas di sekitar mereka. "Lihat mereka, Arata. Mereka memilih untuk mundur bukan karena perintahku, tapi karena mereka memahami bahaya."

"Cukup basa-basinya!" Arata melesat maju, Agroname terayun dalam gerakan mematikan.

Tapi Eika tidak bergerak menghindar. Alih-alih, sebuah manekin melompat di antara mereka, menerima tebasan Agroname yang membelah tubuh porselennya.

"Kenapa?" Arata terhenti, menatap manekin yang kini tergeletak rusak. "Kenapa dia..."

"Karena dia memilih untuk melindungiku," Eika berlutut di samping manekin itu, tangannya yang bercahaya menyentuh permukaan porselen yang retak. "Seperti kau yang memilih untuk terus memburu, dia memilih untuk melindungi. Bukankah itu bukti bahwa jiwa mereka nyata?"

Arata mengertakkan giginya, tapi ada keraguan dalam essence divine-nya. "Kau... kau hanya memanipulasi mereka!"

"Seperti Noah yang memanipulasimu dengan rasa bersalah atas kematian adiknya?" Eika bangkit berdiri, matanya menatap tajam. "Atau seperti kau yang memanipulasi dirimu sendiri dengan dendam yang tak berujung?"

Essence divine Arata meledak, menghancurkan beberapa manekin di dekatnya. "DIAM! Kau tidak tahu apa-apa tentang—"

"Takut mati? Tentang rasa bersalahmu? Semua ketakutan itu?" Eika melangkah maju. "Aku tahu, Arata. Karena itulah yang kulihat di setiap jiwa yang kuberikan pada manekin-manekin ini — kemampuan untuk merasakan, untuk menderita, untuk memilih."

"Cukup," Arata mengangkat tangannya, essence divine-nya mulai tenang. "Aku tidak datang untuk berdebat tentang jiwa atau kehidupan. Aku datang untuk meminta bantuanmu, Dewi Eikahetra."

Eika mengangkat alisnya anggun. "Bantuan?"

"Ajari aku," Arata menurunkan Agroname, "cara menciptakan manekin seperti mereka. Aku butuh... tiruan diriku sendiri untuk menghadapi Noah."

Senyum di wajah Eika memudar, digantikan ekspresi keras yang belum pernah Arata lihat sebelumnya. "Tidak."

"Kenapa?" Arata mengepalkan tangannya. "Dengan kemampuanmu, kita bisa menciptakan manekin yang persis seperti diriku. Noah tidak akan bisa membedakannya. Aku bisa—"

"Menggunakan jiwa palsu untuk mengelabui Noah?" Eika memotong tajam. "Menciptakan boneka untuk menggantikan nyawamu sendiri? Tidak, Arata. Aku tidak akan pernah mengajarimu."

"Tapi—"

"Jiwa bukan sesuatu yang bisa kau permainkan seperti itu," essence divine Eika bergetar kuat, membuat seluruh kastil berguncang. "Kau pikir menciptakan kehidupan adalah lelucon? Permainan untuk mengelabui kematian?"

"Ini bukan permainan!" Arata berteriak frustrasi. "Ini tentang bertahan hidup!"

"Tidak," Eika menggeleng tegas. "Ini tentang ketakutanmu untuk menghadapi konsekuensi dari pilihanmu sendiri. Dan aku tidak akan pernah membantumu melarikan diri dengan cara seperti itu."

"Asal kau tahu Arata, aku mencintai Noah tapi karena hobiku yang aneh dia—" Eika merenung merasakan kesedihan yang menyiksa perasaannya — menghela napas berdamai pada semua itu.

Matanya menatap Eika dengan cara yang berbeda — bukan lagi sebagai target, tapi sebagai seseorang yang mungkin memahami rasa sakitnya.

"Kau... mencintai Noah?" suaranya terdengar ragu, seolah mencoba memahami ironi takdir yang mempertemukan mereka.

Eika tersenyum pahit, tangannya bergerak menyentuh salah satu manekin terdekat dengan kelembutan seorang ibu. "Ya. Tapi cinta tidak selalu berakhir seperti yang kita harapkan, bukan? Noah... dia tidak bisa menerima hobiku menciptakan kehidupan dalam bentuk manekin. Baginya, ini adalah penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri."

"Dan sekarang kau menolak membantuku karena...?"

"Karena aku tahu persis apa yang akan Noah lakukan," Eika menatap Arata tepat di mata. "Dia akan menemukan cara untuk membedakan manekin dari dirimu yang asli. Dan ketika itu terjadi, kemarahannya akan menjadi lebih besar dari sebelumnya — meski Noah tidak menyukai semua ini, aku tidak mau siapapun merusak manekin aku sekalipun laki-laki yang aku cintai dulu."

Arata menggenggam Agroname lebih erat, tapi tidak mengangkatnya. "Aku tetap membutuhkan kemampuan itu, Eika. Dan jika kau tidak mau mengajariku secara baik-baik..."

"Kau akan membunuhku?" Eika tertawa kecil, suaranya dipenuhi kesedihan. "Kau bisa mencoba, Arata. Tapi bahkan jika kau berhasil, essence divine-ku tidak akan memberikanmu kemampuan yang kau cari."

"Apa maksudmu?"

"Kemampuan menciptakan kehidupan dalam manekin... bukan sesuatu yang bisa dipelajari atau diambil begitu saja," Eika melangkah mendekati Arata, sama sekali tidak gentar dengan pedang di tangannya. "Ini adalah hasil dari ratusan tahun memahami setiap aspek jiwa, setiap detail dari kehidupan itu sendiri. Bahkan jika kau membunuhku dan mengambil kekuatanku, kau tidak akan bisa menciptakan manekin yang cukup meyakinkan untuk mengelabui Noah."

Arata menurunkan pedangnya sepenuhnya, frustasi terlihat jelas di wajahnya. "Kalau begitu ajari aku! Aku akan melakukan apa saja—"

"Tidak, Arata," Eika menggeleng lelah.

"Lalu apa yang harus kulakukan?!" suara Arata pecah, untuk pertama kalinya terdengar benar-benar putus asa. "Dia tidak akan berhenti mengejarku! Dia—"

"Dan membuat manekin tidak akan menyelesaikan masalah itu," Eika memotong lembut. "Yang kau butuhkan bukan pelarian, Arata. Yang kau butuhkan adalah..."

"Cukup," Arata mengangkat tangannya, mundur beberapa langkah. "Aku tidak butuh ceramahmu. Aku butuh solusi."

"Dan aku sudah memberikannya," Eika menjawab tenang. "Tapi kau terlalu takut untuk mendengarkan."

Arata menatap Eika lama, essence divine-nya bergolak dalam kebimbangan. Dia tahu dia tidak bisa membunuh Eika — bukan karena tidak mampu, tapi karena dia memang membutuhkan kemampuan dewi itu. Dan semakin lama dia berdiri di sana, semakin jelas bahwa Eika tidak akan pernah membantunya, tidak peduli seberapa keras dia memaksa.

"Tolong pergilah bahkan dari dunia ini," Eika berkata penuh rasa lelah menghadapi Arata.

Eika menghilang dalam pusaran essence divine keemasan, meninggalkan Arata sendirian di ruangan megah itu. Satu per satu, para manekin juga berjalan meninggalkannya hingga akhirnya kastil itu benar-benar kosong. Hanya ada Arata dan gaung langkahnya sendiri.

Dia berdiri di sana untuk waktu yang lama, menatap tempat Eika menghilang. Essence divine-nya bergetar lemah, mencerminkan kekacauan dalam hatinya. Penolakan Eika bukan hanya menutup satu jalan keluar — tapi juga membuka luka lama tentang Noah yang tidak pernah menerima cinta dan hobi.

"Baiklah," dia akhirnya berbisik pada kekosongan. "Jika aku tidak bisa mendapatkan kekuatan untuk membuat tiruan diriku..."

Arata melangkah keluar kastil, menuju halaman luas yang kini juga kosong. Tidak ada lagi manekin yang menari atau bermain musik. Hanya ada keheningan dan angin yang berhembus di antara bangunan-bangunan megah yang tampak seperti rumah boneka raksasa yang ditinggalkan.

Di tengah halaman itu, Arata menghunus Agroname. Kali ini, dia menekan essence divine-nya hingga ke titik terendah — hampir tidak terasa sama sekali. Pedang di tangannya kini hanya sebatas besi tajam, tanpa pancaran energi dewa yang biasa menyelimutinya.

"Kalau begitu..." dia mengambil kuda-kuda dasar, posisi yang sudah lama tidak dia gunakan sejak mendapatkan kekuatan dewa. "Aku akan kembali ke awal. Ke dasar dari semua teknik pedang yang pernah kupelajari."

Arata mulai bergerak dalam rangkaian gerakan dasar — langkah maju, mundur, tusukan, tebasan. Setiap gerakan dilakukan dengan presisi tinggi, tanpa bantuan essence divine. Keringat mulai membasahi dahinya, napasnya mulai memberat. Dia lupa bagaimana rasanya bertarung tanpa kekuatan dewa.

"Teknik dasar pedang Timur," dia bergumam sambil terus bergerak. "Fokus pada efisiensi gerakan dan ketepatan waktu."

Gerakan demi gerakan mengalir, semakin lama semakin cepat. Arata merasakan otot-ototnya memprotes — sudah terlalu lama dia mengandalkan essence divine untuk bertarung.

"Teknik pedang Barat," dia beralih ke rangkaian gerakan berbeda. "Kekuatan dan momentum sebagai kunci."

Hari berganti malam, tapi Arata terus berlatih. Mengulang setiap teknik pedang yang pernah dia pelajari sebelum mendapatkan kekuatan dewa. Teknik-teknik yang dia lupakan karena terlalu mengandalkan essence divine.

"Mungkin Eika benar," dia berbisik di antara napasnya yang tersengal. "Aku terlalu fokus mencari jalan pintas... terlalu takut menghadapi Noah secara langsung..."

Arata terus berlatih di halaman kosong itu, ditemani bayang-bayang gedung tinggi dan keheningan yang mencekam. Dia akan menunggu — tapi bukan dengan berdiam diri. Setiap gerakan pedang murni tanpa essence divine adalah satu langkah menuju kekuatan yang berbeda.

"Lihat saja, Noah," dia bergumam sambil mengayunkan Agroname dalam gerakan kompleks tanpa setitik pun energi dewa. "Aku akan mendapatkan hati Dewi Eikahetra sampai dia mau mengajari aku," di lubuk hati Arata — mengayunkan pedangnya secara horizontal.

1
IamEsthe
Maaf. aku enggak paham alur ceritanya sama sekali, atau emang genre nya di luar biasa aku kuasai/mengerti.
IamEsthe
bla bla bla terpana akan kecantikan rupaku (wujudku) sendiri.
Legenda: jatuh cinta saat memandang rupa malaikat
total 1 replies
IamEsthe
ribet kalimatnya, susah dimengerti.


apa maksudnya begini,

Mengapa Dia hanya memikirkan hiburan untuk dirinya hingga membuat kita mati mempertahankan sebuah 'nyawa'.
Legenda: iya mungkin. Membangkang banget sama Tuhan/author dia punya kemauan sendiri ga dikendalikan sama The Creator
IamEsthe: Dewa Azura, kisah dewa Azura.
total 5 replies
IamEsthe
Untuk siapa aku diciptakan, Tuhan? Di ambang kekalahan kenapa aku masih mempersalahkan persoalan konyol ini.


mungkin bagus jika kalimatnya begitu. coba dipertimbangkan.
IamEsthe
alangkah baiknya mendeskripsikan kondisi tubuh pake makna kias. mungkin bagus
IamEsthe: dicoba dikit2 gitu, kias2an.
Legenda: aku kurang soal kias makna.
total 2 replies
IamEsthe
dibuang, bukan di buang
IamEsthe
jangan angka 1 ribu, tp satu ribu. ini ada aturannya, aku lupa yg mana penjelasannya
IamEsthe
narasi ini kayaknya jangan dalam satu kalimat panjang begini. kembangkan lagi beberapa kalimat biar penjelasannya tidak rumit dan berbelit
IamEsthe
typo dialog
Protocetus
okiro
Legenda: hah! lawak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!