Pencarian nya untuk mendapatkan wanita idaman yang bisa menerima diri dan anak-anak nya, melalui proses panjang. Tidak heran hambatan dan ujian harus ia hadapi. Termasuk persaingan diantara wanita-wanita yang mengejar dirinya karena dia termasuk pria yang mapan, tampan dan punya banyak aset yang berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Seorang wanita berpakaian seksi melangkah keluar dari gedung bertingkat bersama seorang pria setengah baya. Saling merangkul erat, serasi layaknya pasangan suami istri yang tengah dimabuk asmara. Namun, siapa sangka di balik kesan romantis itu, sebenarnya keduanya bukan pasangan sah seperti yang terlihat. Di balik senyum, ada rahasia yang menyakitkan. Mereka hanya bertemu dan berkencan di tempat itu karena one-night stand.
"Bagaimana bisa terjadi? Aku tak pernah menyangka diriku akan terjebak dalam situasi ini," batin wanita itu, tatapannya semakin tajam, menyelami benak pria setengah baya yang menemani. Ada perasaan penasaran, campur rasa malu dan takut. Mengapa wanita itu mengikuti pria itu sampai ke situ? Mengapa pria itu mampu membujuknya hingga melupakan batasan-batasan yang ada? Keduanya terus berjalan, meresapi tiap detik dalam situasi yang menjijikkan. Mengabaikan suara hati, mereka tenggelam dalam kegelapan malam dan misteri hubungan yang dilarang ini.
Wanita itu dengan hati-hati melangkah masuk ke dalam mobil mewah yang dinaikinya bersama pria berwajah mentereng yang diperkirakan berusia sekitar lima puluh tahun. Aku seakan tak percaya saat melihat uang berwarna merah diserahkan dengan begitu mudah ke tanganku, memikat setiap jengkal mataku yang berbinar tak sabar. Senyuman kepuasan terukir lebar di wajahku seusai menerima uang tersebut, seperti seakan mencapai puncak kebahagiaan. Baru saja aku menutup pintu mobil itu, langkah kaki bergesa menghubungi seseorang yang tak lain adalah tukang ojek langgananku yang selalu setia mengantarkanku saat mendapat pelanggan.
"Akh, untunglah aku berhasil kali ini," bisikku dalam hati sambil menahan kebahagiaan. Keberuntungan hari ini seakan menjadi penutup bagi kegelapan yang seringkali menyelimuti hidupku sebelumnya. Tapi, apakah ini yang sebenarnya aku inginkan? Pertanyaan itu terus terngiang di pikiranku, seraya merenung sejenak, berusaha menenangkan perasaan campur aduk yang menghantui.
Sebelum memutuskan untuk pulang ke rumah, aku melihat wanita itu menghampiri toilet. Ternyata dia ingin berganti pakaian, mungkin mencari tampilan yang lebih tertutup daripada yang dia kenakan saat ini.
Dalam hati aku bertanya-tanya, "Apa yang sedang dipikirkan wanita itu? Apakah dia merasa tidak nyaman dengan pakaian yang dikenakannya sekarang, atau mungkin ada alasan lain?" Perasaan penasaran itu menguasai pikiran dan perasaanku, namun aku tahu bahwa itu bukan urusanku. Yang terpenting, aku hanya berharap wanita itu menemukan kenyamanan dalam penampilan yang dia pilih.
"Erlina, hari ini mau pergi kemana kita? Aku bersedia untuk mengantarkanmu ke tempat manapun yang kamu inginkan," ujar Mang Uding dengan senyuman ramah di wajahnya. Pikiran Erlina langsung menerawang, berusaha meresapi kalimat yang barusan diucapkan. Sebuah pertanyaan pun terlintas dalam benaknya, "Apakah ini kesempatan yang baik untuk mulai menceritakan perasaan yang selama ini kutahan terhadap Mang Uding?" Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya, takut menanggapi serius ucapannya itu dan kemudian membuat hubungan pertemanan mereka berubah. Erlina merasa begitu beruntung memiliki Mang Uding sebagai sahabat yang baik, namun sejauh ini ia hanya bisa menyembunyikan rasa sayang yang lebih dalam. "Apakah aku siap untuk mengambil risiko itu?" gumamnya lirih, mencari jawaban dari pertanyaan yang terus menghantui pikirannya.
""Uding, yuk kita ke warung sate kambing kesukaanmu dulu. Aku mau traktir kamu, nih. Hari ini, aku dapet uang lumayan banyak, lho," ucap Erlina penuh semangat. Rasanya hati ini tak sabar untuk membagi kebahagiaanku padanya. Dalam hati, aku merasa beruntung karena sudah menemukan sahabat sepertinya. Setelah melewati berbagai lika-liku, menghadapi berbagai masalah, akhirnya aku bisa mencapai kesuksesan ini dan aku merasa sangat senang bahwa dia ada di sisi ku ketika momen bahagia ini terjadi.
"Semoga hari ini bisa jadi hari yang menyenangkan, dan semoga ini menjadi awal dari kebahagiaan yang lebih besar lagi," batin Erlina dalam hati.
"Wah, syukurlah Er! Kamu dapat rejeki banyak," sahut Mang Uding dengan tertawa senang.
"Tapi, Mang, apa yang aku lakukan ini, bagi sebagian orang dianggap hina dan menjijikan," keluh Erlina tiba-tiba, suara pilunya terasa hingga ke hatiku. Aku pun melihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku tidak tahu harus mengatakan apa, apalagi bagaimana menghiburnya. Mengingat keadaan yang ia hadapi selama ini, aku bisa merasakan betapa dalam kepedihan yang ia rasakan.
Kini, keduanya sudah berada di atas motor, menuju ke warung sate kesukaan Mang Uding. Di tengah perjalanan, pikiran Erlina terasa semakin menerawang, mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu menghantuinya. Aku hanya bisa berusaha mendampinginya, dengan sepenuh hati dan kasih sayang yang mampu kupasrahkan kepada Erlina. Semoga di warung sate itu, kita bisa melupakan sejenak rasa sakit yang tak ingin menghentikan langkah Erlina dan terus menjalani hidup ini dengan tegar.
"Erlina, orang tidak bakal tahu kehidupan kita sesungguhnya. Orang hanya melihat cover nya saja," mang Uding berusaha menghibur Erlina. Erlina diam seribu bahasa.
Wanita itu terdiam sejenak, merenung akan kehidupan yang begitu mencabar. "Ah, andai saja aku tidak bercerai atau diceraikan, mungkin kehidupanku akan lebih bahagia," gumamnya pelan. Namun, tanggung jawab yang kian menumpuk di pundaknya membuatnya harus melangkah pasti dan tegar. Detak jantungnya semakin berdebar kencang, membayangkan kondisi Mamaknya yang sekarang sakit keras. "Siapa lagi yang harus memikul tanggung jawab ini? Bukan lain dan bukan siapa-siapa, tapi aku." Pikiran-pikiran itu menggelayuti benaknya, membawa rasa sedih dan cemas. Seakan sadar akan beban yang menanti, wanita itu menguatkan hatinya. "Tak ada gunanya larut dalam kesedihan. Aku harus bangkit dan mengambil tindakan. Demi Mamak, aku harus berjuang mencari nafkah dan membiayai pengobatannya." Sungguh, dilema yang menyayat hati, namun wanita itu tak boleh menyerah dalam menghadapi kerasnya kehidupan.
"Mang, aku selalu berpikir tentang masa depanku. Suatu saat nanti, jika mamak telah sembuh dari stroke yang dialaminya dan aku menemukan seorang pria yang mau menerima aku apa adanya, aku akan meninggalkan pekerjaan ini. Aku benar-benar ingin bertaubat dan menjalani hidup yang lebih baik, mang. Sumpah, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meraih kebahagiaan," ucap Erlina dengan mata yang berkaca-kaca, lirih namun penuh keyakinan.
""Aamiin, Erlina, semoga yang terbaik untuk kamu," ucap Mang Uding dengan tulus, namun tetap fokus mengendari motor di belakangku. Pikirannya mencoba meresapi setiap kata yang dia ucapkan, menegaskan bahwa dia sungguh-sungguh berharap kesuksesan dalam hidupku. "Kamu sudah berjuang keras, Erlina. Semoga rezeki dan kebahagiaan selalu menyertaimu." Harapannya itu menjadi pengingat bahwa ada orang yang memahami perjuanganku dan mengharapkan kebahagiaanku. Aku merasa gembira karena ada Mang Uding yang mendukung dan memahami kesulitanku selama ini. "Terima kasih, Mang Uding. Doamu sangat berarti bagiku," balasku sambil memegang erat hati, mengetahui bahwa aku tidak sendirian dalam perjuangan ini.