Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 01
Di bawah langit biru yang cerah, angin sepoi-sepoi bertiup lembut, menyapu permukaan tanah yang hangat. Suara angin yang berhembus melalui daun-daun kelapa terdengar seperti bisikan alami, menenangkan setiap pendengar. Tali kelapa yang tinggi melengkung dengan anggun, daunnya yang hijau bergoyang perlahan seolah menari mengikuti ritme angin. Di sekitar, udara terasa segar, dengan aroma khas dari pepohonan kelapa yang menguar lembut.
Di kejauhan, suara gemerisik dedaunan lainnya menyatu dengan desiran angin yang membuat suasana semakin damai. Setiap hembusan angin yang datang terasa menyejukkan kulit, dan bayang-bayang pohon kelapa yang panjang menyelimuti tanah, menciptakan tempat teduh yang nyaman untuk beristirahat. Suara dari debur ombak yang jauh bisa terdengar samar, menambah kedamaian dari alam sekitar. Semua terasa begitu tenang, seolah waktu melambat, memberi ruang untuk menikmati ketenangan yang sempurna.
Di bawah sinar matahari yang cerah, dua anak kecil tampak sedang bersenang-senang. Seorang gadis kecil berusia 8 tahun mengenakan baju merah muda dengan gambar Hello Kitty yang ceria, wajahnya penuh senyum, matanya berbinar penuh kegembiraan. Di sampingnya, adiknya yang berusia 6 tahun, mengenakan kaos lengan pendek dan celana pendek, ikut berlarian dengan semangat yang sama. Mereka berdua saling berkejaran, tertawa riang, dengan ranting kayu di tangan masing-masing, seolah-olah itu adalah pedang atau tongkat sihir yang mereka gunakan untuk bermain.
Suara tawa mereka yang meriah memenuhi udara, saling bersahutan seiring langkah kaki kecil yang berlarian di atas tanah berumput. Beberapa kali, gadis kecil itu hampir tertangkap, namun dengan kelincahan seorang anak, ia berputar dan berlari lebih cepat, menyebabkan adiknya yang lebih muda tertawa lepas, seolah merasa bangga bisa mengejarnya. Di sekitar mereka, pohon-pohon memberikan keteduhan, dan angin sepoi-sepoi sesekali menyapu wajah mereka, menambah keceriaan dalam permainan itu.
Ranting kayu di tangan mereka, yang seharusnya hanya benda biasa, kini seolah menjadi bagian dari dunia imajinasi mereka. Gadis kecil itu mengayunkan rantingnya seolah menebas udara, sementara sang adik berusaha menangkisnya dengan gerakan lucu. Di kejauhan, bunga-bunga warna-warni tumbuh di sekitar halaman, menambah keindahan suasana yang dipenuhi keceriaan dan kebebasan.
Langit biru yang cerah menjadi latar belakang sempurna untuk hari penuh petualangan itu. Mereka berlarian tanpa rasa lelah, seolah dunia hanya milik mereka berdua, dan waktu pun terasa melambat dalam kehangatan dan kebahagiaan masa kanak-kanak yang sederhana.
Agnes berdiri dengan tenang di pinggir sungai dangkal, airnya yang jernih mengalir perlahan di antara bebatuan kecil. Dia memandang dengan penuh perhatian seekor katak yang duduk di atas batu besar, matanya yang bulat tampak fokus, seolah-olah sedang mempersiapkan diri untuk melompat. Tubuh katak itu sedikit mengejang, kaki belakangnya yang kuat terangkat sedikit, siap untuk meluncur ke udara. Agnes menyaksikan setiap gerakan katak itu dengan rasa ingin tahu yang besar, bibirnya terkatup rapat, tidak ingin mengganggu keheningan alam di sekitarnya.
Angin sepoi-sepoi berhembus, membelai rambut Agnes yang tergerai lembut, membawa aroma segar dari rerumputan di sekitar sungai. Di kejauhan, suara air yang mengalir lembut membentuk ritme alami yang menenangkan. Pepohonan di sekitar sungai berbisik pelan, daunnya bergoyang ringan. Langit biru yang cerah memberi pencahayaan sempurna, menciptakan bayangan hijau dari pepohonan yang terpantul di permukaan air.
Tiba-tiba, terdengar suara keras dari belakang, "Agnes! Agnes!" Suara itu memecah kesunyian, membuat Agnes menoleh dengan cepat. Susan, adiknya yang berusia 6 tahun, berlari mendekat dengan langkah-langkah kecil yang cepat, wajahnya penuh semangat.
Agnes menatap kosong ke arah sungai, matanya sedikit sayu. Katak yang tadi ia amati dengan penuh perhatian kini telah melompat jauh, meluncur dengan lincah ke air yang tenang. Bunyi percikan kecil itu hilang seiring dengan lenyapnya sang katak ke dalam kedalaman yang lebih dalam. Agnes menghela napas pelan, merasa sedikit kecewa karena telah kehilangan momen langka itu, yang seharusnya bisa ia nikmati dalam keheningan sendiri.
Susan yang berdiri di sampingnya tampak tidak menyadari kekecewaan kakaknya. Dengan senyum ceria, ia menggenggam tangan Agnes, menariknya agar lebih dekat. "Ayo, kita main lagi! Kita bisa cari katak yang lain!" teriak Susan dengan semangat, berharap dapat mengalihkan perhatian Agnes.
Namun, Agnes hanya diam, matanya kini tertuju pada air yang tenang tanpa seekor katak pun terlihat. Ada sedikit kerutan di dahi Agnes, dan bibirnya terkatup rapat. "Susan! lihat kataknya hilang. Kamu berisik sekali sih ," gumam Agnes pelan, nada suaranya agak sumbang, mencerminkan kekecewaan yang terpendam.
Susan terlihat bingung, matanya yang besar menatap Agnes dengan tatapan polos, tidak mengerti kenapa kakaknya marah. "Kenapa sih? Aku kan cuma panggil kamu," jawab Susan, sedikit cemas, tangannya masih menggenggam erat tangan Agnes.
Angin sepoi-sepoi yang tadi menenangkan kini terasa sedikit lebih berat. Suara daun-daun yang bergoyang di atas kepala mereka terdengar lebih jelas, seolah mengisi kekosongan di antara mereka. Di sekitar sungai, kesunyian kembali merayap, dan hanya suara gemericik air yang terdengar pelan.
Agnes menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri, tapi suasana hatinya sedikit terganggu. Dia merasa marah pada dirinya sendiri, karena seolah-olah momen itu hilang begitu saja, terlewatkan oleh gangguan yang tidak bisa ia kontrol. "Aku hanya ingin melihatnya melompat," desah Agnes dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.
Susan merasakan perubahan itu, dan akhirnya, dengan ragu-ragu, dia melangkah lebih dekat lagi. "Maaf," kata Susan pelan, wajahnya kini terlihat lebih serius. "Aku gak sengaja."
Agnes menoleh pelan, wajahnya mulai melunak. Dia memandang adiknya dengan ekspresi campuran antara kesal dan sayang. Meskipun sedikit kecewa, Agnes tahu adiknya tidak bermaksud mengganggunya. Perlahan, dia menghela napas lagi, mencoba mengatasi rasa kesalnya.
"Sudahlah, aku cuma… pengen lihat kataknya melompat," ucap Agnes, sedikit lebih lembut. Dia kemudian menatap Susan yang masih tampak khawatir, dan akhirnya tersenyum kecil. Suasana kembali tenang, meskipun ada sedikit ketegangan yang tersisa di udara, seperti angin yang berhembus pelan, membawa kembali suasana damai yang sempat terganggu.
Tiba-tiba, tangan kecil Susan bergerak, dan dia menunjuk ke arah aliran sungai. "Kak, lihat itu!" serunya dengan suara ceria yang kembali memecah keheningan. Agnes menoleh, sedikit terkejut, dan mengikuti arah tunjuk adiknya.
Di tengah riak air yang perlahan mengalir, terlihat sebuah benda yang melintas, terbawa arus. Sebuah bungkusan plastik berwarna biru tua tampak bergerak pelan, tenggelam dan muncul ke permukaan air. Bungkusan itu terikat dengan pita merah yang mencolok, menambah kesan kontras dengan warna biru yang lebih gelap.
Agnes terdiam sejenak, melupakan sejenak kekecewaannya atas katak yang telah melompat. Matanya tertuju pada bungkusan itu, yang tampak seperti benda asing yang mengganggu ketenangan sungai. "Apa itu?" gumam Agnes, heran.
Susan dan Agnes saling memandang, keduanya terdiam sejenak, menatap bungkusan plastik biru tua yang kini berada di tangan Agnes. Mereka tidak bisa menghindari perasaan heran dan sedikit kecewa melihat sampah yang terbuang begitu saja di sungai yang seharusnya begitu damai itu.
"Siapa yang buang sampah sembarangan kayak gini?" tanya Agnes dengan suara sedikit kesal, matanya yang penuh rasa ingin tahu kini berubah menjadi kecewa. Dia melihat pita merah yang tadi terikat pada bungkusan itu kini lepas dan terurai, melayang-layang mengikuti arah angin. Pita merah itu akhirnya tersangkut di sebuah batu besar yang terletak di pinggir sungai, mencolok dengan warnanya yang terang di antara bebatuan yang lebih gelap.
Susan ikut melangkah mendekat, tatapan matanya juga penuh rasa ingin tahu. "Kenapa ada orang yang buang sampah di sini, Kak?" tanyanya polos, tidak mengerti mengapa ada yang bisa begitu ceroboh dengan lingkungan sekitar. "Itu pita merahnya terlepas, Kak, mungkin ada yang sengaja buang…"
Agnes meraih pita merah yang terperangkap di batu besar dengan tangan kecilnya, namun tak sampai. Tangannya hanya bisa menyentuh udara tipis di atas batu, sementara pita itu tetap terjepit rapat di antara celah-celah bebatuan. Wajahnya mulai sedikit frustrasi, namun dia tidak menyerah.
Melihat itu, Susan yang berada di sampingnya segera merasa ingin membantu. Dia mengangkat ranting kayu yang masih ada di tangannya, berusaha menjulurkan ujung ranting itu ke arah pita yang terjepit di batu. Ranting kayu itu terulur dengan hati-hati, seolah berusaha meraih pita dengan kesabaran yang sama seperti mereka berdua.
"Semoga bisa," kata Susan sambil menarik ranting itu perlahan, wajahnya penuh konsentrasi. Dengan gemetar, ujung ranting itu akhirnya tersangkut pada pita merah yang masih terjepit, dan pita itu pun bergoyang seiring dengan tarikan Susan.
"Dapat, Kak!" seru Susan dengan kegembiraan yang terpancar di wajahnya, meski pita itu belum sepenuhnya terlepas. Agnes segera menyusul dan membantu, meraih bagian lain dari ranting kayu yang sudah tertarik oleh adiknya. Bersama-sama, mereka menarik ranting itu dengan hati-hati, berharap bisa mengeluarkan pita dari batu.
Dengan sedikit usaha, akhirnya pita merah itu terlepas dari batu dan tersangkut di ujung ranting kayu milik Susan. Keduanya menariknya dengan senang hati, sementara angin kembali berhembus sepoi-sepoi, membawa suara gemerisik dedaunan di sekitar mereka.
Agnes berdiri di samping Susan, memandang pita merah yang kini berada di tangan mereka. Rasa penasaran kembali muncul, dan tanpa ragu, Agnes mencoba mengedus udara di sekitar pita itu. Hidungnya bergerak-gerak, mencoba mengenali bau yang tercium. "Ugh... ini bau apa, ya?" keluh Agnes dengan wajah cemberut, seolah-olah bau itu membuatnya tidak nyaman.
Susan, yang lebih kecil, turut mengedus pita itu, mencoba mencium bau yang sama. "Wah, bau nggak enak banget," katanya sambil meringis. "Kayak bau darah ikan!" Susan melanjutkan, tampak yakin dengan apa yang ia rasakan. Agnes mengangguk perlahan, mencoba mencerna apa yang dikatakan adiknya. Namun, meski mereka berdua sama-sama mencium bau itu, mereka tetap tak bisa menebak dengan pasti apa yang membuat bau itu terasa aneh.
Agnes, yang masih penasaran, menoleh lagi ke aliran sungai. Matanya mencari-cari bungkusan biru tua yang tadi hampir mereka ambil. Namun, sungai yang tadinya begitu tenang kini terlihat lebih cepat, membawa air yang mengalir deras ke bawah, seperti tak peduli dengan apa yang mereka temui. Bungkusan biru itu sudah tidak tampak lagi, terbawa arus yang semakin kuat. Agnes menatap sungai itu sejenak, kecewa karena momen itu terlewat begitu saja.
"Sudah hilang, Kak," ujar Susan, suara kecilnya terdengar kecewa meski dia sudah menerima kenyataan. Agnes hanya mengangguk pelan, masih sedikit terperangah.
Hari semakin sore, dan langit mulai berubah warna, menyiratkan bahwa malam sudah hampir tiba. Suara alam yang dulu menenangkan kini terasa lebih sunyi, seolah ikut meresapi suasana hati mereka yang sedikit terganggu. Agnes melihat ke arah adiknya yang sudah memasukkan pita merah itu ke dalam kantong celana pendeknya, mungkin sebagai kenang-kenangan dari kejadian aneh itu.
"Yuk, kita pulang, hari hampir gelap," kata Agnes akhirnya, suaranya lebih lembut, mencoba mengubah suasana hati mereka yang sedikit canggung. Susan mengangguk setuju, meski tangan kecilnya masih memegang erat kantong celana tempat pita merah tersimpan.
Mereka berdua berjalan menjauh dari sungai, langkah kaki mereka ringan meskipun sedikit kelelahan. Angin sore yang semakin dingin menyentuh wajah mereka, namun seiring dengan langkah mereka, ada ketenangan yang mulai kembali terasa. Suasana yang tadinya penuh rasa penasaran dan sedikit ketegangan, kini berubah menjadi keheningan yang menyertai mereka pulang.
** Note:
Hai, readers aku kembali lagi dengan cerita baru, kali ini mengusung genre misteri. Selamat menikmati karya yang aku buat. Jangan lupa tolong berikan aku semangat dalam update karya ini ya, dengan komen, like dan vote. Terima kasih banyak dan happy reading.
Silahkan berkunjung karyaku yang lain ya :)