Cinta, sebuah anugerah yang tak selalu mudah didapatkan. Apalagi ketika harus memilih di antara dua hati yang begitu dekat, dua jiwa yang begitu mirip. Kisah mengharukan tentang cinta, pengorbanan, dan pencarian jati diri di tengah pusaran emosi yang membingungkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HniHndyni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Rawat
Anya tiba-tiba mengeratkan cengkeramannya di pergelangan tangan Migo, membuat tubuh pemuda itu terhuyung ke depan. Migo merasakan sentakan yang cukup kuat, hampir membuatnya jatuh ke atas Anya. Ia menahan diri, mencoba menjaga keseimbangan agar tidak menimpa gadis yang sedang sakit itu. "Anya!" seru Migo, terkejut. Wajah Anya masih pucat, matanya masih terpejam, namun genggamannya begitu kuat, seperti sedang menahan sesuatu.
Migo mencoba berbicara lagi, "Anya, lepaskan. Kamu sakit." Namun, Anya tidak merespon. Genggamannya malah semakin kuat, jari-jarinya seperti menancap ke kulit Migo. Migo merasakan sedikit rasa sakit, tetapi ia lebih khawatir pada kondisi Anya. Ia mencoba merasakan suhu tubuh Anya, dan menyadari bahwa tubuh gadis itu terasa sangat panas. Demamnya sepertinya semakin tinggi.
"Anya... Anya," panggil Migo lagi, suaranya terdengar lebih cemas. Ia mencoba menggoyangkan tubuh Anya dengan lembut, berharap gadis itu akan sadar. Namun, Anya tetap tidak bergerak, hanya genggaman tangannya yang masih erat di pergelangan tangan Migo. Migo menyadari bahwa ia perlu bertindak cepat. Ia harus menghubungi orang tua Anya segera. Dengan hati yang cemas, Migo meraih ponselnya dan mulai mencari nomor telepon orang tua Anya di kontaknya.
Kecemasan Migo semakin menjadi. Ponselnya menampilkan pesan "Nomor yang Anda tuju tidak aktif". Ia mengusap keringat dingin di dahinya, panik mulai menguasai dirinya. Anya masih belum sadar, genggamannya tetap erat, tubuhnya terasa semakin panas. Migo melihat sekeliling ruangan, mencari pertolongan. Rumah ini sepi, hanya ada mereka berdua.
Migo teringat akan kotak P3K yang biasanya diletakkan di laci meja belajar Anya. Dengan hati-hati, ia melepaskan genggaman Anya—sedikit demi sedikit, agar tidak membuatnya terkejut—lalu bergegas menuju meja belajar. Ia menemukan kotak P3K dan membukanya, mencari obat penurun panas. Setelah menemukannya, ia kembali ke sisi Anya.
Dengan susah payah, Migo berhasil memberikan Anya obat penurun panas. Ia membasahi bibir Anya dengan air minum, berharap dapat meringankan sedikit rasa hausnya. Ia terus mengusap keringat Anya, mencoba menenangkan dirinya dan juga gadis yang sedang terbaring lemah di sampingnya.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Migo terus mengawasi Anya, sesekali memanggil namanya dengan suara lirih. Ia merasa sangat kecil dan tak berdaya di hadapan situasi ini. Bayangan terburuk mulai menghantuinya. Apa yang harus ia lakukan jika kondisi Anya semakin memburuk?
Tiba-tiba, ponsel Migo berdering. Ia mengangkatnya dengan gemetar, berharap itu adalah pertolongan. Namun, ternyata itu hanya panggilan dari temannya, Raka, menanyakan tentang latihan basket sore ini. Migo terpaksa mematikan panggilan itu, konsentrasinya sepenuhnya tertuju pada Anya.
Migo memutuskan untuk membawa Anya ke rumah sakit terdekat. Ia menggendong Anya dengan hati-hati, tubuh gadis itu terasa sangat ringan. Di luar, hujan mulai turun dengan derasnya. Migo berlari sekencang mungkin menuju mobilnya, berharap dapat segera sampai ke rumah sakit dan mendapatkan pertolongan untuk Anya. Di tengah perjalanan, ia terus berdoa, memohon agar Anya baik-baik saja.
Hujan semakin deras. Air membasahi kaca mobil Migo, membuat pandangannya sedikit kabur. Tangannya menggenggam erat tangan Anya yang dingin, jari-jari mungil itu terasa begitu lemah. Degup jantungnya berdebar kencang, campuran rasa panik dan cemas memenuhi dadanya. Ia terus berdoa, memohon agar Anya tetap kuat sampai mereka tiba di rumah sakit.
Jalanan yang biasanya ramai, kini lengang. Hanya suara deru hujan dan gesekan ban mobil yang terdengar. Migo mengemudi dengan hati-hati, menghindari setiap genangan air yang mungkin menyembunyikan lubang di jalan. Sekali-sekali ia melirik Anya, memastikan gadis itu masih bernapas.
Setelah melewati perjalanan yang terasa begitu panjang, akhirnya mobil Migo memasuki halaman rumah sakit. Ia langsung memarkir mobil dan berlari masuk ke ruang IGD, membawa Anya di gendongannya. Wajahnya pucat pasi, keringat membasahi dahinya. Ia memanggil perawat dengan suara bergetar, menjelaskan kondisi Anya yang kritis.
Seorang dokter dengan ramah menghampiri mereka. Setelah memeriksa Anya secara singkat, dokter itu langsung memerintahkan perawat untuk membawa Anya ke ruang perawatan intensif. Migo hanya bisa menunggu di luar, hatinya dipenuhi kecemasan. Ia duduk di kursi panjang, menunggu kabar dari dokter. Beberapa perawat mendekatinya, menawarkan minuman hangat dan mencoba menenangkannya.
Berjam-jam Migo menunggu dengan perasaan yang tak menentu. Ia terus berdoa, memohon agar Anya baik-baik saja. Akhirnya, dokter keluar dari ruang perawatan intensif. Wajahnya tampak sedikit lebih tenang.
"Kondisi pasien sudah stabil," kata dokter itu. "Demamnya sudah turun, dan tekanan darahnya juga sudah normal. Namun, kita perlu melakukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab pasti penyakitnya."
Migo merasa lega mendengar kabar itu. Ia mengucapkan terima kasih kepada dokter dan perawat. Ia tahu bahwa Anya masih dalam kondisi yang lemah, tetapi setidaknya ia sudah melewati masa kritis.
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Anya akhirnya diperbolehkan pulang. Ternyata, Anya menderita demam berdarah. Ponselnya mati karena baterainya habis. Raka, setelah mendapat kabar dari Migo, langsung bergegas ke rumah sakit dan menemani mereka pulang. Ia merasa lega karena Anya sudah membaik. Kejadian ini membuat Migo dan Raka semakin dekat. Mereka belajar untuk saling menghargai dan saling mendukung satu sama lain.